Selama ini, proses pendirian perseroan terbatas (PT) di Indonesia berdasarkan UU Perseroan Terbatas menjadi kewenangan dari pejabat notaris dalam pembuatan akta pendirian dan (dalam praktek) berikut pendaftaran pengesahannya. Di sini, perseroan terbatas dimaknai sebagai perkumpulan modal dalam bentuk saham perseroan. Namun, dengan berlakunya UU Cipta Kerja (UU No.11 Tahun 2020), paradigma perseroan terbatas dengan sendirinya terbaharui. Definisi perseroan terbatas tidak hanya merupakan persekutuan modal dari beberapa pemodal sekaligus dengan sistem organ pengawasan internal, melainkan juga mencakup perseroan terbatas yang hanya didirikan oleh satu orang pemodal saja (disebut perseroan perorangan) dan dikelola sendiri oleh pemodal tersebut. Tidak ada sistem organ pengawasan di dalamnya. Aturan baru ini memberikan kesempatan kepada pelaku usaha untuk dapat mendirikan badan hukum PT dengan proses mudah tanpa melalui pejabat notaris, karena semuanya dilaksanakan secara online/elektronik.
Bisa dipahami bahwa pembukaan akses atas pendirian PT seluas-luasnya kepada pelaku usaha ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, terutama kepada pelaku usaha mikro/kecil dan sekaligus agar mereka dapat berkembang maupun berkompetisi secara sehat.
Perseroan terbatas sebagai badan usaha memiliki keunikan dibandingkan dengan badan usaha lainnya, seperti Firma atau CV. Bila berbentuk PT, maka batas pertanggungjawaban pemiliknya (pemegang saham) hanya sejumlah modal yang disetorkannya saja. Hal ini disebabkan adanya pemisahan antara kekayaan pribadi pemilik modal dan kekayaan (modal setor) yang disetorkan oleh pemilik modal ke dalam perusahaan.
Selain memberikan kemudahan kepada pelaku usaha untuk melegalkan usahanya, opsi pendirian perseroan terbatas secara perorangan ini ternyata menyuburkan kembali usaha biro-biro jasa yang menawarkan jasa pendirian PT perorangan dengan harga yang kompetitif. Iklan-iklan pendirian PT perorangan gencar ditayangkan melalui jaringan media sosial. Penawarannya bahkan tidak saja untuk pendirian PT perorangan, melainkan untuk pendirian PT yang melibatkan jasa atau akta notaris. Sebagaimana diketahui, notaris tidak diperkenankan bekerja sama dengan biro jasa dalam mencari klien atau mempromosikan jasa-jasa dalam membuat akta.
Namun, status perseroan perorangan ini wajib diubah (ditingkatkan) menjadi perseroan biasa kalau pemilik modalnya bertambah atau lebih dari seorang pemodal atau kriteria perusahaannya tidak lagi sesuai dengan kriteria usaha mikro/kecil, yaitu kriteria total modal usaha (diluar tanah/bangunan) hanya sampai sebatas 5 miliar rupiah. Selain itu, jumlah PT yang boleh didirikan secara perorangan tidak boleh lebih dari 1 PT dalam kurun waktu 1 tahun.
Diluar pendirian PT perorangan, maka proses pendrian PT tetap mengikuti aturan berdasarkan UU Perseroan Terbatas sebelum UU Cipta Kerja. Hanya saja, saat ini tahapan pendirian perseroan terbatas pun sedikit berbeda dari tahapan sebelumnya. Pada waktu-waktu lalu, pihak notaris terlebih dahulu harus melakukan pemesanan nama PT untuk dimohonkan persetujuan namanya. Selanjutnya, apabila nama badan hukum telah disetujui oleh Kementerian Hukum dan HAM, maka tahapan berikutnya adalah penandatanganan akta pendirian PT serta pengajuan pengesahan PT sebagai badan hukum melalui Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) sampai keluarnya Surat Keputusan (SK) Menteri mengenai persetujuan pendirian PT tersebut.
Namun, seiring dengan prosedur pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk pemesanan nama dan pengesahan perseroan terbatas dilakukan sekaligus, maka tahapan persetujuan nama PT tidak lagi dilakukan di awal proses, melainkan bersamaan dengan proses pengesahannya. Artinya, persetujuan nama tidak diperlukan lagi di awal, tetapi cukup dengan pengecekan apakah nama tersebut sudah terpakai atau tidak diblokir.
Pengecekan usulan nama PT ini bersifat informasi saja, karena pada akhirnya keputusan untuk pemakaian nama tersebut merupakan kewenangan dari Kementerian Hukum dan HAM. Oleh karenanya, notaris harus memiliki penilaian sendiri apakah nama PT yang dipilih nanti (kira-kira) dapat disetujui atau tidak, serta menyampaikan kepada klien bahwa persetujuan nama sepenuhnya menjadi kewenangan Kementerian Hukum dan HAM, bukan tanggung jawab notaris. Walaupun nama PT yang diusulkan tidak sama atau tidak mirip dengan nama PT yang sudah ada, atau walaupun nama tersebut tidak terblokir, maka usulan nama masih terbuka sifatnya (belum fixed) sampai pada waktunya nanti diverifikasi oleh pihak Kementerian. Jadi, bukan tidak mungkin, nama PT yang sudah keluar SK-nya mendadak dibatalkan sepihak oleh pihak Kementerian.
Selain teknis pendirian perseroan terbatas sebagaimana tersebut diatas, ada hal penting yang perlu diperhatikan oleh notaris untuk pendirian perseroan terbatas, yaitu penyampaian identitas pihak-pihak yang menjadi pemilik manfaat (Beneficial Owner) dari perseroan terbatas tersebut. Definisi Pemilik Manfaat antara lain adalah mereka yang memiliki kuasa untuk mengendalikan perusahaan, mengendalikan direksi/komisaris atau yang merupakan pemilik sebenarnya dari suatu perusahaan. Walaupun ketentuannya (Perpres No.18 Tahun 2018) mengatur bahwa penyampaian identitas pemilik manfaat merupakan kewajiban dari perusahaan itu sendiri, dan bagi perusahaan yang baru berdiri diberikan kelonggaran waktu 7 hari penyampaiannya setelah perizinan diterbitkan.
Saat ini, banyak perseroan terbatas dalam sistem SABH yang berstatus terblokir. Pemblokiran dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM karena pihak perseroan belum menyampaikan identitas Pemilik Manfaat dari perusahaan tersebut. Status terblokir ini menyebabkan perseroan terbatas tersebut tidak dapat melakukan perubahan perseroan, berupa perubahan anggaran dasar, misalnya perubahan modal dasar dan perubahan tempat kedudukan, ataupun perubahan data perseroan, misalnya perubahan susunan anggota direksi atau komisaris perusahaan. Untuk dapat melakukan perubahan perseroan, maka status blokir harus dibuka terlebih dahulu, yang mana prosesnya tentu jadi memakan waktu.
Di samping penerapan prinsip mengenali pemilik manfaat (Beneficial Owner), notaris saat ini juga diwajibkan untuk melakukan penerapan prinsip mengenali pengguna jasa notaris. Kedua hal ini berkaitan dengan penerapan UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No. 8 Tahun 2010) dan UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (UU No. 9 Tahun 2013). Dalam hal ini, notaris menjadi pihak yang diwajibkan untuk melaporkan setiap transaksi yang mencurigakan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Kewajiban pelaporan ini tentu harus diawali dengan penerapan langkah-langkah administratif dalam mengenali pengguna jasa notaris, termasuk ketika klien ingin mendirikan perseroan terbatas dengan transaksi keuangan (penyetoran uang) minimal Rp.100 juta (Permenkumham No. 9 Tahun 2017).
Penerapan prinsip mengenali pengguna jasa tidak saja wajib dilakukan dengan minimal transaksi tertentu, melainkan juga dalam hal data informasi yang diterima oleh notaris diragukan kebenarannya. Ketika transaksi pendirian perseroan dinilai oleh notaris tidak sesuai dengan profile pengguna jasa, maka notaris wajib melaporkan transaksi pendirian perseroan tersebut melalui sistem pelaporan yang ada (Sistem GoAML).
Memang, banyak yang menilai bahwa kewajiban penerapan prinsip mengenali pengguna jasa notaris ini menambah beban pekerjaan notaris dari sisi administrasi sistem pelaporannya. Notaris merupakan pejabat yang mandiri dalam menjalankan pekerjaannya. Artinya, notaris itu memikul tanggung jawab pelaksanaan tugasnya seorang diri. Di sisi lain, tugas-tugas yang diberikan kepada notaris, tidak hanya bersumber dari UU Jabatan Notaris saja, melainkan juga bersumber dari peraturan perundang-undangan lainnya. Notaris telah disumpah untuk taat kepada undang-undang.