Wednesday, June 28, 2017

Sekilas Mengenai Persekutuan Komanditer atau Perseroan Komanditer (CV)

Dalam mendirikan perusahaan atau badan usaha seringkali dipertanyakan apakah lebih baik mendirikan Perseroan Terbatas (PT) atau Perseroan Komanditer (CV). Dari sisi legalitasnya, pendirian sebuah PT harus mengikuti ketentuan Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas (UU No.40 Tahun 2007), sedangkan pendiran sebuah CV tidak memerlukan pengesahan pejabat (dalam hal ini, Menteri Hukum dan HAM) sebagaimana halnya sebuah PT.

Dasar hukum pendirian CV merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), Wetboek van Koophandel voor Indonesie. Pasal 19 KUHD menyebutkan bahwa Perseroan Komanditer terbentuk dengan cara meminjamkan uang. Jadi, unsurnya terdiri atas 1) Pesero (pesero pengurus, sekutu aktif, pesero komplementer) yang meminjam uang (satu orang atau lebih dengan tanggung jawab secara renteng) dan 2) Persero yang meminjamkan uang (pesero komanditer, sekutu pasif, sekutu pelepas uang, sekutu diam). 
  • Istilah Persero tidak baku, yang baku disebut Pesero.
  • Penggunaan istilah Perseroan dalam hal perseroan komanditer merujuk pada persekutuan andil (inbreng/pemasukan). Dalam PT, perseroan mengacu pada  persekutuan modal yang dibagi-bagi dalam bentuk saham. 
Umumnya, pendirian CV dilakukan dengan membuatkan Akta Pendirian Perseroan Komanditer yang dilanjutkan dengan pendaftaran pendirian perseroan tersebut pada Panitera Pengadilan Negeri (Raad van Justitie) setempat, sesuai lokasi domisili CV.

Walaupun demikian, keharusan pendirian perseroan dengan akta otentik (akta Notaris) berikut pendaftarannya hanya tegas disebutkan untuk pendirian Perseroan Firma (Pasal 22 KUHD), bukan Perseroan Komanditer (CV). Bahkan, pendirian perseroan yang dilakukan tanpa akta Notaris juga tidak bisa dipakai sebagai alasan untuk menyangkal keberadaan Perseroan terhadap pihak ketiga (Pasal 22 KUHD).

Selain itu, Pasal 28 KUHD menyebutkan bahwa setelah Perseroan didaftarkan, maka kutipan aktanya diumumkan melalui surat kabar yang setidaknya mencantumkan:
1. Nama, nama kecil, pekerjaan dan tempat tinggal para persero firma;
2. Pernyataan firmanya dengan menunjukkan apakah perseroan itu umum, ataukah terbatas pada suatu cabang khusus dari perusahaan tertentu, dan dalam hal terakhir, dengan menunjukkan cabang khusus itu;
3. Penunjukan para persero, yang tidak diperkenankan bertandatangan atas nama firma;
4. Saat mulai berlakunya perseroan dan saat berakhirnya;
5. Pada umumnya, bagian-bagian dari perjanjiannya yang harus dipakai untuk menentukan hak-hak pihak ketiga terhadap para persero.

Selama pendaftaran dan pengumuman belum dilakukan, maka Perseroan Firma itu terhadap pihak ketiga akan dianggap sebagai perseroan umum untuk segala urusan, dianggap didirikan untuk waktu yang tidak ditentukan dan dianggap tiada seorang persero pun yang dilarang melakukan hak untuk bertindak dan bertanda tangan untuk firma itu (Pasal 29 KUHD).

CV (Commanditaire Vennootschap) pada prinsipnya bukanlah suatu badan hukum (entitas hukum, subyek hukum) yang memiliki hak dan kewajiban sendiri, terpisah dari hak dan kewajiban pengurus maupun pendirinya. Disebut badan hukum kalau badan/entitas hukum tersebut dapat memikul hak dan kewajiban sendiri, terpisah dari hak dan kewajiban pendiri/pengurusnya. Walaupun demikian, hak dan kewajiban yang dapat dipikul oleh badan hukum tentu tidak seperti hak dan kewajiban orang-perseorangan (manusia),  lebih banyak meliputi persoalan kebendaan.

Pengertian badan hukum itu sendiri tidak sama dengan pengertian badan usaha. Badan hukum memiliki pengertian yang bersifat umum/luas, sedangkankan badan usaha bersifat khusus. Tidak semua badan usaha itu berbadan hukum, dan tidak selalu badan hukum merupakan badan usaha. Ada badan hukum yang bukan merupakan badan usaha, sebagai contoh Yayasan.

Mengingat CV bukanlah subyek/badan hukum, maka tidak dapat dikategorikan sebagai "orang" (orang ciptaan hukum). Lantas, kalau bukan subyek hukum apakah hakekat dari sebuah CV? Menurut KUHD, Perseroan Komanditer hanyalah salah satu jenis perseroan/persekutuan, karena selain perseroan komanditer, ada juga yang disebut perseroan firma. Baik jenis Firma maupun Komanditer sama-sama merupakan bentuk Persekutuan/Perseroan Perdata. Artinya, Firma merupakan persekutuan perdata dengan menggunakan nama bersama (Pasal 16 KUHD), dimana para mitra Firma bertanggung jawab secara tanggung renteng sampai kepada harta pribadi, sedangkan Komanditer merupakan persekutuan perdata, dimana salah satu pihak atau lebih merupakan sekutu pelepas uang (kewajibannya hanya sebatas meminjamkan uang, tidak ikut melakukan pengurusan). Sekutu Komanditer tidak ikut memikul kerugian lebih dari uang yang dipinjamkan sehingga disebut juga sebagai persekutuan dengan tanggung jawab terbatas (limited partnership). Oleh karena merupakan bagian suatu persekutuan perdata, maka ketentuan-ketentuan umum mengenai persekutuan perdata juga berlaku terhadap perseroan jenis Firma dan Komanditer (Pasal 1618 dst. KUH Perdata).
  • Perseroan Firma dan Komanditer adalah jenis-jenis Perseroan Perdata. Pasal 1618 KUH Perdata menyebutkan bahwa Perseroan Perdata adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih, yang berjanji untuk memasukkan sesuatu ke dalam perseroan itu dengan maksud supaya keuntungan yang diperoleh dari perseroan itu dibagi di antara mereka.
Oleh karena perseroan-perseroan ini hanyalah merupakan persekutuan orang-perorangan, maka dapat saja terjadi bahwa dalam suatu Perseroan dapat sekaligus berwujud perseroan firma terhadap pesero-pesero firma di dalamnya dan perseroan komanditer terhadap pemberi pinjaman uang (Pasal 19 KUHD). Bila dalam suatu Perseroan Komanditer terdapat beberapa pesero komplementer sekaligus, maka diantara para pesero Komplementer ini berlangsung suatu perseroan Firma, sedangkan terhadap sekutu pelepas uang berlangsung suatu perseroan Komanditer.

Selama ini, pemberian nama Perseroan Komanditer jarang ditemui mengikuti nama pengurusnya dan bahkan umumnya diberikan nama yang tidak ada hubungan dengan nama pengurusnya (pesero komplementernya). Dalam kasus Perseroan Komanditer hanya terdiri atas satu orang pesero Komplementer (satu pengurus) dan satu atau lebih pesero Komanditer, maka tentu saja nama yang digunakan bukanlah nama bersama, karena hanya ada satu nama (nama pesero pengurus), sedangkan nama pesero Komanditer tidak boleh dipakai (Pasal 20 KUHD, "Dengan tidak mengurangi kekecualian yang terdapat dalam Pasal 30 alinea kedua, maka nama pesero Komanditer tidak boleh digunakan dalam Firma"). Bahkan, bila terdapat beberapa orang sekutu Komplementer, nama CV yang diberikan juga umumnya tak mencerminkan nama bersama(-sama). Nama CV lebih umum diberikan selayaknya sebuah badan hukum seperti PT, yang boleh memiliki nama tersendiri.

Bila kita perhatikan nama-nama suatu perseroan komanditer di masa lalu, maka kita akan paham bahwa yang dimaksud dengan nama bersama adalah nama-nama dari peseronya, misalnya seperti:  CV Mutsaers & Zoon - Tillburg*, CV Lens en BergsmaCV A.Milder & Co, atau CV Hillen & Co.

Thursday, June 8, 2017

Pemegang Saham Tidak Melakukan Penyetoran Modal

Perseroan Terbatas (Perseroan) merupakan suatu badan hukum yang terdiri atas kumpulan modal uang (yang dibagi-bagi dalam bentuk saham). Dari perspektif awam, Perseroan merupakan badan usaha yang bertujuan komersil, mencari keuntungan dari modal bersama. Artinya, ketika membentuk suatu Perseroan, modal (bernilai uang) ini menjadi unsur yang utamanya. Kumpulan modal ini kemudian dibagi-bagi dalam bentuk saham yang memiliki nilai nominal dengan total sebanyak modal yang ditetapkan dalam anggaran dasar. 

Pengertian modal dalam Perseroan terbagi menjadi 3, yaitu modal dasar (authorized capital), modal ditempatkan (issued capital) dan modal disetor (paid up capital). Prinsipnya, dari modal dasar tersebut, sebanyak 25% dari modal tersebut harus sudah disetor. Menariknya, muncul ketentuan baru terkait modal dasar. UU PT menentukan bahwa modal dasar Perseroan minimal adalah sebesar Rp.50juta. Namun, PP Perubahan Modal Dasar Perseroan (No.29 Tahun 2016) mengatur bahwa besaran modal dasar sesuai kesepakatan para pendiri (boleh dibawah Rp.50juta), dengan ketentuan bahwa syarat penyetoran sebanyak 25% dari modal tersebut tetap berlaku. Kini, modal ditempatkan (dan juga berarti saham yang telah dikeluarkan) keseluruhannya harus sudah disetorkan/dibayarkan nilainya kepada Perseroan (yang nantinya dipakai oleh Perseroan untuk menjalankan operasional usaha).  Hal ini berbeda dengan ketentuan sebelumnya, bahwa sebelum Perseroan mendapat pengesahan dari Menteri, modal ditempatkan boleh sebagian disetorkan terlebih dahulu. Sisanya disetorkan pada saat Pengesahan Menteri.

Namun, mekanisme pendirian Perseroan online saat ini memungkinkan suatu Perseroan yang telah berdiri tidak memiliki modal sama sekali, bahkan setelah Surat Pengesahan Menteri dikeluarkan. Penyebabnya, pemegang saham tidak atau sama sekali belum melakukan penyetoran saham secara riil sebagaimana yang telah disepakati. UU PT memberikan pengertian bahwa penyetoran modal harus dibuktikan dengan bukti setor yang sah, antara lain berupa bukti setoran pemegang saham ke dalam rekening bank atas nama Perseroan (slip setor rekening Bank), data dari laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan, atau neraca Perseroan yang ditandatangani oleh Direksi dan Dewan Komisaris. Jangka waktu penyetoran modal ini ditetapkan 60 hari setelah akta pendirian Perseroan ditandatangani. Bukti setor tersebut harus dikirim secara online kepada Kementerian. Bila tidak dilakukan, maka akses perubahan terhadap Perseroan dapat terblokir.

Terkait pendirian Perseroan, Kementerian menyerahkan sebagain besar tanggung jawab tersebut kepada Notaris yang melakukan permohonan pengesahan. Notaris hanya disyaratkan untuk memberikan pernyataan bahwa dokumen yang disyaratkan telah lengkap. Atas permohonan pengesahan Perseroan tersebut, setelah disetujui, maka Surat Pengesahan Menteri dapat dicetak sendiri oleh Notaris, dan diserahkan kepada Perseroan.

Lalu, bagaimana dengan kondisi dimana seluruh Pemegang Saham tidak melakukan penyetoran modal sampai batas waktu 60 hari tersebut lewat? Bila demikian, Perseroan tersebut dapat dianggap tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Perseroan karena keberadaan modal tersebutlah yang menjadi unsur terpenting dari suatu Perseroan. Problematis. Di satu sisi, Surat Pengesahan Menteri merupakan syarat untuk pengajuan izin-izin usaha, NPWP dan pembuatan rekening PT. Di sisi lain, setelah Pengesahan Menteri, Perseroan masih belum memiliki modal yang sebenarnya, padahal UU PT menentukan bahwa penyetoran harus dilakukan secara penuh ketika Perseroan telah disahkan.