Dari perspektif ilmu hukum, pendirian perseroan terbatas (PT) pada hakekatnya adalah penciptaan subyek hukum. Subyek hukum jenis ini disebut badan hukum (recht person). PT sebagai badan hukum dapat bertindak sendiri untuk dan atas namanya sendiri dengan perantaraan (diwakili) organ perseroan yang disebut direksi. Direksilah yang mewakili PT dalam pengurusannya, di dalam maupun di luar pengadilan.
Sebagai badan hukum, PT harus memiliki kekayaan awal (modal) yang jumlahnya telah disepakati oleh seluruh pendiri dan tertuang dalam akta pendiriannya secara notaril. Modal ini nantinya dibagi-bagi dalam satuan (lembar) saham. Setiap saham memiliki jumlah nominal tertentu yang disepakati. Oleh karenanya, penyetor modal suatu PT disebut sebagai pemegang saham.
Modal dari suatu PT dibedakan dalam 3 atribut, yaitu modal dasar, modal ditempatkan dan modal disetor. Modal Dasar adalah jumlah modal maksimum yang diizinkan untuk ditempatkan, sedangkan Modal Ditempatkan adalah jumlah modal yang disanggupi untuk disetorkan oleh masing-masing pendiri (pemegang saham). Apabila modal ditempatkan ini telah dibayarkan atau disetorkan oleh para pemegang saham kepada PT, disebutlah sebagai Modal Disetor. Praktisnya, kekayaan riil suatu PT pada saat pendirian adalah jumlah seluruh modal yang telah disetorkan ini.
Modal yang telah disetorkan oleh pemegang saham ke dalam rekening PT selanjutnya tidak dapat disebut lagi sebagai kekayaan pribadi pemegang sahamnya, melainkan menjadi kekayaan "pribadi" badan hukum itu sendiri. Jadi, ketika suatu PT harus dimintai pertanggungjawabannya, maka pertanggungjawaban PT tersebut sampai sebatas jumlah kekayaan (modal) riil yang telah disetorkan tersebut.
Lalu, bagaimana halnya bila pemegang saham belum melakukan penyetoran atas saham-saham (modal) yang telah disanggupinya? Atau bagaimana bila ternyata modal setor yang dicantumkan dalam akta pendirian tersebut hanya pernyataan belaka tanpa penyetoran riil?
Sederhananya, ketika seseorang telah berjanji untuk menyetorkan sejumlah uang tertentu, maka jumlah uang tersebut sudah menjadi utang kepada yang akan menerimanya. Demikian juga halnya dengan penyetoran saham. Ketika pemegang saham belum menyetorkan uang yang ditempatkannya sebagai modal suatu PT, maka pemegang saham tersebut secara demi hukum telah berutang kepada PT tersebut. Hubungan utang-piutang ini sebenarnya tidak lagi karena perjanjian semata, melainkan juga karena undang-undang (UU Perseroan Terbatas) bahwa penyetoran modal adalah wajib dan harus dilakukan secara riil.
Dalam praktek terjadi juga bahwa penyetoran saham dilakukan secara riil ke rekening atas nama PT. Namun, dana yang telah disetorkan tersebut kemudian ditarik kembali oleh pemegang sahamnya (yang biasanya juga merangkap sebagai direktur PT tadi). Di sini, penyetoran tersebut jadi bersifat formalitas belaka dan hanya dilakukan guna mendapatkan bukti setor saja.
Bila suatu PT telah di-declare sebagai badan hukum kepada khalayak umum lewat pengumuman Berita Negara, maka pertanggungjawaban PT tersebut tidak lagi bersifat privat belaka, melainkan juga kepada publik. Sebagai badan hukum, segala tindakannya diatur dalam anggaran dasarnya serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketika direktur sembarangan menarik dana dari rekening PT untuk kepentingan pribadi, maka pertanggungjawabannya bisa saja menjadi ranah pidana, misalnya karena penggelapan.
Jadi, penyetoran modal dalam pendirian suatu PT wajib dilakukan. Bila modal setor yang dicantumkan dalam akta pendirian PT hanya merupakan pernyataan belaka, tetap saja tidak menghapus tanggung jawab pemegang sahamnya. Demikian pula bila nama-nama pemegang saham hanya dipinjam (nominee) untuk dicantumkan dalam akta pendiriannya dan tidak ada penyetoran riil, maka tetap tidak menghapus tanggung jawab dari pihak-pihak yang namanya dipinjamkan tersebut.