Friday, March 31, 2017

Pendirian Badan Hukum Yayasan

Yayasan merupakan badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. Dari pengertian ini, yayasan sebagai badan hukum merupakan lembaga yang fokus pada kegiatan tertentu dalam bidang sosial, keagamaan dan kemanusian. Kekayaan yang dipisahkan dari pendiri ini digunakan dan dikelola untuk mencapai tujuan yayasan. 

Para pendiri maupun pengurus tidak boleh mengambil keuntungan dari pengelolaan yayasan karena pada prinsipnya pekerjaan yang dilakukan bersifat sukarela. Walaupun demikian, yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk membantu tercapainya tujuan yayasan dengan cara mendirikan badan usaha. Cakupan kegiatan usaha dari badan usaha yayasan cukup luas, termasuk hak asasi manusia, kesenian, olah raga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan, dan ilmu pengetahuan. Selain itu, yayasan juga diperkenankan ikut serta dalam suatu badan usaha menjadi pemegang saham, misalnya pemegang saham perseroan terbatas, dengan ketentuan bahwa saham yang disetor maksimal 25% dari kekayaan yayasan. 

Yayasan mempunyai organ yang terdiri atas Pembina, Pengurus, dan Pengawas. Masing-masing memiliki kewenangan yang berbeda. Tidak boleh ada rangkap jabatan dalam organ yayasan, termasuk juga dalam badan usaha yang didirikan yayasan. Walaupun demikinan, yayasan tidak boleh membagikan keuntungan usaha  kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas. Hanya saja, segala biaya yang dikeluarkan oleh Pembina, Pengurus, maupun Pengawas (organ Yayasan) dalam rangka menjalankan tugasnya harus diganti oleh yayasan. Kekayaan yayasan (berupa uang, barang, maupun kekayaan lain) tidak boleh dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung dalam bentuk apapun yang dapat dinilai dengan uang (gaji, upah, atau honorarium) kepada Pembina, Pengurus, Pengawas, kecuali kepada Pengurus yang bukan Pendiri dan tidak terafiliasi dengan Pendiri, Pembina dan Pengawas. Di sini, pengertian “terafiliasi” merujuk pada hubungan keluarga karena perkawinan atau keturunan sampai derajat ketiga, baik secara horizontal maupun vertikal.

Pendirian yayasan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan akta notaris atau dengan surat wasiat. Pendirian yayasan dengan surat wasiat dilakukan dengan Surat Wasiat Terbuka, artinya harus dilakukan dengan akta notaris juga. Surat wasiat tersebut dapat berisi anggaran dasar yang telah ditentukan ataupun sebagaimana yang akan dilaksanakan oleh penerima wasiat sesuai perintah dalam wasiat. 

Pendiri boleh satu orang (baik orang-perseorangan atau berbentuk badan hukum) dan untuk menandatangani akta pendirian notariil boleh dikuasakan. Bila berdasarkan surat wasiat, maka pendiriannya dilaksanakan oleh penerima wasiat (ataupun dapat dilakukan oleh ahli warisnya). Pengesahan pendirian yayasan wajib dimohonkan oleh pendiri atau kuasanya kepada Menteri Hukum dan HAM yang disampaikan melalui Notaris pembuat aktanya dalam waktu 10 hari setelah tanggal akta pendirian. Menteri Hukum dan HAM wajib menyampaikan penolakan atau persetujuan atas pengesahan yayasan dalam waktu 30 hari setelah permohonan diterima.

Namun, bila diperlukan pertimbangan dari instansi lain atas permohonan pengesahan tersebut, maka Menteri diberi waktu 7 hari setelah permohonan lengkap diterima untuk menyampaikan permintaan pertimbangan tersebut kepada instansi lain. Setelah pertimbangan diterima, dalam waktu 14 hari setelahnya, Menteri harus memberikan jawaban penolakan atau persetujuan. Sebaliknya bila jawaban pertimbangan tidak diterima, maka dalam waktu 30 hari setelah permintaan disampaikan kepada instansi tersebut, Menteri harus memberikan keputusan menolak atau menyetujui pengesahan yayasan.

Akta pendirian yayasan harus memuat Anggaran Dasar yang setidaknya meliputi :
a. Nama dan tempat kedudukan;
b. Maksud dan tujuan serta kegiatan untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut;
c. Jangka waktu pendirian;
d. Jumlah kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi pendiri dalam bentuk uang atau benda;
e. Cara memperoleh dan penggunaan kekayaan;
f. Tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas;
g. Hak dan kewajiban anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas;
h. Tata cara penyelenggaraan rapat organ Yayasan;
i. Ketentuan mengenai perubahan Anggaran Dasar;
j. Penggabungan dan pembubaran Yayasan; dan
k. Penggunaan kekayaan sisa likuidasi atau penyaluran kekayaan Yayasan setelah pembubaran. 

Nama yayasan harus diawali dengan kata "Yayasan". Bila kekayaan yayasan berasal dari wakaf, kata "wakaf" dapat ditambahkan setelah kata "Yayasan", dengan ketentuan bahwa Yayasan menjadi Nazhir, yaitu menjadi pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya (lihat UU Wakaf No.41 Tahun 2004). 

Kekayaan awal yayasan minimal Rp.10juta, namun bila terdapat pendiri yang merupakan warga negara asing (WNA), kekayaan awal yayasan minimal sebesar Rp.100juta. Bila kekayaan yang diserahkan tersebut bukan dalam bentuk uang, maka besarnnya senilai jumlah minimal tersebut. Pemisahan kekayaan awal Pendiri disertai dengan surat pernyataan dari pendiri mengenai keabsahan harta kekayaan tersebut bahwa kekayaan tersebut bukan merupakan hasil melawan hukum, misalnya, tindak pidana korupsi ataupun tindak pidana pencucian uang.

Bila yayasan didirikan oleh orang asing (WNA baik perseorangan maupun badan hukum asing), maka syarat dokumen yang harus dipernuhi adalah identitas paspor yang sah, surat pernyataan bahwa keabsahan kekayaan pendiri yang dipisahkan tersebut minimal senilai/sebesar Rp.100juta dan surat pernyataan pendiri bahwa kegiatan yayasan yang didirikan tidak merugikan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Salah satu anggota Pengurusnya harus dipegang oleh warga negara Indonesia (WNI).

Apabila anggota Pembina dan Pengawas yayasan berkewarganegaraan asing (WNA), maka diwajibkan memiliki KITAS (Kartu Izin Tinggal Sementara) dan izin kerja/melakukan kegiatan usaha jika bertempat tinggal di Indonesia. Bila tidak dipernuhi, maka anggota WNA tersebut tidak boleh tinggal di wilayah negara Republik Indonesia, kecuali merupakan pejabat korps diplomatik beserta keluarganya.

Akta pendirian Yayasan yang telah disahkan sebagai badan hukum (berikut dengan perubahan anggaran dasarnya) wajib diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Pengumuman tersebut dilakukan oleh Menteri dalam jangka waktu paling lambat 14 hari terhitung sejak tanggal pengesahan akta pendirian Yayasan (atau perubahan anggaran dasarnya). 

Bila badan hukum Yayasan belum disahkan, maka perbuatan-perbuatan atau tindakan hukum yang dilakukan oleh Pengurus (untuk dan atas nama Yayasan) menjadi tanggung jawab Pengurus tersebut secara tanggung renteng.

Pengenalan Notaris Terhadap Penghadap

UU Jabatan Notaris (No.30 Tahun 2004 dan No.2 Tahun 2014) mewajibkan Notaris sebagai pejabat publik pembuat akta otentik untuk dapat mengenal pihak-pihak yang datang menghadap kepadanya terkait pembuatan akta. Bentuk pengenalannya (bekendheid) dapat berupa pengenalan oleh Notaris sendiri maupun dikenalkan oleh dua penghadap lainnya atau oleh dua saksi pengenal lainnya. 

Saat ini, pengenalan Notaris terhadap para penghadap tak begitu banyak diperhatikan dalam pembuatan akta notaris. Padahal, makna "dikenal" tersebut menjadi sangat penting. Umumnya, akta-akta Notaris menyebutkan bahwa para penghadap telah dikenal, adapula yang menuliskan bahwa para penghadap telah dikenal dari identitasnya masing-masing. Padahal, maksud daripada pengenalan Notaris ini sama sekali tidak berkaitan dengan identitas. Para penghadap dikenal bukan berdasarkan KTP atau identitas lainnya, melainkan pergaulannya dalam masyarakat. Bentuk pengenalan Notaris bukan berarti penghadap harus mengenalkan dirinya atau menyerahkan tanda pengenal. Notaris harus dapat menjamin bahwa ketika penghadap memperkenalkan dirinya sebagai (dengan nama) A, maka orang tersebut memang benar-benar dikenal dalam masyarakat sebagai (dengan nama) A. Oleh karenanya, syarat nama kecil semula juga menjadi kewajiban untuk dituliskan dalam akta.

Notaris memang harus mengenal para penghadap, karena akta yang dibuat oleh Notaris merupakan akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna (kuat). Bila Notaris tidak benar-benar mengenal (mengetahui) bahwa pihak yang menghadap adalah benar-benar sesuai dengan identitas yang diberikan, maka akta Notaris sangat berpotensi untuk merugikan hak orang lain. Tentu, konsekuensi seperti ini sedapat mungkin harus dihindari agar tidak terjadi, tentunya dengan cara-cara yang bertanggung jawab.

Bila Notaris tidak mengenal penghadap dalam pergaulan sehari-hari, maka dapat diartikan bahwa Notaris tidak mengenal penghadap tersebut, khususnya ketika para penghadap datang menghadap untuk pertama kalinya. Sementara, ketentuan Pasal 39 UU Jabatan Notaris diatas, mewajibkan Notaris mengenal para penghadap. Dalam hal Notaris tidak mengenal penghadap, maka penghadap tersebut harus diperkenalkan oleh dua penghadap lainnya atau oleh dua saksi penghadap lainnya. KTP atau identitas lainnya hanyalah data pendukung untuk keperluan pembuatan aktanya.

Perkembangan masyarakat yang cepat memang menjadi tantangan bagi Notaris dalam menjalankan jabatannya. Masyarakat seringkali ingin mendapat pelayanan yang cepat. Lantas bagaimana Notaris menyikapi perkembangan masyarakat agar tugasnya tetap dalam koridor ketentuan undang-undang. Hal ini memang menjadi hal yang problematis bagi Notaris. Kerap prosedur dan tatacara pembuatan akta otentik tidak lagi menjadi perhatian utama karena khawatir kehilangan klien. Selain itu, bila mengikuti maksud dari undang-undang sebagaimana yang telah disebutkan diatas, maka bentuk kewajiban pengenalan dapat dirasakan cukup merepotkan. Ketika baru pertama kali menghadap ke Notaris, seharusnya penghadap tidak hanya datang sendiri, melainkan bersama dengan dua orang saksi pengenal atau dua orang penghadap lainnya.

Cara memperkenalkan diri (bekendmaking) penghadap saat ini lazim berdasarkan identitas penghadap, apakah berbentuk KTP, passpor, ataupun SIM. Hanya saja, cara memperkenalkan seperti ini sangat rentan dengan risiko tindakan ilegal. Apalagi di era yang serba digital dimana antara bentuk asli dan bentuk palsu sangat sulit untuk dibedakan. Padahal, Notaris memikul sendiri risiko atas akibat hukum dari akta yang dibuatnya. Terkait tanggung jawab tersebut, umumnya dalam akta juga dinyatakan pelepasan tanggung jawab oleh Notaris maupun saksi-saksi apabila penghadap memberikan data/dokumen/surat yang tidak benar. Namun, bentuk pelepasan tanggung jawab seperti ini dalam prakteknya hanya hiasan akta saja. Notaris tetap saja terseret-seret dalam sengketa antara para penghadap.

Notaris

Tuesday, March 28, 2017

Sekilas Antara PPJB dan AJB

Dalam suatu transaksi jual beli tanah, sering terdengar istilah PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) dan AJB (Akta Jual Beli). Kedua istilah ini kedengarannya tak jauh berbeda. Sekilas pengertiannya sama saja, namun melibatkan hal yang berbeda. Dilihat dari tahapan transaksinya, sebenarnya PPJB (istilah lain: Ikatan Jual Beli - IJB) merupakan tahap awal dari suatu transaksi jual beli tanah (AJB), walaupun demikian dalam kondisi tertentu PPJB juga tak perlu dilakukan dan langsung bertransaksi dengan AJB. 

Perbedaannya antara PPJB dan AJB juga terletak pada pejabat yang berwenang membuat aktanya. Walau sama-sama akta otentik, namun keduanya disahkan oleh pejabat yang berbeda. Memang tidak ada ketentuan bahwa PPJB harus dibuat secara otentik, namun umumnya dibuat secara otentik di depan pejabat yang berwenang. Untuk membuat akta PPJB, para pihak akan mendatangi/menghadap kepada Notaris, sedangkan untuk membuat AJB, para pihak akan menghadap kepada PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah).

Notaris dan PPAT merupakan jabatan yang berbeda, walau dapat dilaksanakan oleh orang yang sama. Notaris mendapat kewenangan dari Menteri Hukum dan HAM, sedangkan PPAT mendapat kewenangan dari Menteri Agraria/Tata Ruang/Ka. Badan Pertanahan Nasional.

Jual beli tanah merupakan transaksi hukum yang agak berbeda dengan transaksi jual beli barang lainnya. Hukum pertanahan di Indonesia mengatur siapa-siapa (subyek tanah) yang dapat memiliki tanah. Pengertian "memiliki tanah" di sini sebenarnya bukan memilikinya secara fisik absolut, melainkan hanya "Hak atas Tanah"-nya saja, dalam arti penguasaan dan penggunaan/peruntukannya. Pengertian "tanah" juga tidak hanya meliputi bidang/permukaan tanahnya saja (istilahnya tanah kosong), melainkan dapat berupa tanah dengan bangunan, tanaman ataupun berupa satuan (unit) rumah  susun atau unit apartemen. Selain terdapat pembatasan-pembatasan atas kepemilikan tanah tersebut, juga berlaku prosedur dalam kepemilikan tanah sehingga biasanya jual beli tanah memerlukan proses yang tidak singkat (umumnya 1 bulan).

Untuk dapat membeli tanah (AJB), maka transaksinya harus dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang. Setelah berlakunya PP Pendaftaran Tanah, maka jual belinya harus dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. PPAT akan membuat akta jual belinya, yang disebut Akta Jual Beli (AJB). Namun, terkait jual beli tanah tersebut, para pihak (penjual dan pembeli) harus melakukan pembayaran pajak penjual (Pajak Penghasilan - PPh) dan BPHTB (sering disebut pajak pembeli). Para pihak (baik penjual dan pembeli) haruslah orang-orang yang berwenang (istilahnya cakap hukum) dalam melakukan jual beli tanah. Jadi, dalam transaksi tersebut, diperlukan penelitian dokumen-dokumen. Belum lagi apabila jual beli dilakukan oleh ahli waris ataupun jual beli dilakukan dengan sistem kredit (khususnya KPR) ataupun sistem pembayaran bertahap. Bila proses jual beli ini tidak didukung dengan dokumen-dokumen yang otentik, tentu dapat menimbulkan risiko bagi salah satu ataupun para pihak.

Ketika para pihak sepakat untuk melakukan jual beli, maka pertama-tama keduanya harus sepakat apakah pembayaran harga tanah dilakukan secara tunai seluruh harga (lunas) atau secara bertahap atau kredit (KPR). 

Bila pembayaran dilakukan lunas seluruhnya (termasuk pajak-pajak), maka proses jual beli dapat langsung disahkan oleh PPAT. Syarat pembayaran lunas ini dimaksudkan sebagai pemenuhan asas jual beli tanah yang berlaku di Indonesia, yaitu terang dan tunai. "Terang" karena dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang(PPAT), "tunai" karena peralihan kepemilikannya terjadi seketika itu juga (dalam arti tak ada lagi sangkut paut, tidak ada utang harga tanah). Bila pajak penjual (PPh 2,5%) dan pajak pembeli (BPHTB) sudah diselesaikan terlebih dahulu, sertipikat tanah telah diperiksa dan terdaftar langsung atas nama penjual, maka transaksi jual belinya dapat langsung disahkan oleh PPAT dengan membuat Akta Jual Belinya, tentu saja dengan penelitian dokumen oleh PPAT. Dengan pembuatan Akta Jual Beli, maka hak kepemilikan tanah seketika itu juga berpindah dari pihak penjual kepada pihak pembeli. Proses selanjutnya adalah melakukan pendaftaran atas peralihan hak kepemilikan tersebut kepada Kantor Pertanahan (BPN Kota/Kabupaten) setempat untuk kemudian dicatatkan (baliknama) ke dalam Buku Tanah (tersimpan di Kantor Pertanahan). Nama pemilik lama di sertipikat tanah akan dicoret dan ditambahkan nama pemilik baru. Dari sini, proses baliknama sudah selesai.

Namun, bagaimana bila penjual telah menyerahkan sertipikat kepada pembeli dan pembeli telah membayar seluruh harga tanah (lunas), namun ada kendala dalam pembayaran pajak-pajaknya? Dalam hal ini, proses pembayaran pajak masih memerlukan waktu. Bila dilihat dari sisi penjual, haknya sebagai penjual telah terpenuhi karena telah dibayar lunas. Hanya saja, kewajibannya yaitu pembayaran pajak PPh dan penyerahan hak kepemilikan kepada pembeli belum dilakukan. Sementara, dari sisi pembeli, pembeli telah melaksanakan kewajibannya, bisa juga ia telah membayar pajak BPHTB-nya, namun belum mendapat penerimaan (istilahnya pengoperan hak) kepemilikan atas tanah tersebut karena PPAT tidak akan mau mengesahkan jual beli tersebut kalau pajak-pajak belum terbayarkan.

Demikian juga bila pembayaran belum dilakukan secara lunas, ataupun melalui KPR, tentu saja PPAT tidak akan mau mengesahkan jual belinya. Jual beli harus dipenuhi dengan penyerahan barang dan pembayaran harga. Bila keduanya tidak dapat dilakukan, maka jual beli belum dapat dilakukan.

Demikian pula apabila pembayaran harga tanah/pajak sudah dilakukan, namun sertipikat tanah masih terdaftar atas nama orang lain (khususnya karena terjadi waris, pemilik sertipikat telah meninggal dunia sehingga penjualnya adalah ahli waris), tentu disini PPAT tidak akan mau membuatkan akta jual belinya. Nama di sertipikat tanah haruslah nama penjual (sudah dibaliknama ke penjual atau ahli waris).

Lalu, bagaimana cara melindungi hak atau memberikan perlindungan hukum bagi para pihak dalam kasus-kasus diatas? Saat ini, jual beli tanah tak dapat dianggap perkara biasa karena sebagian besar sengketa yang terjadi dalam masyarakat juga bersumber dari kepemilikan tanah. Oleh karenanya, para pihak perlu dilindungi secara hukum. Janji pihak penjual untuk menyerahkan kepemilikan tanahnya kepada pembeli atau janji pihak pembeli tanah untuk membayar harga tanah seluruhnya harus dibuat secara otentik agar kekuatan pembuktiannya sempurna bagi para pihak maupun terhadap pihak ketiga, seperti BPN sebagai instansi yang mengurusi masalah pertanahan. Di sinilah peran Notaris tadi dalam membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tadi. Dalam kasus-kasus tersebut diatas, PPJB berfungsi untuk memperteguh janji pihak penjual dan pembeli sehingga para pihak melanjutkan/menyelesaikan jual beli tersebut di kemudian hari setelah syarat-syarat dalam jual beli tadi terlaksana, misalnya ketika pajak-pajak sudah dibayar lunas, ketika nama di sertipikat sudah atas nama penjual (sudah baliknama), atau ketika pembeli telah membayar seluruh harga tanah (baik KPR maupun bertahap). 

Dalam prosesnya, PPJB menjadi dasar untuk melanjutkan/melangsungkan jual belinya sesuai dengan kondisi PPJB-nya. Dalam hal harga sudah dibayar lunas, namun pajak-pajak belum dibayarkan, maka hak penjual sudah dipenuhi, namun kewajiban belum dilakukan. Oleh karenanya, untuk melindungi hak pembeli yang telah membayar lunas, Notaris akan membuat akta PPJB sekaligus Akta Kuasa Jual (lebih pasnya Akta Kuasa Penjual) dari pihak penjual kepada pihak pembeli. Kuasa tersebut memberikan kuasa penuh kepada pembeli untuk melangsungkan jual belinya dihadapan PPAT tanpa lagi harus memerlukan bantuan dari pihak penjual (karena hak penjual telah dipenuhi, tak ada sangkutnya lagi, namun penjual wajib membayar pajak saja). Pihak Notaris kemudian diberi kuasa untuk membayarkan pajak penjual (atau juga dapat dibayarkan oleh penjual sendiri). Selanjutnya, berbekal akta PPJB dan akta Kuasa Jual tersebut, pihak pembeli akan menghadap kepada PPAT untuk dibuatkan Akta Jual Beli terkait jual beli yang sesungguhnya.

Demikian juga apabila pembayaran harga tanah belum dibayar lunas (baik secara bertahap maupun secara KPR), maka Notaris akan membuatkan akta PPJB. Namun, akta PPJB ini tidak dilakukan dengan penyerahan Kuasa Jual. Di sini, PPJB hanya memperteguh janji keduanya bahwa penjual akan menyerahkan tanahnya tersebut dan pembeli akan melunasi harganya. Jadi, tidak ada penyerahan kuasa jual kepada pembeli sebagaimana dalam kasus sebelumnya. Artinya, bila pembayaran sudah dilunasi oleh pihak pembeli dikemudian hari, maka kedua belah pihak, yaitu pihak penjual dan pihak pembeli akan bertemu kembali dan menghadap kepada PPAT untuk melangsungkan jual beli sesungguhnya (AJB).

Notaris

Monday, March 27, 2017

Piutang/Tagihan sebagai Jaminan Kredit

Piutang dimaknai sebagai hak untuk menerima pembayaran, sedangkan Tagihan dimaknai sebagai uang dan sebagainya yang harus ditagih. Kedua istilah tersebut sebenarnya merujuk pada hal yang sama, yaitu terkait pembayaran utang. Bila dilihat dari kapan suatu piutang timbul, maka piutang dapat dibagi atas 2, yaitu piutang yang sudah ada/terjadi saat ini dan piutang yang akan ada dikemudian hari (potensi piutang - kontinjen).

Piutang atau tagihan dikategorikan sebagai hak kebendaan, termasuk benda bergerak. Oleh karena merupakan suatu hak kebendaan, maka piutang/tagihan juga dapat dijadikan sebagai jaminan untuk pelunasan utang kredit. Utang yang dijaminkan juga dapat berupa utang yang telah ada saat ini, maupun utang yang akan timbul di kemudian hari dalam jumlah tertentu (sebagai kebalikan dari piutang). 

Untuk dapat dijadikan sebagai jaminan kredit, maka penyerahannya dilakukan secara fidusia. Khusus untuk piutang yang akan ada dikemudian hari, ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU Jaminan Fidusia (No. 4 Tahun 1999) menegaskan bahwa terhadap penjaminan tersebut, tidak perlu dibuatkan Akta Jaminan Fidusia secara tersendiri. Dari ketentuan ini, dapat disimpulkan bahwa pernyataan penjaminannya cukup disebutkan dalam perjanjian pokok saja. Walaupun demikian, biasanya Notaris tetap membuatkan Akta Jaminan Fidusia tersendiri. 

Untuk penjaminannya, biasanya Notaris akan memintakan daftar piutang yang dimiliki debitur atau Nasabah. Bila merupakan piutang proyek, bukti perjanjian proyeknya juga dimintakan sebagai dasar timbulnya piutang tersebut, dan kemudian diperkuat dengan adanya pernyataan dari debitur bahwa piutang tersebut merupakan milik atau akan dimiliki oleh debitur. Bila piutangnya merupakan piutang yang akan ada dikemudian hari atau jumlahnya senantiasa meningkat, maka biasanya daftar piutang menyebutkan bahwa status jumlah piutang pada saat penjaminan.

Apabila sudah difidusiakan, maka debitur memiliki kewajiban untuk memperbarui daftar piutangnya secara berkala untuk disampaikan kepada kreditur Atas fidusia tersebut, debitur dilarang kembali menjaminkannya secara fidusia. UU Jaminan Fidusia memberikan sanksi pidana atas fidusia ulang tanpa persetujuan dari penerima fidusia.

Pengalihan hak (cessie) atas piutang yang dijamin dengan fidusia mengakibatkan beralihnya secara demi hukum segala hak dan kewajiban Penerima Fidusia kepada kreditor baru. Pengalihan piutang dilakukan dengan akta otentik atau akta di bawah tangan dan juga wajib didaftarkan melalui Kantor Pendaftaran Fidusia dan pengalihan hak tersebut diberitahukan kepada Pemberi Fidusia.

Saturday, March 25, 2017

Sertipikat Tanah Sebagai Bukti Hak

Sertipikat (bakunya: sertifikat) merupakan surat tanda bukti atas suatu hak. Terkait tanah (Hak Atas Tanah) atau unit rumah susun, sertipikat merupakan bukti kepemilikan hak yang sah dan kuat atas penguasaan tanah ataupun unit rumah susun tersebut. Sertipikat tanah di sini berfungsi untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, unit (satuan) rumah susun sehingga pemiliknya dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

Sertifikat tanah memiliki 2 cakupan pembuktian. Pertama, untuk pembuktian data fisiknya, seperti luas dan batas-batas tanahnya. Kedua, untuk pembuktian data yuridisnya, seperti jenis dan nomor hak, nama pemegang hak ataupun peralihan-peralihan haknya. 

Walaupun telah memegang sertipikat tanah, bukan berarti bahwa kepemilikan hak tersebut tak dapat digugat. Oleh karenanya, sertipikat tanah di Indonesia merupakan bukti kepemilikan yang kuat, namun tidak mutlak. Sepanjang dapat dibuktikan, kekuatan sertipikat tersebut dapat digugat. Gugatannya dapat berupa sengketa persoalan data fisik maupun data yuridis tadi, tentu saja dengan pengecualian. Bila seseorang telah memiliki sertipikat tanah yang diperoleh secara sah dengan itikad baik  dan dikuasainya secara nyata (tidak ditelantarkan), maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah tersebut tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan haknya apabila lewat waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat tanpa mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan setempat ataupun tanpa mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut. Di sini, penguasaan dengan itikad baik dan secara nyata didasarkan atas tidak adanya gangguan/gugatan atas kepemilikan tanah tersebut sehingga dianggap bahwa masyarakat disekitarnya mengakui dan membenarkan hak tersebut.

Bila tanah belum bersertipikat, maka dapat diasumsikan 1) bahwa atas tanah tersebut belum ada hak yang melekat diatasnya (dianggap tanah negara), atau 2) bahwa atas tanah tersebut ada melekat suatu hak (hak lama), namun hak tersebut belum dikonversi (diubah) menjadi hak-hak sebagaimana telah ditentukan dalam UU Pokok Agraria.
  
Atas tanah-tanah yang haknya belum pernah terdaftar (artinya tanah belum bersertipikat), maka syarat penguasaan secara fisik dan nyata ini tanpa gangguan/gugatan selama 20 tahun berturut-turut menjadi salah satu pertimbangan bagi pihak BPN untuk memberikan sertipikatnya. Sebagaimana disyaratkan dalam ketentuan Pasal 24 PP Pendaftaran Tanah bahwa pembukuan (pemberian) hak menurut ayat ini harus memenuhi syarat-syarat:
a. Penguasaan dan penggunaan tanah yang bersangkutan dilakukan secara nyata dan dengan itikad baik selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut. Artinya, bila terjadi peralihan/pengoperan hak, maka harus dapat dibuktikan, baik secara tertulis maupun berdasarkan keterangan saksi-saksi. Bukti tertulis disini dapat berupa Surat Keterangan Riwayat Tanah dari kantor desa/kelurahan;
b. Penguasaan dan penggunaan tanah tersebut selama ini tidak diganggu gugat (sebagai bukti dari adanya itikad baik tadi) dan karena itu dianggap diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan. Gugatan atau gangguan dimaksud bisa berupa sengketa soal data fisik maupun data yuridisnya. Untuk data fisik dapat berupa soal batas-batas tanah, sedangkan untuk data yuridis dapat berupa soal sengketa kepemilikan/peralihan haknya;
c. Penguasaan tanah tersebut diperkuat oleh saksi-saksi yang dapat dipercaya, saksi yang cakap memberi kesaksian dan mengetahui kepemilikan tersebut. Biasanya dalam Surat Pernyataan Penguasaan Fisik, pernyataan tersebut harus diketahui/dikonfirmasikan oleh pejabat setempat, Lurah sampai Camat);
d. Tidak ada pihak lain yang mengajukan keberatan atas pengumuman hak tersebut. Pengumuman dilakukan selama 60 hari, yang biasanya dipajang pada papan pengumuman yang terdapat di Kantor Pertanahan maupun plang pengumuman yang dipasang di lokasi tanah.

Notaris
Notaris

Thursday, March 23, 2017

Akta Perjanjian Cross Collateral dan Cross Default

Perjanjian yang dibuat secara sah menurut hukum (dan tidak bertentangan dengan norma-norma kesusilaan dan ketertiban umum) merupakan undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya. Kekuatan berlakunya perjanjian juga sama seperti berlakunya undang-undang, dalam arti para pihak tidak begitu saja dapat menyangkal bahwa suatu perjanjian yang dibuat tidak mengikat salah satu pihak. Asas pacta sunt servanda menjadi landasan kepastian hukum bagi para pihak agar menaati kewajiban-kewajiban yang telah dituangkan dalam suatu perjanjian keperdataan.  

Di sisi lain, para pihak memiliki kebebasan (terbatas) dalam membuat perjanjian. Selama para pihak bersepakat dan ingin mengikatkan diri untuk melakukan sesuatu, memberikan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, maka perjanjian tersebut sah dan mengikat para pihak, yang tentunya harus dilandasi dengan asas itikad baik dengan batasan-batasan norma hukum, kesusilaan dan ketertiban umum tadi.

Dalam memberikan fasilitas pinjaman/kredit/pembiayaan kepada Nasabah/debitur, Bank umumnya mensyaratkan adanya barang agunan/jaminan. Ketika akta notaris terkait penjaminan telah ditandatangani oleh pemilik jaminan dan Bank, maka perihal penjaminan tersebut akan didaftarkan kepada instansi yang berwenang. Pendaftaran ini bukan sebagai pengesahan, melainkan untuk menimbulkan hak jaminan (hak prioritas/hak untuk didahulukan) tersebut. Tanpa pendaftaran tersebut, maka hak jaminan tidak akan timbul, tidak ada hak prioritas bagi Kreditur/Bank. Bila agunannya berupa tanah/bangunan (Hak Tanggungan), maka akan didaftarkan ke BPN setempat. Demikian juga bila agunannya berupa kapal atau pesawat, pendaftarannya dilakukan ke Dirjen Perhubungan Laut atau Udara, sedangkan agunan fidusia didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia. Untuk barang agunan berupa gadai (emas, dana deposito, rekening giro) umumnya hanya bersifat bawah tangan ataupun dapat dibuatkan dengan akta notaris, tergantung pada kebijakan masing-masing Bank.

Selama fasilitas kredit/pinjaman berjalan, tak jarang Nasabah/debitur mendapat tambahan fasilitas pinjaman/kredit dari Bank, mengingat fasilitas kredit pada dasarnya merupakan fasilitas kepercayaan Bank. Bila bonafiditas Nasabah/debitur tinggi, maka Bank akan senang hati untuk memberikan tambahan fasilitas. Namun, terkait agunan, Bank akan tetap mensyaratkan adanya barang agunan baru untuk menjamin fasilitas tambahan tersebut. Selain mensyaratkan adanya tambahan jaminan, maka Bank juga biasanya mensyaratkan agar semua barang agunan yang telah dijaminkan kepada Bank ikut menjadi jaminan atas fasilitas tambahan tersebut. Istilahnya, cross collateral dan umumnya agar ketentuan cross collateral (jaminan-silang, saling-menjamin) ini sempurna, maka diberlakukan juga syarat cross default (wanprestasi-silang, cedera janji-silang)  terhadap seluruh fasilitas.

Ketentuan cross collateral merupakan suatu kondisi perjanjian penjaminan, dimana barang-barang agunan yang sebelumnya telah dijaminkan untuk menjamin satu fasilitas pinjaman juga diikat sebagai jaminan untuk fasilitas pinjaman lainnya, sedangkan ketentuan cross default merupakan suatu kondisi perjanjian, dimana wanprestasi atau cedera janji atas suatu fasilitas pinjaman juga dianggap sebagai wanprestasi/cedera janji atas fasilitas pinjaman lainnya

Ketika Nasabah/debitur menerima fasilitas pinjaman tambahan dari Bank/kreditur, maka antara Nasabah dan Bank akan dilakukan penandatanganan perjanjian (akad) fasilitas tambahan beserta pengikatan/penambahan jaminan baru. Terkait dengan syarat cross collateral dan cross default tersebut, maka selain Nasabah dan Bank juga akan menandatangani perubahan atas akta perjanjian fasilitas yang sebelumnya (lama) dan perubahan atas akta-akta perjanjian penjaminan sebelumnya untuk menambahkan syarat ketentuan cross collateral dan cross default tersebut. Penambahan fasilitas pinjaman berarti penambahan nilai utang. Aturannya, penambahan/perubahan nilai utang tersebut juga harus didaftarkan kembali kepada instansi penjaminan yang berwenang.

Namun, proses perubahan atas perjanjian-perjanjian tersebut tak jarang menjadi masalah bagi para pihak, menjadi kendala baik dari sisi biaya maupun waktu. Untuk jaminan yang tak memerlukan pendaftaran, prosesnya boleh jadi mudah, karena cukup dengan mengubah perjanjian pokok dan penjaminannya saja. Berbeda halnya bila agunannya berupa Hak Tanggungan (tanah) atau Jaminan Fidusia (kendaraan, truk, alat berat, mesin-mesin) maupun Hipotik (kapal, pesawat). Untuk Hak Tanggungan atau Hipotik, biasanya akan dilakukan pengikatan peringkat selanjutnya (HT2, HT3, dst), sedangkan untuk Jaminan Fidusia akan dilakukan perubahan Jaminan Fidusia. 

Mengingat proses penyesuaian/perubahan atas legal-formal dokumen pembiayaan menjadi tak sederhana, biasanya pihak Bank dan debitur menempuh satu cara yang cepat, yaitu dengan hanya membuatkan Akta Perjanjian Cross Collateral dan Cross Default terkait dengan pemberlakukan syarat jaminan-silang dan wanprestasi-silang tersebut. Dalam akta perjanjian tersebut, para pihak sepakat untuk memberlakukan ketentuan cross collateral dan cross default untuk semua fasilitas pinjaman Nasabah di Bank. 

Pertanyaannya, apakah dengan pembuatan dan penandatanganan  Akta Perjanjian Cross Collateral dan Cross Default, maka agunan yang telah diserahkan kepada Bank otomatis berlaku untuk (seluruh) fasilitas pinjaman lainnya?

Pemberian barang agunan sebagai jaminan harus dilakukan terpisah dari perjanjian fasilitasnya (perjanjian pokok) dengan penandatanganan akta perjanjian penjaminan tersendiri (kecuali terkait jaminan fidusia untuk barang-barang yang akan ada dikemudian hari sebagaimana diatur dalam UU Jaminan Fidusia). Oleh karenanya, apabila para pihak tidak membuat dan tidak menandatangani akta perjanjian penjaminan tersendiri (misalnya, perubahan gadai, perubahan fidusia, penambahan peringkat HT atau Hipotik), maka Bank/kreditur sebagai penerima jaminan tak akan mendapat perlindungan hukum atas ketentuan cross collateral tersebut. Bank/kreditur tak akan mendapat hak prioritas (hak untuk didahului) dan sebagai gantinya Bank/kreditur hanya menyandang atau berstatus sebagai kreditur konkuren (sama derajatnya dengan kreditur lainnya). Apalagi, kalau akta perjanjian penjaminan tersebut tidak didaftarkan kepada instansi yang berwenang. Tidak ada hak prioritas atas barang agunan tersebut (Hak Tanggungan, Hipotik atau Jaminan Fidusianya belum lahir secara hukum).

Khusus agunan berupa Hak Tanggungan atau Hipotik, maka seharusnya atas jaminan tersebut tidak cukup dilakukan dengan penambahan peringkat, melainkan harus diikat kembali untuk seluruh jumlah fasilitas pinjaman (seluruh total utang). Oleh karenanya, bila Hak Tanggungan atau Hipotik sebelumnya sudah terpasang, maka harus dilakukan roya terlebih dahulu dan kemudian dilakukan kembali pemasangan Hak Tanggungan atau Hipotik untuk total utang seluruhnya. Bila proses ini tidak dilakukan, maka sebenarnya secara demi hukum nilai pertanggungannya terbatas hanya terkait pelunasan fasilitas pinjaman yang eksisting saja, tidak berlaku untuk fasilitas pinjaman yang baru. Ketentuan cross default di sini hanya akan menetapkan bahwa Nasabah/debitur wanprestasi atas seluruh fasilitas pinjaman, dan masing-masing agunan fasilitas pinjaman hanya dapat dieksekusi untuk pelunasan fasilitas yang mengikat/terdaftar saja.  

Walaupun para pihak telah setuju dan sepakat mengikatkan diri untuk memberlakukan ketentuan cross collateral dan cross default terhadap seluruh fasilitas pinjaman yang diterima oleh seorang Nasabah/debitur dari Bank, dan perjanjian tersebut merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, bukan berarti ketentuan tersebut otomatis berlaku. Undang-undang juga mensyaratkan bahwa atas perubahan terkait cross collateral tersebut harus dibuatkan dengan akta penjaminan tersendiri dan (bila diwajibkan) harus didaftarkan kepada instansi yang berwenang. Tanpa proses pendaftaran tersebut, maka hak prioritas atas jaminan belum lahir secara hukum.

Proses dan Tahapan Jual Beli Tanah/Rumah (Versi PPAT)

Jual beli tanah/rumah dalam prosesnya tak sekedar seperti namanya. Berbeda dengan jual beli barang lainnya, sebelum jual beli dilakukan, ada tahapan dan prosedur yang harus dilakukan, baik oleh para pihak (penjual dan pembeli) maupun oleh PPAT itu sendiri. PPAT merupakan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang ditunjuk oleh pemerintah/Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mengesahkan transaksi jual beli tanah. Jual beli tanah hanya sah dan legal kalau dilakukan dihadapan PPAT (termasuk camat yang ditunjuk sebagai PPAT Sementara). Hanya saja, mengingat biasanya PPAT juga seorang Notaris, maka masyarakat hanya melihat jabatan Notarisnya saja. Padahal, antara Notaris dan PPAT memiliki kewenangan yang berbeda.

Sebelum para pihak (pembeli dan penjual) menandatangani Akta Jual Beli Tanah, maka biasanya PPAT sebagai pihak yang ditunjuk untuk melangsungkan akad jual beli tanah akan meminta asli sertipikat tanah kepada pihak penjual, dan selanjutnya melakukan pengecekan kesesuaian sertipikat tanah tersebut dengan buku tanah yang tersimpan di Kantor Pertanahan setempat. Sertipikat tanah yang dipegang oleh pemilik merupakan salinan yang sah dari buku tanah tersebut. Jadi, ketika terdapat ketidaksesuaian antara sertipikat tanah dan buku tanahnya, maka sertipikat tanah yang dilakukan pengecekan akan dianggap bukan produk BPN (istilah percakapannya: palsu/bodong).

Permasalahan dalam tahap pengecekan ini, seringkali nama pemilik tanah yang tercatat dalam sertipikat tanah berbeda dengan yang tercatat dalam KTP/KK. Walaupun demikian, tidak selalu perbedaan nama ini menjadi kendala. Bila diperlukan, pihak penjual harus meminta surat keterangan dari kantor kelurahan/kepala desa yang menerangkan bahwa nama-nama tersebut merujuk pada orang yang sama. Syarat untuk pengecekan sertipikat tanah antara lain: asli sertipikat tanah, asli kuasa pengecekan dari pemilik tanah kepada PPAT, dan copy KTP. 

Untuk melakukan pengecekan sertipikat tanah, saat ini PPAT terlebih dahulu melakukan input data secara online melalui alamat https://loket.bpn.go.id/default.aspx. Input data secara online memang belum berlaku seragam, sehingga pengecekan dapat langsung ke loket Kantor Pertanahan (Kantah). Setelah data diinput, PPAT akan mencetak surat permohonan pengecekan dan jadwal datang ke loket. Biaya pengecekan berupa PNBP sebesar Rp.50.000. Bila telah selesai, maka sertipikat tanah akan mendapat tambahan keterangan bahwa atas sertipikat tersebut sudah dilakukan pengecekan dan hasilnya sesuai dengan buku tanahnya. Bila atas lokasi tanah belum dilakukan plotting, pada tahap ini BPN biasanya juga minta dilakukan proses plotting (proses pemetaan).

Bila sertipikat tanah tersebut asli/sesuai, maka PPAT akan meminta para pihak untuk melakukan pembayaran pajak-pajak atas transaksi jual beli. Bagi penjual wajib membayar pajak penghasilan (PPh) final atas penjualan tanah tersebut, yang besarnya 2,5% (terbaru) dari nilai traksaksi (ketentuan adalah nilai yang sesungguhnya diperoleh/diterima). Bagi pembeli, dikenakan pajak pembeli berupa BPHTB yang besarannya masih 5% dari harga transaksi setelah dikurangi nilai perolehan tidak kena pajak. Saat ini, pembayarannya juga dapat dilakukan di Bank Persepsi ataupun Kantor Pos.
Catatan:
Untuk pembayaran pajak pembeli, maka diperlukan SPPT PBB yang telah dibayar lunas untuk tahun berjalan dan tidak ada tunggakan PBB untuk tahun-tahun sebelumnya dan saat ini dipersyaratkan agar ukuran tanah dalam PBB sudah sesuai dengan kondisi sebenarnya. Bila tidak, maka data PBB harus dikoreksi terlebih dahulu agar sesuai.
Untuk pembayaran PPh Final menurut ketentuan Pasal 3 ayat (1) PP No. 34 tahun 2016 tentang PPh Final atas Tanah/Bangunan), pembayaran pajak penjual disetor sendiri oleh pembeli. 

Walaupun sudah dibayar, prosesnya masih berlanjut. Setelah pembayaran, bukti pembayaran pajak pembeli dan pajak penjual harus diverifikasi. Untuk pajak penghasilan, verifikasinya ke KPP setempat dan untuk pajak pembeli diverifikasi ke Kantor Pelayanan PBB dan BPHTB (Dinas Pendapatan Daerah) setempat. Mengenai verifikasi pajak penjual memang sering terjadi kesalahpahaman, ada yang mewajibkan ke KPP wilayah penjual berdomisili dan ada pula yang mewajibkannya ke KPP wilayah tanah berada.

Setelah mendapat verifikasi, maka PPAT dapat menyiapkan Akta Jual Belinya (AJB) untuk kemudian dijadwal kapan akan dilakukan penandatanganan akta. Akta Jual Beli harus ditandatangani diwilayah kerja PPAT tersebut. Akta PPAT juga harus dibacakan dan ditandatangani dihadapan para pihak dan saksi-saksi. Bila tidak, sanksinya adalah batal karena akta tersebut menjadi tidak otentik. 

Bila akta jual beli telah ditandatangani oleh para pihak, PPAT dan saksi-saksi dan setiap halaman AJB diparaf semua pihak, maka PPAT berkewajiban dalam waktu 7 hari kerja untuk mendaftarkannya ke Kantor Pertanahan setempat untuk diproses pemindahan haknya (baliknama). Kewajiban PPAT ini sesuai dengan ketentuan Pasal 40 PP Pendaftaran Tanah. Namun, kewajiban ini tidak ada kaitannya dengan keabsahan akta jual beli. Hanya saja, bila terlambat mendaftarkan, maka PPAT dianggap lalai dalam menjalankan kewajibannya. Ketentuan ini juga menjadi persoalan karena dalam praktek seringkali tidak dipersoalkan oleh BPN. Sebaliknya, di beberapa kantor BPN Kota/Kabupaten, menerapkan kebijakan antri (pembatasan) dalam memasukkan berkas. PPAT berjuang keras untuk dapat mendaftarkan aktanya.

Sebelum baliknama diproses, BPN juga akan meminta dilakukan pengajuan ZNT (Zona Nilai Tanah) sesuai lokasinya. yaitu semacam standar harga tanah yang menjadi patokan biaya BPN. ZNT ini menjadi dasar dari perhitungan biaya baliknama yang harus dibayar pihak pembeli. Oleh karenanya, besaran PNBP ini  tergantung dari letak tanahnya. Semakin strategis letaknya, semakin besar nilai ZNT-nya. Tarif proses peralihan hak/baliknama ini adalah 1/1000 dari ZNT + Rp.50.000,- (ketentuan Pasal 16 ayat 2 PP No.128 Tahun 2015).

Setelah semua berkas dimasukkan ke BPN setempat melalui loket, maka proses baliknama menunggu verifikasi dari BPN. Bila semuanya tidak ada kendala, nama pemilik lama akan dicoret dan ditambahkan nama pemilik baru dalam sertipikat tanah. Selanjutnya, sertipikat sudah dapat diambil kembali. Kisaran waktunya bervariasi, tergantung kebijakan BPN setempat. Namun, umumnya waktu proses paling lama 1 bulan. 

Notaris

Wednesday, March 22, 2017

Akta Perjanjian Novasi Utang (Pembaruan Utang)

Novasi dalam KBBI diartikan sebagai penggantian utang atau tanggungan sebelumnya oleh utang atau tanggungan baru. Pengertian leksikal ini terkesan merujuk pada novasi obyeknya, yaitu utangnya. Sementara, menurut pengertian yang diberikan ketentuan Pasal 1413 KUH Perdata lebih rinci, bahwa novasi atau pembaruan utang ada 3 macam jalan atau bentuknya, yaitu:
1. Bila debitur membuat suatu perikatan utang baru untuk kepentingan kreditur yang menggantikan utang lama, yang dihapuskan karenanya. Novasi ini terkait dengan pergantian obyeknya atau sebenarnya disebut novasi utangnya.  
2. Bila debitur baru ditunjuk untuk menggantikan debitur lama, yang oleh kreditur dibebaskan dan perikatannya. Novasi ini disebut novasi debitur.
3. Bila sebagai akibat suatu persetujuan baru kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, yang terhadapnya debitur dibebaskan dan perikatannya. Novasi ini disebut novasi kreditur.

Salah satu ciri dari novasi utang adalah terjadinya pergantian/perpindahan kedudukan. Jika debitur hanya menunjuk seseorang yang harus membayar untuk dia, maka tidak terjadi suatu pembaruan utang. Hal yang sama berlaku jika kreditur hanya menunjuk seseorang yang diwajibkan menerima pembayaran utang untuknya (Pasal 1420 KUH Perdata). Karena pergantian/perpindahan kedudukan ini, maka utang yang lama (kepada debitur lama) hapus dan tercipta utang baru.

Terkait novasi subyektif, untuk pergantian kreditur (kreditur baru) lebih dikenal sebagai novasi subyektif aktif, sedangkan dalam pergantian debitur (debitur baru) lebih dikenal sebagai novasi subyektif pasif. Istilah aktif dan pasif di sini cukup membingungkan karena bila ditinjau dari perspektif utang, maka pihak yang aktif adalah debitur, sedangkan pihak yang pasif adalah kreditur. Debitur disebut pihak yang aktif karena debiturlah yang harus melakukan pemenuhan utangnya (prestasi), sedangkan kreditur adalah pihak yang menunggu pemenuhan prestasi tersebut. Artinya, lebih tepat apabila novasi debitur disebut novasi subyektif aktif, dan novasi kreditur lebih tepat disebut novasi pasif. Terlepas dari istilah aktif dan pasif, kreditur berperan aktif dalam suatu novasi (peran utama). Kreditur adalah aktor dari novasinya karena tanpa persetujuan kreditur atas suatu novasi, maka novasi tidak mungkin terjadi.

Dalam melangsungkan novasi, para pihak yang terlibat harus membuat akta, biasanya dengan akta notaris bukan dibawah tangan. Pembaruan utang (novasi) hanya dapat dilakukan antara orang-orang yang cakap untuk mengadakan perikatan, dan menurut ketentuan Pasal 1415 KUH Perdata, novasi utang tidak dapat hanya dikira-kira; kehendak seorang untuk mengadakannya harus terbukti dari isi akta. Dalam akta novasi utang, pihak debitur lama mengajukan permohonan kepada kreditur untuk pergantian debitur. Debitur baru selanjutnya mau menerima kedudukan tersebut, kesemuanya setelah kreditur memberikan persetujuan.

Walaupun novasi melibatkan 3 pihak, yaitu debitur, kreditur dan pihak yang menggantikan, akan tetapi terhadap novasi debitur, pembaruan utang dapat dijalankan tanpa bantuan debitur lama (Pasal 1416 KUH Perdata). Artinya, para penghadap dalam pembuatan akta novasi utangnya hanya 2 pihak, yaitu debitur baru dan kreditur.

Lalu bagaimana dengan pada suatu utang melekat hak-hak kebendaan seperti hak jaminan berupa Hak Tanggungan, fidusia ataupun gadai? Karena utang yang lama hapus dan tercipta utang yang baru, maka secara demi hukum hak-hak melekat pada utang tersebut terhapus. Untuk Hak Tanggungan, ketentuan Pasal 18 UU Hak Tanggungan berlaku bahwa Hak Tanggungan ikut hapus dengan hapusnya utang (perikatan pokok) yang dijamin. Demikian juga dengan jaminan fidusia, otomatis akan hapus (Pasal 25 UU Jaminan Fidusia). Dalam prakteknya, selain pembuatan akta perjanjian novasi utangnya, dibuatkan juga akta pembaruan perjanjian pokok antara kreditur/Bank dengan debitur yang baru atau antara debitur dengan kreditur yang baru. Dalam perjanjian tersebut, dapat disepakati adanya jaminan baru, atau jaminan lama tetap mengikat/melekat. Walaupun jaminan disebutkan tetap mengikat/melekat, prakteknya tetap dilakukan roya untuk mencoret hak jaminan lama dan kemudian didaftarkan hak jaminan baru dengan akta penjaminan yang baru pula.

**Akta pembaruan utang, akta pembaharuan utang
Notaris

Standby Letter of Credit (SBLC) Sebagai Jaminan Kredit

Standby Letter of Credit (SBLC)  adalah suatu janji tertulis Bank yang bersifat irrevocable yang diterbitkan atas permintaan applicant untuk membayar kepada beneficiary, apabila dokumen yang diserahkan telah sesuai/comply with dengan persyaratan dokumen yang tercantum dalam SBLC.

Seperti L/C lainnya, SBLC merupakan instruksi pembayaran dari Bank kepada beneficiary yang umumnya dipakai sebagai bentuk jaminan dari Bank atas pembiayaan tertentu. SBLC hanya akan dicairkan kalau applicant gagal memenuhi kewajibannya (wanprestasi) dan beneficiary melakukan klaim. tentu saja sepanjang persyaratan SBLC terpenuhi sehingga sering disamakan dengan Bank Garansi.

Walaupun SLBC dapat dijadikan 'jaminan' (garansi), namun bentuknya tidaklah sama seperti lembaga penjaminan yang telah diatur selama ini, seperti Hak Tanggungan, gadai atau fidusia. Biasanya, SBLC ini juga berbentuk pembiayaan dari Bank. Istilahnya disini, suatu pembiayaan dijamin dengan pembiayaan lainnya (biasanya dari Bank lain). Ketika debitur/nasabah wanprestasi atau tidak mampu membayar utang-utangnya yang timbul dari suatu perjanjian pembiayaan, maka Bank/kreditur akan mendapatkan pelunasan dari pencairan SBLC yang menjadi jaminan (dari Bank lainnya). Syaratnya, nilai SBLC setidaknya sebesar utang pokok ataupun lebih, dan jangka waktu SBLC tersebut setidaknya selama masa pembiayaan pokok atau lebih lama. 

Dibandingkan dengan lembaga jaminan konvensional seperti Hak Tanggungan, fidusia ataupun gadai, 'jaminan' yang berbentuk SBLC disini juga tidak memiliki unsur eksekutorialnya karena penjaminannya tidak dibuat menurut ketentuan perundangan-undangan. SBLC bukan merupakan suatu hak kebendaan yang dapat dijadikan sebagai jaminan (melainkan hak yang melekat pada pribadi). SLBC hanya dapat dicairkan bila syarat-syarat terpenuhi. Biasanya, ketika debitur memberikan SBLC sebagai 'jaminan', maka kreditur akan mendapat kuasa penuh dari debitur (akta kuasa yang dibuat dalam bentuk notaril) untuk mengklaim SBLC tersebut. Jadi, bentuk penjaminannya adalah pemberian kuasa. Kuasa tersebut diantaranya meliputi:
1) Menerima, menyimpan, memeriksa keaslian dan keabsahan, meminta konfirmasi kepada Bank penerbit (issuing bank)  dan/atau kepada Bank penerima (beneficiary bank) atas dokumen SBLC;
2. Mengajukan klaim pembayaran SBLC secara seketika tanpa memerlukan gugatan hukum, apabila debitur/nasabah melakukan atau dalam kondisi wanprestasi atas pembiayaannya;
3. Menerima dana pencairan SBLC secara tanpa syarat yang akan digunakan untuk pelunasan segala utang-utang debitur/nasabah atas fasilitas pembiayaan Bank/kreditur.

Tuesday, March 21, 2017

Akta Kuasa Menjual Tanah/Bangunan

Jual-beli tanah/bangunan merupakan salah satu peristiwa atau perbuatan pengalihan kepemilikan hak atas tanah. Oleh karenanya, perbuatan atau transaksi tersebut harus dilakukan oleh pemilik hak atas tanah tersebut. Permasalahannya, ada banyak alasan yang menyebabkan seorang penjual (pemilik) berhalangan untuk melaksanakan perbuatan itu sendiri dan menandatangani akta jual belinya. Sebagai contoh, pihak penjual tinggal di wilayah kota atau kabupaten lain, di luar wilayah tanahnya atau pihak penjual cukup sibuk sehingga ingin mengutus orang lain sebagai penggantinya. Lalu, apakah pihak penjual dapat memberikan kuasa kepada pihak lain untuk mewakilinya?

Ketentuan Pasal 1792 KUH Perdata menyebutkan bahwa pemberian kuasa merupakan suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa. Jadi, selain pemberian kuasa, unsurnya terpenting lainnya adalah pihak yang diberi kuasa menerima kuasa tersebut. Namun, penerima kuasa tidak boleh melakukan apa pun yang melampaui kuasanya. 

Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus (kuasa khusus), yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan pemberi kuasa. Pemberian kuasa yang dirumuskan secara umum hanya meliputi tindakan-tindakan yang menyangkut pengurusan saja, sedangkan pemberian kuasa secara khusus menyangkut tindakan untuk memindahtangankan (mengalihkan kepemilikan) barang atau meletakkan hipotek (menjaminkan) di atasnya, ataupun melakukan tindakan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik. Pemberian kuasa secara khusus tersebut harus tegas dinyatakan dalam aktanya (Pasal 1796 KUH Perdata).

Dalam hal pemberian kuasa untuk menjualkan sebidang tanah/bangunan, maka sebagaimana ketentuan Pasal 1796 KUH Perdata tersebut, kuasa seperti tersebut harus dibuat khusus dan tegas dinyatakan dalam aktanya. Pengertian khusus dan kata-kata tegas di sini tentu tidak saja menyangkut hak untuk menjual suatu obyek tanah/bangunan atas nama penjual, melainkan juga menyangkut siapa pembelinya dan berapa harga yang disepakati, kesemuanya harus dituangkan dalam akta kuasa menjual. Artinya, kuasa menjual sebenarnya dibuat dalam hal penjualan akan dilakukan, bila tidak maka kuasa menjual akan kehilangan esensi kekhususannya tadi dihubungkan dengan unsur-unsur perjanjian jual beli.

Lalu, bagaimana dengan kuasa menjual yang sifatnya hanya memberikan kuasa menjualkan sebidang tanah/bangunan tanpa merinci pihak pembeli dan harganya? Dalam hal seperti ini, kuasa menjual tersebut menjadi tidak tegas dan makna kuasa khusus disini hanya berarti tentang perbuatan menjual saja. Kepada siapa tanah dijual dan harganya berapa menjadi terserah penerima kuasa. 

Badan Pertanahan Nasional (BPN) selaku instansi yang mencatat perubahan kepemilikan hak atas tanah juga tidak begitu saja mau menerima akta kuasa menjual bila tidak kuat alasannya, apalagi kuasa yang diberikan bersifat mutlak (Kuasa Jual Mutlak), artinya pemberi kuasa tidak dapat menarik kembali kuasanya sehingga penerima kuasa seolah-olah berubah kedudukannya sebagai pemilik tanah tersebut, padahal sebagaimana ketentuan Pasal 1813 KUH Perdata, kuasa dapat ditarik kembali dan juga berakhir bila pemberi kuasa meninggal dunia atau pailit. Namun, jika pemegang kuasa tidak tahu tentang meninggalnya pemberi kuasa atau tentang suatu sebab lain yang menyebabkan berakhirnya kuasa itu, maka perbuatan dari kuasa tersebut tetap sah dan harus dipenuhi. Salah satu alasan yang diterima oleh BPN (Kantor Pertanahan) untuk menerima Kuasa Jual Mutlak adalah adanya alas hak yang kuat atas kuasa menjual tersebut. Alas hak tersebut memberikan kuasa kepada pembeli untuk bertindak sebagai kuasa pihak penjual untuk melaksanakan akta jual belinya. Sebagai contoh, penjual telah menerima harga tanah/bangunan, namun proses jual beli belum dilakukan karena pajak-pajak belum dibayar, sehingga untuk mendahuluinya, dilakukan PPJB (perjanjian pengikatan jual beli) antara penjual dan pembeli. PPJB ini mengandung kuasa menjual kepada pihak pembeli agar pembeli dapat menyelesaikan/menandatangani Akta Jual Belinya dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) setempat. Artinya, kalau PPJB dibatalkan, maka kuasa menjualnya juga dibatalkan. Sebaliknya, bila PPJB diubah, maka kuasa menjualnya juga harus diubah.

Hal yang perlu dicatat bahwa Akta Kuasa Menjual seharusnya bukan untuk memindahkan kepemilikan hak kepada penerima kuasa, tetap hanya mewakili pemberi kuasa selaku penjual. Dalam artinya, kepentingannya tetap atas nama penjual sebagaimana diamanatkan secara tegas dalam kuasanya. Akta Kuasa Menjual juga bukan kuasa untuk mencari pembeli (memasarkan/menjualkan), melainkan kuasa untuk mewakili penjual dalam suatu transaksi jual beli, dimana para pihak, obyek dan harganya sudah disepakati sebelumnya. Bila perlu, harga yang dibayarkan diterima langsung ke rekening penjual, bukan rekening atau diterima langsung oleh kuasa. Hal-hal ini untuk menghindari perselisihan atau konflik dalam hal pemberian kuasa menjual.

Kapal Laut Sebagai Jaminan Kredit

Kapal diartikan secara umum merupakan kendaraan air dengan bentuk dan jenis apapun, yang digerakkan dengan tenaga mekanik, tenaga angin, atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan dibawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah (definisi UU Pelayaran No.21 Tahun 1992). Pengertian lain diberikan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Dagang/KUHD (Pasal 309) bahwa kapal merupakan semua alat berlayar, bagaimanapun namanya dan apa pun sifatnya, sedangkan yang disebut sebagai kapal laut adalah semua kapal yang dipergunakan untuk pelayaran di laut atau diperuntukkan bagi itu (Pasal 310). Dalam pembiayaan kapal ataupun dalam hal kapal digunakan sebagai sarana usaha, seringkali kapal-kapal tersebut dijadikan jaminan untuk menjamin fasilitas pembiayaan yang diberikan oleh pihak perbankan.

Dari sifat kebendaannya, kapal dan perahu sebenarnya dikategorikan sebagai benda bergerak (Pasal 510 KUH Perdata). Namun, perlakuan terhadap kapal dibedakan dari volume isi kotornya, dimana hanya kapal dengan isi kotor minimal 20 m3 saja yang didaftar dalam register kapal (Pasal 314 dan Pasal 749 KUH Dagang). Selanjutnya, diatur dalam pasal-pasal tersebut bahwa terkait cara peralihan milik dan penyerahan kapal yang dibukukan dalam register kapal atau kapal dalam pembuatan dan saham pada kapal atau kapal-kapal dalam pembuatan akan diatur dalam ordonansi tersendiri. Atas kapal-kapal tersebut yang dibukukan dalam register kapal dapat diadakan hipotek, yaitu hipotek sebagaimana diatur dalam Pasal 1162 KUH Perdata. Atas kapal-kapal yang terdaftar tersebut tidak dapat diadakan hak gadai dan juga tidak berlaku ketentuan Pasal 1977 KUH Perdata yang menyebut bahwa penguasa barang dianggap sebagai pemiliknya sepenuhnya. Dari sini, kapal dengan isi kotor diatas 20 m3 dikategorikan oleh undang-undang sebagai barang tak bergerak.

Hipotek awalnya merupakan lembaga penjaminan untuk barang-barang tidak bergerak atau yang dianggap sebagai tidak bergerak. Hipotek merupakan suatu hak kebendaan atas barang tak bergerak yang dijadikan jaminan dalam pelunasan suatu perikatan (Pasal 1162 KUH Perdata). Jadi obyeknya tidak saja kapal, juga tanah. Terkait dengan tanah, penjaminannya sudah digantikan dengan sistem Hak Tanggungan (UU No.4 Tahun 1996). Untuk kapal-kapal dengan isi kotor dibawah 20 m3 dapat diadakan penjaminan secara gadai (Pasal 314 KUH Dagang) atau secara fidusia. (Pasal 3 UU Jaminan Fidusia No. 42 Tahun 1999).

Seperti halnya penjaminan secara Hak Tanggungan ataupun secara fidusia, penjaminan kapal juga harus didaftarkan, harus memenuhi asas publisitas. Ketentuan Pasal 1179 KUH Perdata menegaskan bahwa pendaftaran ikatan hipotek harus dilakukan dalam daftar-daftar umum yang disediakan untuk itu. Dalam hal tidak ada pendaftaran, hipotek itu tidak mempunyai kekuatan apa pun, bahkan juga terhadap kreditur yang tidak mempunyai ikatan hipotek. Penjaminan hipotek kapal hanya dapat dapat dilakukan orang pemilik kapal sebagaimana yang berwewenang juga untuk memindahtangankan kapal yang dibebani itu.

Pemberian jaminan hipotek hanya dapat dilakukan dengan akta otentik, kecuali dalam hal yang dengan tegas ditunjuk oleh undang-undang. Demikian juga dengan pemberian kuasa untuk memberikan hipotek tersebut, harus dibuat dengan akta otentik (Pasal 1171 KUH Perdata). Mengingat Notaris bukanlah pejabat umum yang berwenang membuat akta penjaminan hipotik, biasanya Notaris hanya membuatkan akta pemberian kuasanya saja. Akta Kuasa Pemasangan Hipotek ini ditandatangani oleh pemilik kapal dan pihak Bank, didalamnya pemilik kapal memberikan kuasa khusus kepada Bank untuk membebani kapal miliknya dengan hipotek dihadapan pejabat pembuat akta hipotek.

Satu hal yang penting diketahui bahwa hipotek hanya dapat diadakan atas kapal yang sudah ada. Pembebanan hipotek atas kapal yang belum ada adalah batal. Oleh karenanya, seperti halnya obyek jaminan tanah, maka Notaris harus melakukan pengecekan atas status kapal dimaksud. Dengan melakukan pengecekan, Notaris dapat memastikan eksistensi dan legalitas kapal serta apakah sedang dalam status dibebankan atau tidak. Surat Keterangan Status Hukum Kapal ini dikeluarkan oleh kesyahbandaran dimana kapal terdaftar dalam Daftar Induk Pendaftaran Kapal.

Setelah pengecekan, maka Notaris dapat membuatkan akta kuasa notariilnya, tentu saja setelah asli grosse pendaftaran kapal atau grosse balik nama kapal (sebagai bukti kepemilikan kapal) telah diterima Notaris beserta surat ukurnya. Bila surat ukur yang diterima masih bersifat sementara, maka harus diperhatikan jangka waktu keberlakuannya. Dengan akta kuasa notariil ini, pihak Bank diberikan kuasa untuk melakukan pembebanan secara hipotek atas nama pemilik kapal dan juga untuk kepentingan pihak Bank sendiri.

Untuk pelaksanaan pendaftaran hipotek tersebut, umumnya Notaris mendapat kuasa dari pihak Bank selaku pemegang atau penerima hipotek untuk menandatangani akta pemberian hipotek kapal tersebut. Untuk itu, pemegang hipotek akan menerima salinan akta hipotek. Untuk pendaftaran hipotek tersebut, dikenakan biaya diantaranya PNBP sesuai dengan tonase kotor (GT) kapal (lihat PP No.15 Tahun 2016), mulai dari Rp.100ribu (untuk GT 7-100) sampai dengan Rp.30juta per akta hipoteknya untuk kapal diatas GT 50.000.

Sunday, March 19, 2017

Kewenangan Bertindak Pengurus Koperasi dalam Akta Notaris

Koperasi merupakan badan usaha yang beranggotakan orang-perseorangan (disebut sebagai koperasi primer) atau badan hukum koperasi (disebut sebagai koperasi sekunder) dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Koperasi dianggap sebagai penggerak ekonomi rakyat karena koperasi itu didirikan oleh, dari dan untuk anggotanya. Hal ini menjadi salah satu dari sekian banyak kritik terhadap UU Perkoperasian No.17 Tahun 2012 sehingga MK pada tanggal 28 Mei 2014 membatalkan UU Perkoperasian baru tersebut dan sebelum terbentuk UU yang baru, maka UU Nomor 25 Tahun 1992 tetap berlaku. 

Sebagai sebuah badan hukum, pendirian koperasi dilakukan dengan pembuatan akta pendirian yang disahkan oleh pemerintah. UU ini tidak tegas menyatakan bahwa akta pendirian koperasi harus berbentuk akta notaris. Kewajiban berbentuk akta notaris ini tertuang dalam Kepmen No. 98 Tahun 2004 tentang Notaris Sebagai Pejabat Pembuat Akta Koperasi. Nantinya, akta pendirian tersebut akan didaftarkan oleh notaris bersangkutan yang saat ini melalui sistem online pada Kementerian KUKM.

Untuk menjalankan usaha koperasi, koperasi memiliki 3 perangkat/organ, yaitu Rapat Anggota, Pengurus dan Pengawas koperasi. Rapat Anggota merupakan organ koperasi yang memegang kekuasaan/keputusan tertinggi. Walaupun sifatnya mengedepankan kekeluargaan, namun dalam hal tidak tercapai kata mufakat, maka dilakukan pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak.

Pengelolaan koperasi dilaksanakan oleh pengurus yang dipilih dari dan oleh anggota koperasi melalui Rapat Anggota. Dengan masa jabatan paling lama 5 tahun, nama-nama pengurus akan tercantum dalam akta pendiriannya. Terkait kewenangan pengurus ini, ada hal yang penting diingat bahwa pengurus merupakan pemegang kuasa Rapat Anggota. Artinya, dalam mengelola koperasi, pengurus selaku kuasa Rapat Anggota melakukan kegiatan semata-mata untuk kepentingan dan kemanfaatan koperasi beserta anggotanya sesuai dengan keputusan Rapat Anggota. Walaupun demikian, pengurus dapat mengangkat pengelola yang bertanggungjawab terhadap pengurus itu sendiri dan hubungan keduanya bersifat hubunga kerja/kontraktual.

Terhadap pengelolaan koperasi, tanggungjawabnya dipegang oleh Pengawas Koperasi. Pengawas dipilih dari dan oleh anggota koperasi melalui Rapat Anggota sehingga pengawas bertanggung jawab kepada Rapat Anggota. 

Siapakah yang berwenang mewakili koperasi terhadap pihak ketiga? Ketentuan Pasal 30 UU Perkoperasian No. 25 Tahun 1992 menyebutkan bahwa kewenangan mewakili koperasi, baik diluar maupun didalam pengadilan dilakukan oleh organ Pengurus. Segala tindakan pengelolaan pengurus nantinya akan dipertanggungjawabkan kepada Rapat Anggota/Rapat Anggota Luar Biasa. Karenanya, ketentuan Pasal 34 UU Perkoperasian menegaskan bahwa Pengurus, baik bersama-sama, maupun sendiri-sendiri, menanggung kerugian yang diderita koperasi, karena tindakan yang dilakukan dengan kesengajaan atau kelalaiannya. Namun, terkait tanggungjawab pengurus atas kerugian koperasi sebagai akibat kelalaiannya tersebut, tidak tegas disebutkan apakah tanggungjawab tersebut bersifat keluar terhadap pihak ketiga atau hanya kedalam terhadap Rapat Anggota. 

Koperasi dalam menjalankan usahanya tentu memerlukan modal, yang menurut ketentuannya diperoleh melalui modal sendiri, maupun modal pinjaman. Modal pinjaman umumnya diperoleh koperasi dari lembaga perbankan/keuangan. Terkait dengan kewenangan mewakili tadi, dalam menerima fasilitas pinjaman dari pihak ketiga, apakah pengurus harus memperoleh persetujuan dari Rapat Anggota terlebih dahulu untuk menandatangani perjanjian kredit? Bila merujuk pada kedudukan pengurus selaku kuasa Rapat Anggota, maka dapat dimaknai bahwa setiap tindakan pengurus yang bukan merupakan ranah tugas dan wewenangnya wajib dengan persetujuan Rapat Anggota. Apalagi, keputusan/kekuasaan tertinggi berada ditangan Rapat Anggota.

Bila pengurus terdiri atas beberapa anggota (misalnya ada anggota yang bertindak sebagai ketua, sekretaris dan bendahara), apakah semua anggota pengurus tersebut wajib hadir untuk menandatangani akta perjanjian kredit? Mengingat UU telah menyebutkan bahwa pihak yang berwenang mewakili adalah pengurus, maka dapat dimaknai bahwa seluruh pengurus harus hadir untuk mewakili koperasi, kecuali dalam hal ditentukan lain dalam anggaran dasarnya. Anggaran dasar juga dapat menentukan bahwa untuk perbuatan-perbuatan tertentu pengurus harus mendapat persetujuan dari pengawas.

Notaris
Notaris

Perjanjian Kredit atau Akad Pembiayaan

Dengan terbitnya UU Perbankan (UU No.7 Tahun 1992 jo. UU No.10 Tahun 1998) dan UU Perbankan Syariah (UU No.21 Tahun 2008), sistem perbankan di Indonesia resmi menganut dua sistem, yang umum dikenal sebagai sistem konvensional dan sistem syariah. Walaupun dari lingkup pengaturannya, UU Perbankan Syariah merupakan pengaturan yang bersifat khusus. Produk-produk yang ditawarkan kedua sistem ini sebenarnya hampir sama, namun bentuk dan spesifikasinya berbeda karena prinsip yang tidak sama, walaupun pada akhirnya memiliki tujuan yang sama, yaitu demi pembangunan ekonomi nasional.

Salah satu produk perbankan adalah fasilitas/penyediaan pendanaan kepada nasabah bank. Perbankan konvensional menyebutnya sebagai "kredit", sedangkan Perbankan syariah menyebutnya "pembiayaan". Kredit merupakan penyediaan uang, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Sementara, Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. 

Berdasarkan kedua pengertian tersebut, perbedaan keduanya tampak mencolok. Kredit merupakan persetujuan (perjanjian) pinjam-meminjam dengan pembayaran bunga, sedangkan pembiayaan merupakan persetujuan pembiayaan dengan pembayaran imbalan atau bagi hasil. Bila kredit semata-mata berupa peminjaman uang (untuk keperluan tertentu), pembiayaan syariah merupakan bentuk transaksi pembiayaannya, apakah berupa transaksi jual beli (misalnya mudharabah), transaksi pemberian modal dengan bagi hasil (misalnya musyarakah, mudharabah), transaksi sewa-menyewa ataupun pinjam-meminjam (qardh)  dengan imbalan berupa ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil. 

Dalam pembuatan akta notaris, baik untuk perjanjian kredit maupun akad pembiayaan, sebenarnya sama, namun Notaris perlu memahami perbedaan prinsip diantara keduanya. Dalam perjanjian kredit, asas kebebasan berkontrak mendapat porsi yang besar sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum, sedangkan dalam akad pembiayaan persetujuan nasabah dan bank tidak boleh melanggar prinsip-prinsip syariah dalam bentuk fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang untuk itu. Satu hal yang pasti, dalam akta perjanjian kredit, kita kerap menggunakan istilah-istilah kredit, debitur, atau bunga, sedangkan dalam akad pembiayaan umum digunakan istilah-istilah seperti pembiayaan, nasabah, margin, ujrah, atau bagi hasil. Walaupun demikian, mengenai peristilahan antara satu dengan yang lainnya bisa saja tidak seragam. Sebagai contoh, istilah "pembiayaan" juga digunakan dalam lingkup usaha leasing yang menawarkan opsi pengoperan hak milik, bukan berarti suatu transaksi berbasis syariah.

Saturday, March 18, 2017

Perjanjian Jual Beli Saham Perseroan

Perseroan terbatas merupakan badan hukum persekutuan modal yang menjadi modal dasar dan terdiri atas saham-saham. Jadi, esensi perseroan adalah pembagian saham dan para pemegang saham inilah yang berperan penting dalam menentukan maksud dan tujuan perseroan. Mengingat perseroan merupakan badan hukum mandiri, maka pertanggungjawaban perseroan hanya sebatas harta perseroan tersebut, para pemegang sahampun hanya bertanggungjawab sebatas saham yang ditempatkan, kecuali dalam hal-hal yang menyebabkan limited liability tersebut tak berlaku.

Pendiri perseroan wajib menempatkan sahamnya kecuali dalam hal peleburan, artinya para pendiri perseroan otomatis menjadi pemegang saham. Nama-nama pemegang saham nantinya juga tercantum dalam akta pendirian perseroan dan juga akan terdaftar dalam Daftar Pemegang Saham Perseroan yang dibuat oleh perseroan tersebut. Atas kepemilikan saham tersebut, perseroan akan mengeluarkan bukti kepemilikan saham. Jumlah pemegang saham setidaknya 2 orang, sehingga ketika jumlahnya kurang dari 2 pemegang saham, maka dalam waktu 6 bulan, perseroan tersebut harus mengeluarkan saham baru atau pemegang saham tunggal mengalihkan sebagian miliknya kepada pihak lain (bila tidak dilakukan maka pemegang saham tersebut bertanggungjawab secara pribadi atas perseroan dan dapat dibubarkan, kecuali perseroan-perseroan tertentu).

Bila pemegang saham berkeinginan untuk melepas saham yang dimilikinya, maka prosesnya dapat dilakukan dengan menjual saham tersebut kepada orang lain. Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum jual beli saham dilakukan. Pertama, bagaimana anggaran dasar perseroan mengatur ketentuan khusus terkait peralihan saham, termasuk jual beli saham. Kedua, seberapa besar saham yang akan dialihkan. Bila besarannya termasuk dalam kategori sebagian besar, maka peralihan saham tersebut merupakan proses pengambilalihan.

Bila besaran saham yang ingin dialihkan bukan sebagian besar, maka setidaknya diperlukan persetujuan RUPS terkait dengan peralihan saham tersebut, yang berarti pergantian pemegang saham. Setelah persetujuan RUPS, dilanjutkan dengan penandatanganan akta jual beli sahamnya. Apakah akta jual beli sahamnya harus dibuat secara notariil (dengan akta notaris) atau cukup dibawah tangan atau perjanjian tertulis, ketentuannya harus mengacu kepada anggaran dasar perseroan. Bila diatur harus dengan akta notaris, maka akta tersebut dapat dibuat bersamaan dengan pembuatan akta PKR atas risalah RUPS persetujuan peralihan saham tersebut (yang sebelumnya telah dibuat secara dibawah tangan). Nantinya, Notaris akan melaporkan perubahan pemegang saham perseroan tersebut secara online kepada Menteri.

Friday, March 17, 2017

Apakah seorang Direktur Berwenang Mewakili Perseroan?

Direktur sebagai pihak yang mewakili direksi dan sekaligus mewakili perseroan haruslah dijabat oleh pihak/pejabat/orang-perorangan yang benar-benar sah dan berwenang untuk mewakili perseroan tersebut. 

Di dalam pembuatan akta-akta notaris yang penghadapnya mewakili perseroan, maka untuk pembuatan komparisinya, Notaris akan meminta penghadap tersebut untuk menyerahkan akta-akta perseroan yang lengkap, mulai dari akta pendirian, akta penyesuaian terhadap UU PT Tahun 2007, akta perubahan anggaran dasar, sampai dengan akta perubahan pemegang saham, direksi maupun komisaris (bila ada perubahan) berikut dengan surat keputusan pengesahan badan hukum, surat persetujuan menteri atas perubahan anggaran dasar maupun surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar atau data perseroan. Apabila ada, juga disertai Berita Negara dan Tambahannya. Selain akta-akta legalitas perseroan, juga dimintakan KTP/identitas direksi dan dewan komisarisnya.

Hal ini penting dilakukan karena Notaris harus memeriksa kewenangan penghadap dalam mewakili perseroan, apakah seseorang itu merupakan pejabat direktur yang sah dan berwenang mewakili perseroan. Nama-nama susunan direksi dan komisaris biasanya dicocokkan dengan identitas yang diberikan. Bila ada perbedaan nama, namun sebenarnya adalah orang yang sama, maka Notaris akan meminta penghadap untuk menyerahkan surat keterangan dari kelurahan bahwa nama-nama tersebut adalah orang yang sama.

Kewenangan direktur mewakili perseroan ditentukan oleh 2 hal, yaitu:
1. Apakah direktur tersebut dapat bertindak sendiri atau harus bersama direktur lainnya, sesuai dengan anggaran dasar. Bila direksi hanya terdiri dari seorang direktur, maka dapat bertindak sendiri. Sebaliknya, bila terdapat beberapa orang anggota direksi, maka Notaris harus memeriksa ketentuan dalam anggaran dasarnya, apakah cukup diwakili oleh Direktur Utama, atau bersama-sama dengan direktur lainnya.
2. Apakah masa jabatan direktur tersebut masih berlaku, karena anggaran dasar umumnya menentukan bahwa masa jabatan direktur adalah 5 (lima) tahun, walaupun ada juga yang menentukan masa jabatan direktur adalah 3 atau 10 tahun. Sejak saat diangkat, apakah direktur tersebut masih sah sebagai direktur? Bila masa jabatan direktur sudah berakhir (misalnya lewat 5 tahun), maka pejabat tersebut tidak lagi berwenang mewakili perseroan. Sebelum melakukan perbuatan hukum tertentu pejabat tersebut haruslah diangkat kembali sebagai direktur, tentu melalui mekanisme RUPS.

Selain itu, dalam kasus tertentu, kewenangan direktur mewakili perseroan juga ditentukan berdasarkan prinsip adanya kepentingan tertentu. Bila terjadi conflict of interest sebagaimana diatur dalam anggaran dasar perseroan, ataupun dalam peraturan perundangan-undangan tertentu (misalnya untuk transaksi-transaksi yang bersifat material), maka pejabat tersebut juga menjadi tidak berwenang dalam mewakili perseroan.

Pembatasan Tindakan/Perbuatan Hukum Direksi

Perseroan merupakan pribadi/entitas yang dibentuk oleh hukum (pribadi hukum) sehingga dalam tindak tanduknya dijalankan oleh pribadi kodrati/perseorangan dalam hubungan yang disebut perwakilan. Pihak yang mewakili perseroan ini disebut Direksi. 

Direksi perseroan adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Biasanya, jumlah anggota direksi ditentukan oleh anggaran dasar perseroan. Dalam hal terdapat beberapa orang anggota direksi, salah satunya kemudian ditunjuk sebagai Direktur Utama.

Anggota direksi diangkat dan diberhentikan oleh RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham). Namun, khusus pendirian perseroan baru, untuk pertama kalinya para pendiri harus menunjuk pejabat direksi dan dewan komisaris dalam akta pendirian perseroan tersebut, yang biasanya akan disebutkan di bagian penutup dari akta pendirian perseroan.

Apakah Direktur Utama selalu berwenang dalam mewakili perseroan? Pada dasarnya, pihak yang mewakili perseroan adalah direksi, baik terdiri atas seorang direktur atau beberapa direktur. Dalam hal hanya ditunjuk seorang direktur, maka direktur tersebut otomatis berwenang mewakili perseroan. Sebaliknya, bila diangkat beberapa orang direktur, kewenangan mewakili perseroan terkadang diatur agak berbeda, misalnya direksi harus diwakili oleh 2 direktur sekaligus, bisa direktur utama dan direktur lainnya, atau jika direktur utama berhalangan diwakili oleh 2 direktur lainnya. 

Dalam kasus anggota direksi berhalangan untuk mewakili perseroan, misalnya ketika perseroan akan menerima fasilitas pinjaman dari Bank dan harus melakukan penandatanganan akta notaris, direksi dapat menunjuk karyawan atau seorang lainnya sebagai kuasa direksi untuk mewakili perseroan khusus dalam suatu perbuatan tertentu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 UU Perseroan Terbatas bahwa direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan perseroan atau lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa.

Namun, walaupun direksi berwenang mewakili perseroan baik diluar maupun didalam pengadilan, umumnya dalam anggaran dasar ditentukan bahwa untuk perbuatan-perbuatan hukum tertentu seperti meminjam atau meminjamkan uang, turut serta dalam perusahaan baik di dalam maupun diluar negeri, menjadi penjamin utang untuk pihak lain, ataupun menjaminkan aset perseroan, diperlukan persetujuan dari organ perseroan lain, umumnya dari dewan komisaris maupun dari RUPS. Tanpa persetujuan ini sesuai dengan ketentuan anggaran dasarnya, maka perbuatan hukum yang dilakukan perseroan tersebut menjadi cacat hukum.

Notaris, dalam membuatkan akta perseroan, misalnya akta perjanjian kredit atau akta penjaminan, baik tanah milik perseroan maupun barang bergerak lainnya, harus cermat meneliti ketentuan khusus yang diatur dalam anggaran dasar perseroan tersebut. Akta notaris memiliki kekuatan pembuktian yang kuat dan sempurna, sehingga tindakan atau perbuatan yang diterangkan atau dibuktikan dengan akta notaris tersebut tidak boleh cacat hukum. Bila cacat hukum, maka notaris berpotenti dimintai pertanggungjawabannya.

Thursday, March 16, 2017

RUPS Penggantian Pengurus Perseroan

Menurut UU tentang Perseroan Terbatas (UU PT), Rapat Umum Pemegang Saham (lebih dikenal sebagai RUPS), adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam UU PT maupun dalam anggaran dasar perseroan tersebut. Artinya, pengertiannya bukan persoalan hirarkis atau kedudukan yang tertinggi/lebih tinggi dibandingkan organ lainnya, seperti Direksi atau Dewan Komisaris. RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris semata-mata organ yang memiliki kewenangan dan tugas yang berbeda saja. Namun, secara umum suatu keputusan terpenting dalam suatu perseroan berada di tangan para pemegang saham, karena pada akhirnya pemegang sahamlah yang nanti menerima pertanggungjawaban perseroan tersebut, walaupun sebatas hanya sebesar saham yang ditempatkannya.

Dalam keberlangsungan suatu perseroan, seringkali terjadi pergantian pengurus (anggota direksi/direktur dan anggota dewan komisaris/komisaris). Pergantian pengurus tersebut haruslah dilakukan berdasarkan RUPS juga. Selain itu, mengingat umumnya masa jabatan anggota direksi atau dewan komisaris dibatasi sampai 5 tahun saja, RUPS secara berkala juga dilakukan untuk pengangkatan direksi dan dewan komisaris perseroan. Walaupun demikian, ada saja ditentukan bahwa masa jabatan tersebut mencapai 3 atau 10 tahun. Untuk pergantian pengurus ini, maka perseroan harus melangsungkan RUPS atau dapat diganti dengan Surat Keputusan Pemegang Saham yang diedarkan (sirkuler) dengan catatan bahwa seluruh pemegang saham setuju atas pergantian pengurus tersebut. Dalam RUPS tersebut biasanya juga ditunjuk pejabat/karyawan secara tertulis yang bertugas untuk mengotentikan RUPS tersebut. Pejabat/karyawan yang ditunjuk akan menghadap Notaris dan selanjutnya menandatangani akta notaris atas RUPS atau Keputusan Sirkuler tersebut. Selanjutnya, Notaris akan mendaftarkannya secara online kepada Kementerian Hukum dan HAM. Surat dari Menteri (surat pelaporan penerimaan pemberitahuan perubahan data perseroan) akan dicetak oleh Notaris dan diserahkan kepada perseroan bersamaan dengan salinan resmi akta notarisnya (umum disebut Akta Pernyataan Keputusan Rapat/PKR).

Masa jabatan pengurus (direksi dan dewan komisaris) perlu mendapat perhatian, karena kerap terjadi ketika perseroan melakukan suatu perbuatan hukum (misalnya akad kredit) ternyata direktur yang melakukan penandatanganan akta tidak berwenang lagi sebagai direktur alias sudah habis masa jabatannya. Dalam kasus ini, tentu pribadi direktur tersebutlah yang menerima tanggung jawab atas perbuatan hukum tersebut, bukan pribadi hukum perseroan. Walaupun demikian, atas perbuatan hukum yang sudah terlanjur tersebut, masih ada jalan keluar yang dapat dilakukan. Para pihak melakukan penegasan kembali (tanda tangan ulang) atas perbuatan hukum yang sudah terlanjur tersebut setelah pengurus perseroan diperpanjang kembali. Artinya, dilakukan RUPS dengan agenda pengangkatan kembali dengan keputusan tambahan yang menerima konsekuensi hukum atau menerima hak/kewajiban yang timbul atas perbuatan hukum yang sudah terlanjur tersebut.

Lalu bagaimana apabila ada pemegang saham yang tidak dapat hadir atau tidak diketahui rimbanya? Apakah perseroan dapat melangsungkan RUPS? Persoalan ini tergantung dari seberapa besar saham yang dimiliki oleh pemegang saham yang tidak dapat hadir tersebut. Bila jumlah saham yang dimiliki merupakan sebagian besar (diatas 50%), maka RUPS tak dapat dilangsungkan karena kehadiran tidak kuorum (biasanya kuorum 1/2, 1/3 dari seluruh jumlah pemegang saham), tergantung dari agenda RUPS dan ketentuan dalam anggaran dasarnya. Memang, RUPS juga dapat dilangsungkan dengan berbekal perintah hakim (penetapan hakim yang menentukan besaran kuorum tersebut). Namun, kejadian yang kerap terjadi adalah para pemegang saham tidak diketahui rimbanya alias sudah tidak lagi peduli dengan keberlangsungan perseroan tersebut. Dalam kasus seperti ini tentu tak banyak yang dapat dilakukan. 

Sesuai ketentuan Pasal 146 UU PT, pengadilan negeri dapat membubarkan perseroan atas permohonan pemegang saham, direksi atau dewan komisaris berdasarkan alasan perseroan tidak mungkin untuk dilanjutkan. Dalam penjelasan pasal tersebut, disebutkan bahwa perseroan yang tidak melakukan kegiatan usaha (non-aktif) selama 3 (tiga) tahun atau lebih, yang dibuktikan dengan surat pemberitahuan yang disampaikan kepada instansi pajak atau dalam hal sebagian besar pemegang saham sudah tidak diketahui alamatnya walaupun telah dipanggil melalui iklan dalam Surat Kabar sehingga tidak dapat diadakan RUPS, menjadi asalan perseroan dapat dibubarkan.

Kendaraan Sebagai Jaminan Kredit

Saat ini, kendaraan yang dijadikan jaminan utang (istilah slang: disekolahkan) sudah umum terjadi di kalangan masyarakat. Mulai dari kendaraan keluarga (sepeda motor, mobil) sampai dengan kendaraan untuk operasional kantor maupun usaha (truk, alat berat). Bentuk penjaminan kendaraan seperti ini disebut penjaminan secara fidusia (kepercayaan saja). Mengapa berdasarkan kepercayaan saja? Karena kendaraan masih dikuasai oleh pemiliknya dan dipakai baik untuk keperluan pribadi maupun usaha dengan ketentuan pemiliknya sekarang secara hukum bukan lagi sebagai pemilik kendaraan melainkan sebagai pihak yang meminjamkannya saja. Pemilik kendaraan hanya memberikan surat kepemilikannya saja kepada pihak leasing atau Bank sebagai tanda bahwa sejak dijaminkan, kepemilikan kendaraan tersebut secara hukum telah beralih kepada pihak leasing atau Bank. 

Mekanisme penjaminan fidusia ini memang relatif cukup mudah, apalagi sekarang sistem pendaftaran fidusianya sudah dilakukan secara online oleh Notaris yang ditunjuk sebagai pembuat akta fidusianya. Setelah para pihak (debitor dan kreditor) telah menandatangani perjanjian kreditnya, maka disusul dengan penandatanganan akta pemberian jaminan fidusianya dihadapan Notaris. Bila debitur juga merupakan pemilik kendaraan, maka debitur cukup menyerahkan asli BPKB (Buku Pemilikan Kendaraan Bermotor) dan copy STNK. Dalam kasus tertentu, dimana pihak peminjam adalah perusahaan, dan kendaraan yang dijaminkan tersebut merupakan kendaraan operasional/usaha yang dibiayai oleh Bank tersebut (artinya dana pinjaman digunakan untuk pembelian kendaraan operasional), maka proses penjaminannya biasanya cukup didukung dengan data-data pemesanan barang, kuitansi pembayaran dan surat pernyataan dari dealer bahwa akan menyerahkan BPKB kepada Bank setelah BPKB tersebut selesai diproses.

Setelah akta penjaminan fidusia selesai ditandatangani, maka pihak Notaris akan mendaftarkannya secara online ke Kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia yang merupakan lembaga dibawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Atas pendaftaran tersebut, maka Notaris akan mencetak sertifikat tersebut (karena penerbitan Sertifikat Jaminan Fidusia dilakukan oleh Kantor Pendaftaran Fidusia secara digital) dan menyerahkannya kepada pihak leasing/Bank. 

Dalam hal pihak peminjam tak melunasi pinjamannya, maka dengan berdasarkan sertifikat tersebut, pihak Bank akan menarik kendaraan yang dikuasai oleh debitur dengan anggapan bahwa debitur hanya berstatus peminjam pakai atas kendaraan tersebut. Hal ini memang sering terjadi, dimana kendaraan ditarik oleh leasing/Bank.