Rumah merupakan salah satu kebutuhan manusia yang paling utama. Bahkan, memiliki rumah oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai salah satu bukti keberhasilan, tanda kemapanan atau kemandirian hidup. Memiliki rumah tidak lantas berarti membeli secara tunai (istilah populer cash keras). Rumah dapat dimiliki dengan membeli secara mencicil (kredit). Umumnya, cara ini ditawarkan oleh institusi perbankan dengan program Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Apakah KPR itu? Kredit Pemilikan Rumah (KPR) merupakan bentuk pinjaman dana berbunga dari Bank kepada Nasabah, yang mana dana pinjaman tersebut khusus dipergunakan untuk melunasi pembelian rumah kepada pihak pengembang (developer) dan atas nilai pinjaman berbunga tersebut akan dilunasi oleh Nasabah kepada Bank secara bertahap/mencicil selama jangka waktu tertentu dengan ketentuan bahwa (tanah/)rumah tersebut menjadi jaminan atas pinjaman utang tersebut.
Dari pengertian tersebut, maka dapat diuraikan bahwa KPR memiliki beberapa aspek perbuatan (hukum). Pertama, terjadi utang-piutang antara Bank dan Nasabah. Kedua, terjadi jual beli (tanah/)rumah antara Nasabah dan pengembang. Ketiga, terjadi pemberian kuasa dari Nasabah kepada Bank untuk melunasi pembelian (tanah/)rumah atas nama Nasabah. Keempat, terjadi proses penjaminan rumah (secara Hak Tanggungan) sebagai jaminan pelunasan utang dari Bank.
Tahapan pembelian rumah secara kredit (KPR) umumnya akan dimulai dengan proses pemilihan (booking/reservasi ) rumah, dimana calon pembeli memberikan biaya booking dan kemudian dilanjut dengan pembayaran down payment (DP). Saat bersamaan dilakukan permohonan kredit (pinjaman utang) kepada Bank rekanan. Bila permohonan kredit diterima, maka dilanjutkan dengan proses jual beli (bila aplikasi kredit ditolak, uang DP dikembalikan biasanya setelah dipotong biaya admin). Dana pinjaman akan langsung ditransfer ke rekening pihak pengembang. Setelah tahapan jual beli selesai, maka proses dilanjutkan dengan penjaminan rumah sebagai jaminan pelunasan utang KPR tersebut. Nasabah kemudian melakukan pembayaran cicilan dalam jangka waktu tertentu sampai seluruh pembiayaan rumah lunas.
Sampai disini, Nasabah dalam kenyataannya sudah memiliki rumah tersebut (status sertipikat tanah sudah terdaftar atas nama Nasabah). Hanya saja, sertipikat tanah menjadi jaminan atas pelunasan utang Nasabah tersebut. Atas jaminan utang ini, Bank memegang Sertipikat Hak Tanggungan (SHT) yang didalamnya tercatat bahwa tanah rumah tersebut dijadikan sebagai obyek Hak Tanggungan. Bank umumnya juga menyimpan asli sertipikat tanahnya dengan pertimbangan agar memudahkan Bank untuk melakukan tindakan eksekusi bila nanti diperlukan.
Walaupun demikian, teknis mengenai peralihan kepemilikan tanah/rumah dengan KPR bisa saja tak sederhana karena memerlukan proses dan waktu. Dalam kasus Nasabah membeli rumah diatas tanah kavling (umumnya berupa komplek perumahan), status kepemilikan tanah atas seluruh kavling-kavling dalam komplek tersebut biasanya masih terdaftar dalam 1 (satu) sertipikat tanah yang sama (istilahnya sertipikat induk). Alhasil, harus dilakukan pemecahan/pemisahan sertipikat tanah setelah permohonan KPR Nasabah disetujui Bank.
Lalu, bagaimana bila sebelum jangka waktu pelunasan selesai, Nasabah ingin menjual kembali rumah tersebut kepada pihak lain? Istilah populernya over kredit (oper-kredit) rumah. Dalam praktek, over kredit rumah sering terjadi. Di tengah perjalanan pembiayaan, Nasabah sudah ingin melepaskan KPR tersebut dengan berbagai alasan.
Memang, mengingat sertipikat (tanah/)rumah sudah terdaftar atas nama Nasabah, maka selaku pemilik tentu Nasabah berhak untuk menjualnya kembali. Namun, hak untuk menjual rumah tersebut tentu dibatasi dengan adanya perjanjian penjaminan rumah antara Nasabah dan Bank. Biasanya, disebutkan dalam perjanjian tersebut untuk melakukan tindakan pengalihan seperti itu harus mendapat persetujuan dari pihak Bank. Lagipula, mengingat asli sertipikat rumah tersebut masih dikuasai oleh Bank, tentu saja tidak memungkinkan bagi Nasabah untuk menjualnya kembali tanpa sepengetahuan Bank.
Oleh karenanya, untuk mengatasi keterbatasan tersebut biasanya antara Nasabah (selaku pemilik rumah) dan calon pembeli melakukan perjanjian over kredit (operkredit) rumah. Dalam praktek perjanjian over kredit rumah sering dilakukan dengan kondisi tanpa sepengetahuan pihak Bank. Calon pembeli mengganti seluruh biaya yang telah dikeluarkan dan kemudian melanjutkan pelunasan KPR secara mencicil. Prosesnya, over kredit dilakukan dengan pembuatan akta peralihan hak dan kewajiban kredit, pembuatan akta perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) dan pembuatan akta pemberian kuasa untuk mengambil sertipikat tanah di Bank pada waktunya nanti (ketika lunas). Cara over kredit seperti ini sekarang banyak menimbulkan masalah karena Bank ternyata tidak mau menyerahkan sertipikat kepada pihak lain selain yang namanya tercatat pada sertipikat (pihak Nasabah).
Di sini, over kredit rumah juga memiliki beberapa aspek perbuatan hukum. Pertama, terjadi pengalihan hak dan kewajiban KPR dari Nasabah kepada calon pembeli baru. Di sini, calon pembeli (penerima over kredit) mengganti biaya-biaya yang telah dikeluarkan dan kemudian melanjutnya pembayaran cicilan kepada Bank. Dalam kasus ini, walaupun disebutkan bahwa hak dan kewajiban kredit telah berpindah kepada calon pembeli, namun secara hukum, perjanjian KPR antara Bank dan Nasabah masih tetap berlangsung. Bank tetap dapat meminta pertanggungjawaban utang dari Nasabah. Lantaran proses over kredit dilakukan tanpa sepengetahuan dan persetujuan Bank, maka Bank tetap berurusan dengan Nasabah, bukan pihak lain. Kedua, antara Nasabah dan calon pembeli dibuatkan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB, pra-AJB) rumah. Nantinya, ketika pembiayaan KPR lunas, PPJB tersebut dilanjutkan dengan AJB setelah sertipikat diserahkan oleh pihak Bank. Ketiga, biasanya juga dibuatkan perjanjian pembelian kuasa untuk mengambil asli sertipikat tanah di Bank ketika pembiayaan lunas walaupun perjanjian kuasa semacam ini bisa juga tak diterima oleh pihak Bank.
Pada Bank tertentu, perjanjian over kredit semacam ini diperbolehkan kalau jangka waktu perjanjian KPR sudah melewati masa 5 tahun. Artinya, kalau Nasabah ingin melakukan over kredit, maka prosesnya harus melibatkan pihak Bank sehingga dengan demikian dikatakan proses over kredit menjadi resmi. Dalam hal ini, teknisnya sebenarnya dapat dilakukan dengan 2 cara. Pertama, dengan pembaharuan utang dimana posisi Nasabah (debitor lama) akan digantikan oleh penerima over kredit (debitor baru) setelah permohonan debitor baru disetujui. Debitor baru kemudian mengajukan permohonan kredit dan nantinya kredit tersebut digunakan untuk melunasi utang debitor lama. Dalam kasus ini, utang debitor lama menjadi hapus, demikian juga dengan penjaminan rumahnya yang otomatis hapus. Sebagai gantinya, setelah jual beli dilakukan antara debitor lama dan debitor baru dan sertipikat telah dibaliknama menjadi atas nama debitor baru, selanjutnya rumah tersebut kembali dijadikan sebagai jaminan pelunasan utang oleh debitor baru. Catatan di sini: Sebelum jual beli dapat dilakukan, atas sertipikat yang masih terdaftar sebagai jaminan Bank, dilakukan roya pada kantor Pertanahan setempat agar statusnya kembali bersih, bebas dari pembebanan. Kedua, dengan pemindahan (pendelegasian), dimana Nasabah (debitor lama) menunjuk penerima over kredit (sebagai debitor baru) untuk melanjutkan pembayaran cicilan. Di sini, utang debitor lama tidak hapus sehingga penjaminan rumah masih tetap berlangsung (atas nama debitor lama). Bank tetap masih dapat meminta pertanggunganjawaban Nasabah selaku debitor lama bila ternyata debitor baru tidak memiliki kemampuan. Antara Nasabah dan penerima over kredit kemudian dibuatkan PPJB sehingga nanti setelah KPR lunas, PPJB berlanjut dengan AJB untuk proses baliknama sertipikat menjadi atas nama penerima over kredit.
Awam umumnya melihat proses over kredit rumah sebagai satu perbuatan hukum saja. Padahal, over kredit rumah tidak semata-mata mengalihkan kewajiban pembayaran cicilan rumah, melainkan juga mengalihkan kepemilikan (tanah/)rumahnya. Oleh karena (tanah/)rumah yang di-over kredit merupakan jaminan Bank, maka proses over kredit sebaiknya melibatkan pihak Bank.