Thursday, November 22, 2018

Proses Pengurusan Sertifikat Tanah yang Hilang

Kehilangan sertifikat tanah (teknisnya dituliskan "sertipikat tanah") memang bukanlah kejadian yang kita harapkan. Itu berarti kita tak lagi memegang alat bukti kuat mengenai kepemilikan tanah. Mendapatkan sertifikat tanah bukanlah pengurusan yang mudah, demikian juga dengan pengurusan sertifikat tanah yang hilang. Sedapat mungkin, sertifikat harus disimpan dengan baik, bila perlu, dititipkan pada bank (atau disimpan dalam brankas yang aman). Jikapun hilang, maka pemilik sertipikat dapat mengajukan permohonan penggantian sertipikat, yang disebut Sertipikat Pengganti.

Kejadian hilang bisa saja karena beberapa hal, antara lain karena tercecer di perjalanan, terkena bencana seperti banjir, ataupun akibat pencurian sehingga sertifikat tak kembali. Proses pengurusan sertifikat pengganti juga dikenal dengan penggantian blanko. Berdasarkan Standar Pelayanan Pertanahan diatur dalam Perkaban No. 1 Tahun 2010, proses penggantian sertifikat karena hilang dapat diselesaikan dalam waktu 40 (empatpuluh) hari.

Bila ingin mengurus penggantian sertifikat yang hilang, maka ada beberapa tahapan yang harus dilakukan. Pertama sekali, pemilik tanah (boleh orang lain selaku kuasa) harus mengajukan permohonan SKPT (Surat Keterangan Pendaftaran Tanah) ke Kantor Pertanahan (BPN) sesuai wilayah tanahnya. Surat ini akan menjelaskan status tanah tersebut sebagaimana tercatat di Kantor Pertanahan setempat. Alasan pengurusan SKPT adalah untuk pengurusan sertifikat hilang. Dokumen penting yang diperlukan disini adalah Surat Pernyataan dari pemilik tanah bahwa sertifikatnya hilang karena suatu sebab, apakah hilang karena tercecer, banjir, kebakaran atau lainnya. Bila fotokopi sertifikat tersedia, maka proses pengurusan menjadi sedikit lebih mudah. Fotokopi tersebut akan membantu identifikasi pencarian buku tanah. Selain identitas, sertakanlah kelengkapan dokumen  lainnya, seperti SPPT PBB. 

Kedua, setelah memperoleh SKPT tadi, sekarang harus dibuat pelaporan kehilangan sertifikat tanah. Untuk pelaporan ini, kepolisian akan mensyaratkan SKPT tadi. Bentuk pelaporan bisa berupa Laporan Polisi (LP), bisa juga sekedar pelaporan hilang biasa untuk memperoleh Surat Keterangan Hilang. Namun, bila BPN mensyaratkan Laporan Polisi (LP), maka di kepolisian akan dilakukan proses verbal. Melaporlah terlebih dahulu ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SKPKT) untuk dibuatkan Laporan Polisi. Di sini akan ditanyakan bagaimana kronologis kejadian hilangnya sertipikat. Setelah memperoleh Surat Tanda Penerimaan Laporan (STPL), maka oleh pihak kepolisian akan dilanjutkan dengan membuat Laporan Kemajuan (Lapju) atas perkembangan laporan kehilangan tersebut. STPL dan Lapju ini nantinya wajib dilampirkan dalam berkas permohonan penggantian sertifikat.



Biasanya, sebelum membuat laporan polisi, pemilik tanah wajib membuat pengumuman hilang di surat kabar/koran (bisa 2 koran nasional, bisa 3 koran sekaligus, tergantung peraturan yang berlaku di polres setempat). Selain itu, terkadang diminta juga Surat Pernyataan Tidak Sengketa yang diketahui oleh Kepala Desa/Lurah. Surat keterangan ini untuk mendukung laporan, karena sering terjadi bahwa sertipikat dilaporkan hilang, padahal sedang digadaikan kepada pihak lain.  

Ketiga, setelah memperoleh STPL dan Lapju tadi, barulah pengurusan sertifikat hilang diajukan  ke BPN. Pengurusannya disebut Penggantian Blanko Karena Hilang. Bila dokumen sudah lengkap dan buku tanahnya sudah ditemukan (oleh petugas BPN), maka akan dilakukan proses sumpah yang dituangkan dalam bentuk Surat Pernyataan Di Bawah Sumpah. Pemohon akan diberikan jadwal kapan disumpah di kantor BPN. Selain itu, Pengukuran ulang akan dilakukan selama diperlukan. 

Keempat, setelah proses sumpah, maka di sini pemohon wajib membayar biaya (SPS) dan selanjutnya menerima Tanda Terima Dokumen/Berkas. Disinilah resmi proses penggantian blanko dimulai. Proses selanjutnya menunggu dilakukan pengumuman sertifikat hilang di surat kabar. Pengumuman di surat kabar ini dilakukan oleh pihak pemohon atas biaya sendiri. Saat ini, pengumuman juga dilakukan melalui website www.bpn.go.id. Bentuk pengumuman koran ini akan dikonsep oleh BPN dan bentuknya berupa surat yang ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan.  



Terakhir, setelah lewat jangka waktu pengumuman sertifikat hilang (biasanya 30 hari sejak diumumkan di surat kabar) dan tidak ada pihak-pihak yang berkeberatan atas hilangnya sertifikat tersebut, maka BPN akan menerbitkan sertifikat pengganti dan sertifikat yang telah hilang dinyatakan tidak berlaku lagi.



Thursday, April 19, 2018

Sekilas Tentang Perjanjian Over Kredit (Operkredit) Rumah

Rumah merupakan salah satu kebutuhan manusia yang paling utama. Bahkan, memiliki rumah oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai salah satu bukti keberhasilan, tanda kemapanan atau kemandirian hidup. Memiliki rumah tidak lantas berarti membeli secara tunai (istilah populer cash keras). Rumah dapat dimiliki dengan membeli secara mencicil (kredit). Umumnya, cara ini ditawarkan oleh institusi perbankan dengan program Kredit Pemilikan Rumah (KPR).

Apakah KPR itu? Kredit Pemilikan Rumah (KPR) merupakan bentuk pinjaman dana berbunga dari Bank kepada Nasabah, yang mana dana pinjaman tersebut khusus dipergunakan untuk melunasi pembelian rumah kepada pihak pengembang (developer)  dan atas nilai pinjaman berbunga tersebut akan dilunasi oleh Nasabah kepada Bank secara bertahap/mencicil selama jangka waktu tertentu dengan ketentuan bahwa (tanah/)rumah tersebut menjadi jaminan atas pinjaman utang tersebut.

Dari pengertian tersebut, maka dapat diuraikan bahwa KPR memiliki beberapa aspek perbuatan (hukum). Pertama, terjadi utang-piutang antara Bank dan Nasabah. Kedua, terjadi jual beli (tanah/)rumah antara Nasabah dan pengembang. Ketiga, terjadi pemberian kuasa dari Nasabah kepada Bank untuk melunasi pembelian (tanah/)rumah atas nama Nasabah. Keempat, terjadi proses penjaminan rumah (secara Hak Tanggungan) sebagai jaminan pelunasan utang dari Bank.

Tahapan pembelian rumah secara kredit (KPR) umumnya akan dimulai dengan proses pemilihan (booking/reservasi ) rumah, dimana calon pembeli memberikan biaya booking dan kemudian dilanjut dengan pembayaran down payment (DP). Saat bersamaan dilakukan permohonan kredit (pinjaman utang) kepada Bank rekanan. Bila permohonan kredit diterima, maka dilanjutkan dengan proses jual beli (bila aplikasi kredit ditolak, uang DP dikembalikan biasanya setelah dipotong biaya admin). Dana pinjaman akan langsung ditransfer ke rekening pihak pengembang. Setelah tahapan jual beli selesai, maka proses dilanjutkan dengan penjaminan rumah sebagai jaminan pelunasan utang KPR tersebut. Nasabah kemudian melakukan pembayaran cicilan dalam jangka waktu tertentu sampai seluruh pembiayaan rumah lunas.

Sampai disini, Nasabah dalam kenyataannya sudah memiliki rumah tersebut (status sertipikat tanah sudah terdaftar atas nama Nasabah). Hanya saja, sertipikat tanah menjadi jaminan atas pelunasan utang Nasabah tersebut. Atas jaminan utang ini, Bank memegang Sertipikat Hak Tanggungan (SHT) yang didalamnya tercatat bahwa tanah rumah tersebut dijadikan sebagai obyek Hak Tanggungan. Bank umumnya juga menyimpan asli sertipikat tanahnya dengan pertimbangan agar memudahkan Bank untuk melakukan tindakan eksekusi bila nanti diperlukan.

Walaupun demikian, teknis mengenai peralihan kepemilikan tanah/rumah dengan KPR bisa saja tak sederhana karena memerlukan proses dan waktu. Dalam kasus Nasabah membeli rumah diatas tanah kavling (umumnya berupa komplek perumahan), status kepemilikan tanah atas seluruh kavling-kavling dalam komplek tersebut biasanya masih terdaftar dalam 1 (satu) sertipikat tanah yang sama (istilahnya sertipikat induk). Alhasil, harus dilakukan pemecahan/pemisahan sertipikat tanah setelah permohonan KPR Nasabah disetujui Bank.

Lalu, bagaimana bila sebelum jangka waktu pelunasan selesai, Nasabah ingin menjual kembali rumah tersebut kepada pihak lain? Istilah populernya over kredit (oper-kredit) rumah. Dalam praktek, over kredit rumah sering terjadi. Di tengah perjalanan pembiayaan, Nasabah sudah ingin melepaskan KPR tersebut dengan berbagai alasan. 

Memang, mengingat sertipikat (tanah/)rumah sudah terdaftar atas nama Nasabah, maka selaku pemilik tentu Nasabah berhak untuk menjualnya kembali. Namun, hak untuk menjual rumah tersebut tentu dibatasi dengan adanya perjanjian penjaminan rumah antara Nasabah dan Bank. Biasanya, disebutkan dalam perjanjian tersebut untuk melakukan tindakan pengalihan seperti itu harus mendapat persetujuan dari pihak Bank. Lagipula, mengingat asli sertipikat rumah tersebut masih dikuasai oleh Bank, tentu saja tidak memungkinkan bagi Nasabah untuk menjualnya kembali tanpa sepengetahuan Bank. 

Oleh karenanya, untuk mengatasi keterbatasan tersebut biasanya antara Nasabah (selaku pemilik rumah) dan calon pembeli melakukan perjanjian over kredit (operkredit) rumah. Dalam praktek perjanjian over kredit rumah sering dilakukan dengan kondisi tanpa sepengetahuan pihak Bank. Calon pembeli mengganti seluruh biaya yang telah dikeluarkan dan kemudian melanjutkan pelunasan KPR secara mencicil. Prosesnya, over kredit dilakukan dengan pembuatan akta peralihan hak dan kewajiban kredit, pembuatan akta perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) dan pembuatan akta pemberian kuasa untuk mengambil sertipikat tanah di Bank pada waktunya nanti (ketika lunas). Cara over kredit seperti ini sekarang banyak menimbulkan masalah karena Bank ternyata tidak mau menyerahkan sertipikat kepada pihak lain selain yang namanya tercatat pada sertipikat (pihak Nasabah). 

Di sini, over kredit rumah juga memiliki beberapa aspek perbuatan hukum. Pertama, terjadi pengalihan hak dan kewajiban KPR dari Nasabah kepada calon pembeli baru. Di sini, calon pembeli (penerima over kredit) mengganti biaya-biaya yang telah dikeluarkan dan kemudian melanjutnya pembayaran cicilan kepada Bank. Dalam kasus ini, walaupun disebutkan bahwa hak dan kewajiban kredit telah berpindah kepada calon pembeli, namun secara hukum, perjanjian KPR antara Bank dan Nasabah masih tetap berlangsung. Bank tetap dapat meminta pertanggungjawaban utang dari Nasabah. Lantaran  proses over kredit dilakukan tanpa sepengetahuan dan persetujuan Bank, maka Bank tetap berurusan dengan Nasabah, bukan pihak lain. Kedua, antara Nasabah dan calon pembeli dibuatkan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB, pra-AJB) rumah. Nantinya, ketika pembiayaan KPR lunas, PPJB tersebut dilanjutkan dengan AJB setelah sertipikat diserahkan oleh pihak Bank. Ketiga, biasanya juga dibuatkan perjanjian pembelian kuasa untuk mengambil asli sertipikat tanah di Bank ketika pembiayaan lunas walaupun perjanjian kuasa semacam ini bisa juga tak diterima oleh pihak Bank. 

Pada Bank tertentu, perjanjian over kredit semacam ini diperbolehkan kalau jangka waktu perjanjian KPR sudah melewati masa 5 tahun. Artinya, kalau Nasabah ingin melakukan over kredit, maka prosesnya harus melibatkan pihak Bank sehingga dengan demikian dikatakan proses over kredit menjadi resmi. Dalam hal ini, teknisnya sebenarnya dapat dilakukan dengan 2 cara. Pertama, dengan pembaharuan utang dimana posisi Nasabah (debitor lama) akan digantikan oleh penerima over kredit (debitor baru) setelah permohonan debitor baru disetujui. Debitor baru kemudian mengajukan permohonan kredit dan nantinya kredit tersebut digunakan untuk melunasi utang debitor lama. Dalam kasus ini, utang debitor lama menjadi hapus, demikian juga dengan penjaminan rumahnya yang otomatis hapus. Sebagai gantinya, setelah jual beli dilakukan antara debitor lama dan debitor baru dan sertipikat telah dibaliknama menjadi atas nama debitor baru, selanjutnya rumah tersebut kembali dijadikan sebagai jaminan pelunasan utang oleh debitor baru. Catatan di sini: Sebelum jual beli dapat dilakukan, atas sertipikat yang masih terdaftar sebagai jaminan Bank, dilakukan roya pada kantor Pertanahan setempat agar statusnya kembali bersih, bebas dari pembebanan. Kedua, dengan pemindahan (pendelegasian), dimana Nasabah (debitor lama) menunjuk penerima over kredit (sebagai debitor baru) untuk melanjutkan pembayaran cicilan. Di sini, utang debitor lama tidak hapus sehingga penjaminan rumah masih tetap berlangsung (atas nama debitor lama). Bank tetap masih dapat meminta pertanggunganjawaban Nasabah selaku debitor lama bila ternyata debitor baru tidak memiliki kemampuan. Antara Nasabah dan penerima over kredit kemudian dibuatkan PPJB sehingga nanti setelah KPR lunas, PPJB berlanjut dengan AJB untuk proses baliknama sertipikat menjadi atas nama penerima over kredit. 

Awam umumnya melihat proses over kredit rumah sebagai satu perbuatan hukum saja. Padahal, over kredit rumah tidak semata-mata mengalihkan kewajiban pembayaran cicilan rumah, melainkan juga mengalihkan kepemilikan (tanah/)rumahnya. Oleh karena (tanah/)rumah yang di-over kredit merupakan jaminan Bank, maka proses over kredit sebaiknya melibatkan pihak Bank.