Mengenai perseroan terbatas, ketentuannya secara umum diatur dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas (UU No. 40 Tahun 2007). Perseroan terbatas merupakan persekutuan modal yang umumnya didirikan berdasarkan perjanjian minimal antara dua pendiri (orang/badan hukum) yang sekaligus menjadi pemegang saham. Pendiri menyetorkan sejumlah modal yang kemudian dihitung sebagai saham dalam perseroan tersebut, sehingga mereka disebut pemilik/pemegang saham. Pemilik sahamlah yang menentukan anggaran dasar dan keputusan-keputusan penting dalam perseroan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Operasional perseroan terbatas diurus/dijalankan oleh direksi sebagai pengurus, dan pengawasan terhadap kepengurusan direksi tersebut dilakukan oleh dewan komisaris.
Baik anggota direksi maupun anggota dewan komisaris masing-masing dapat terdiri atas satu orang anggota maupun lebih.
Lalu, apakah boleh seorang direktur sekaligus merangkap sebagai komisaris dalam suatu perseroan terbatas yang sama? Pertanyaan ini sederhana, namun tak mudah juga untuk menjawabnya, karena tidak terdapat larangan tegas mengenai rangkap jabatan direksi dan dewan komisaris dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas (UU PT).
Mengenai kriteria siapa yang dapat menjadi anggota direksi dan dewan komisaris, ketentuan Pasal 93 dan Pasal 110 UU PT hanya mensyaratkan bahwa yang bersangkutan adalah orang-perseorangan (bukan badan hukum) yang cakap-hukum, dan dalam waktu 5 tahun sebelum pengangkatan, yang bersangkutan tidak dinyatakan pailit, atau bersalah yang menyebabkan suatu perseroan pailit, atau dihukum karena tindak pidana yang merugikan keuangan negara atau tindak pidana yang berkaitan dengan sektor keuangan. Walaupun demikian, persyaratan lain juga dapat ditetapkan terpisah oleh instansi teknis melalui peraturan perundang-undangan.
Syarat pengangkatan anggota direksi dan dewan komisaris yang diatur Pasal 93/110 UU PT tidaklah mengatur soal larangan rangkap jabatan. Oleh karenanya, ketentuan tersebut oleh sebagian orang ditafsirkan bahwa rangkap jabatan diperbolehkan. Situasinya berbeda dengan badan hukum Yayasan. Undang-Undang Yayasan (UU No. 16 Tahun 2001 diubah dgn UU No. 28 Tahun 2004) secara tegas mengatur bahwa antara organ Pembina, Pengurus dan Pengawas tidak boleh ada rangkap jabatan. Penjelasan Pasal 31 UU Yayasan menyebutkan bahwa larangan perangkapan jabatan dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan tumpang tindih kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang dapat merugikan kepentingan Yayasan atau pihak lain.
Bila dikaitkan dengan adanya ketentuan mengenai larangan direksi mewakili perseroan terbatas karena adanya benturan kepentingan (Pasal 99 UU PT), pembatasan tersebut hanya mengenai adanya benturan kepentingan antara anggota direksi dan perseroan itu sendiri. Namun, tidak ada penjelasan mengenai definisi benturan kepentingan tersebut. Walaupun demikian, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan benturan kepentingan tersebut adalah hal-hal yang dapat merugikan perseroan atau tidak sejalan dengan maksud dan tujuan perseroan. Jadi, apabila anggota direksi tersebut memiliki benturan kepentingan terhadap perseroan, hal tersebut hanya akan menghapus kewenangannya untuk mewakili perseroan, tidak membatalkan jabatannya sebagai direktur. Jadi, kalau alasan rangkap jabatan karena adanya benturan kepentingan dengan perseroan, maka alasan tersebut masih dapat diperdebatkan. Bila tidak merugikan kepentingan perseroan, maka tidak ada benturan kepentingan. Selain itu, apabila terdapat lebih dari satu anggota direksi, maka alasan benturan kepentingan hanya akan mengalihkan kewenangan direksi kepada anggota direksi (direktur) lain, yang tidak memiliki benturan kepentingan.
Baik direksi maupun dewan komisaris memiliki kewenangan yang satu-sama lain berbeda kepentingannya dalam konteks tugas dan tanggung jawabnya. Perbedaan kepentingan ini bukan merupakan suatu benturan kepentingan, karena tujuannya adalah sama, yaitu untuk mencapai maksud dan tujuan perseroan. Direksi menjalankan usaha perseroan, sedangkan dewan komisaris mengawasi dan memberi nasihat mengenai jalannya perseroan, dengan tidak menutup kewenangan dewan komsaris untuk dapat membatasi tindakan-tindakan direksi dalam bentuk pemberian persetujuan.
Namun, dalam hal tertentu, dewan komisaris justeru memiliki kewenangan yang berbenturan dengan kepentingan pribadi anggota direksi. Dewan komisaris dapat memberhentikan sementara jabatan direksi karena alasan tertentu (Pasal 106 ayat 1 UU PT). Dalam hal tertentu pula, dewan komisaris menggantikan tugas direksi menjalankan perseroan (Pasal 118 UU PT), ataupun mewakili perseroan dalam hal direksi memiliki benturan kepentingan terhadap perseroan (Pasal 99 ayat 2).
UU PT tegas membedakan tugas dan tanggung jawab antara direksi dan dewan komisaris. Oleh karena dewan komisaris memiliki tugas, tanggung jawab dan kewenangan yang spesifik, maka tidaklah mungkin kedua jabatan tersebut di-emban oleh seorang saja. Tanpa adanya ketentuan tegas mengenai larangan rangkap jabatan, dapat ditafsirkan bahwa UU PT menghendaki kedua organ perseroan tersebut dijalankan oleh orang yang berbeda berdasarkan asas itikad baik dan bertanggung jawab secara profesional.
Namun, dalam hal tertentu, dewan komisaris justeru memiliki kewenangan yang berbenturan dengan kepentingan pribadi anggota direksi. Dewan komisaris dapat memberhentikan sementara jabatan direksi karena alasan tertentu (Pasal 106 ayat 1 UU PT). Dalam hal tertentu pula, dewan komisaris menggantikan tugas direksi menjalankan perseroan (Pasal 118 UU PT), ataupun mewakili perseroan dalam hal direksi memiliki benturan kepentingan terhadap perseroan (Pasal 99 ayat 2).
UU PT tegas membedakan tugas dan tanggung jawab antara direksi dan dewan komisaris. Oleh karena dewan komisaris memiliki tugas, tanggung jawab dan kewenangan yang spesifik, maka tidaklah mungkin kedua jabatan tersebut di-emban oleh seorang saja. Tanpa adanya ketentuan tegas mengenai larangan rangkap jabatan, dapat ditafsirkan bahwa UU PT menghendaki kedua organ perseroan tersebut dijalankan oleh orang yang berbeda berdasarkan asas itikad baik dan bertanggung jawab secara profesional.
Oleh karena UU PT tegas membedakan keberadaan kedua organ tersebut, maka, apabila kedua organ tersebut dilaksanakan oleh orang yang sama, tentu tujuan dari UU PT untuk mengatur pemisahan tugas, tanggung jawab dan wewenang kedua organ perseroan tersebut adalah sia-sia. Selain itu, juga berarti bahwa perseroan tersebut tidak lagi memenuhi kriteria (syarat) sebagai sebuah perseroan terbatas. Dengan kata lain, perseroan tersebut dapat disebut tidak lagi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Situasi itulah yang dapat dijadikan alasan oleh pihak-pihak yang berwenang, seperti Notaris, misalnya, untuk menolak membuatkan akta terkait dengan rangkap jabatan tersebut, baik dalam pendirian maupun dalam perubahan.