Wednesday, October 25, 2017

Wilayah Jabatan (Daerah Kerja) Notaris Sebagai Pejabat Umum

Dalam menjalankan jabatannya, Notaris  terikat dengan ketentuan-ketentuan undang-undang agar akta-akta yang dibuatnya dapat memenuhi kategori akta autentik (istilah otentik tidak baku). Apabila salah satu kondisi tersebut tidak ditaati atau Notaris teledor terhadap ketentuan-ketentuan tersebut, maka akta notaris tersebut akan kehilangan sifat keautentikannya. Artinya, akta yang dibuat menjadi akta yang bersifat dibawah tangan saja. Bagi Notaris sendiri, kehilangan autentisitas akta juga dapat berujung pada gugatan perdata ataupun pelanggaran pidana, salah satunya terkait pemalsuan akta. 

Setiap Notaris mendapat kewenangan (kekuasaan jabatan) untuk menjalankan jabatannya. Unsur pemberian kewenangan ini menjadi mutlak karena disinilah letak salah satu sifat keautentikan hasil pekerjaan Notaris. Oleh karenanya, Notaris diangkat oleh penguasa (pemerintah) sebagai pejabat umum berdasarkan Surat Keputusan Menteri (dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM). Kewenangan Notaris tersebut ada batas-batasnya.

Salah satu kondisi yang membuat Notaris berwenang dalam membuat akta adalah terkait wilayah jabatannya. Wilayah jabatan yang dimaksud adalah cakupan wilayah dimana Notaris berwenang bekerja untuk membuat akta autentik. Wilayah jabatan Notaris berdasarkan UU Jabatan Notaris (Pasal 18 ayat 2 UU No. 30 Tahun 2004 yang telah diubah dengan UU No. 2 Tahun 2014) meliputi wilayah provinsi dimana tempat kedudukan (domisili kantor) Notaris berada. Selama Notaris membuat akta di dalam wilayah jabatannya, maka akta notaris tersebut memiliki sifat autentik. Walaupun demikian, menurut Pasal 19 ayat 2 UU Jabatan Notaris, Notaris tidak berwenang menjalankan jabatan diluar tempat kedudukan (di luar kabupaten/kota penunjukan) secara berturut-turut dengan tetap. Bila disebut "tidak berwenang", maka konsekuensinya sangat serius bahwa jabatan Notaris tidak lagi melekat pada pejabatnya. Akan tetapi, UU Jabatan Notaris tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan "secara berturut-turut dengan tetap".

Khusus pembuatan akta-akta yang menyangkut badan hukum koperasi, yaitu akta pendirian, perubahan anggaran dasar atau terkait kegiatan koperasi lainnya, Notaris harus memiliki semacam "lisensi" tambahan sebagai Notaris Pembuat Akta Koperasi (NPAK). Berdasarkan Kepmenag Koperasi/UKM No:98/Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang Notaris sebagai Pembuat Akta Koperasi, wilayah jabatan Notaris Pembuat Akta Koperasi diatur sebagai berikut:

Pasal 9 KepMenag Koperasi & UKM No.98/2004:
(1) Pembuatan akta pendirian dan perubahan anggaran dasar koperasi untuk koperasi primer dan sekunder di tingkat Kabupaten/Kota, Propinsi maupun Nasional, adalah kewenangan Notaris sesuai dengan kedudukan Kantor koperasi tersebut berada.
(2) Khusus untuk koperasi yang berkedudukan di Daerah khusus Ibukota Jakarta, pembuatan akta pendirian dan perubahan anggaran dasar koperasi adalah kewenangan Notaris yang berkedudukan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Secara umum dikatakan bahwa wilayah jabatan NPAK mengikuti wilayah jabatan Notarisnya. Namun, bila kita membaca ketentuan Pasal 9 tersebut diatas, ada perbedaan dalam menentukan wilayah jabatan terhadap NPAK yang berkedudukan di DKI Jakarta dan di luar DKI Jakarta. Bila koperasi berkedudukan (dimana saja) di wilayah DKI Jakarta, maka Notaris yang berwenang membuat aktanya adalah setiap NPAK yang berkedudukan di DKI Jakarta. Berbeda dengan koperasi yang berada di luar DKI Jakarta. Untuk koperasi, baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi maupun nasional (berdasarkan cakupan wilayah domisili para anggotanya), maka Notaris yang berwenang membuat aktanya adalah disesuaikan dengan kedudukan Kantor koperasi tersebut. Pertanyaannya, apakah berarti bahwa kewenangan NPAK bersifat lokal sesuai kabupaten/kota dari domisili kantor koperasi atau boleh dibuat oleh Notaris (NPAK) yang berkedudukan di kabupaten/kota di luar domisili koperasi tersebut.

Terkait persyaratan untuk menjadi NPAK ini menjadi perdebatan tersendiri mengingat ketentuan tersebut menyimpangi UU Jabatan Notaris. Demikian juga dengan penunjukan Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pejabat Lelang, ataupun Notaris Pasar Modal. Peraturan terkait mensyaratkan Notaris harus mengikuti semacam pelatihan khusus dan kemudian diberikan Surat Keputusan tersendiri agar Notaris berwenang dalam membuat aktanya. Padahal, UU Jabatan Notaris (Pasal 16) telah memberikan kewenangan kepada Notaris untuk membuat akta autentik (apa saja), baik yang diminta para pihak maupun yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, termasuk untuk akta pertanahan dan akta risalah lelang.

Lain lagi halnya dengan wilayah jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Wilayah yang dimaksud adalah daerah kerja PPAT. Menurut PP 37 Tahun 1998 (Pasal 12 ayat 1), daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan kabupaten/kota. Artinya, PPAT hanya berwenang untuk membuat akta-akta pertanahan yang bidang-bidang tanahnya berada dalam daerah kerja kabupaten/kota. Namun, berdasarkan PP Perubahannya, yaitu PP No.24 Tahun 2016,  daerah kerja PPAT diperluas menjadi satu wilayah provinsi (artinya mengikuti wilayah jabatan Notaris). Akan tetapi, daerah kerja satu provinsi ini masih belum terealisasi sampai sekarang. 



Friday, October 20, 2017

Perjanjian Pisah-Harta yang Dibuat Selama Berlangsung Perkawinan (Paska Putusan MK)

Sebagai salah satu lembaga kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi (MK) menjalankan tugasnya sebagai lembaga penguji keberlakukan Undang-Undang terhadap UUD 1945. MK dipandang sebagai lembaga pengawal hak-hak konstitusional warga negara. Dalam hal ini, MK menjadi lembaga yang melakukan koreksi penafsiran (tafsiran resmi) atas keberlakukan norma-norma hukum yang merujuk pada UUD 1945. Putusan MK bersifat final. Namun, lantaran bersifat normatif, teknis pelaksanaan putusan tersebut tetap saja berada ditangan eksekutif (pemerintah) sebagai lembaga yang melaksanakan UU.

Dalam lapangan hukum keluarga (terkait status anak luar kawin/waris), peran MK menjadi cukup penting dalam melakukan pembaharuan hukum. Kita masih ingat bagaimana MK memutus bahwa (Putusan MK No.46/PUU-VIII/2010) status anak luar kawin diakui sebagai anak sah (dari ayah biologisnya) apabila dapat dibuktikan secara ilmiah maupun dengan bantuan teknologi atau bukti lainnya. Akibat hukumnya, anak luar kawin berpeluang untuk mendapat hak waris dari ayah biologisnya. 

Terkait dengan perkawinan, MK, melalui putusannya No.69/PUU-XIII/2015, telah memutus bahwa perjanjian perkawinan (perjanjian kawin) boleh dibuat oleh pasangan suami-istri selama perkawinan berlangsung. Sebelumnya, UU Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) telah menetapkan bahwa perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat oleh para pihak sebelum atau pada saat akad perkawinan dilangsungkan.    
  • Ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan harus dimaknai: 
  • Ayat 1:
  • "Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya juga berlaku terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut"
  • Ayat 3:
  • "Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan".

Perjanjian perkawinan atau perjanjian kawin yang dimaksud dalam Putusan MK sebenarnya lebih tepat disebut perjanjian pisah harta karena substansi dari permohonan gugatan tersebut adalah terkait persatuan harta sebagai akibat dari terjadinya perkawinan. Namun, perjanjian pisah harta hanya merupakan salah satu hal yang dapat diperjanjikan dalam suatu perkawinan.

UU Perkawinan mengenal prinsip persatuan harta atas harta yang diperoleh selama perkawinan dan prinsip pisah harta terkait harta bawaan, warisan dan hadiah kecuali ditentukan sebaliknya. Terkait persatuan harta (harta bersama) memang ada plus-minusnya. Di satu sisi, ketentuan ini merupakan bentuk pengakuan atas kedudukan yang setara antara suami-istri dalam perkawinan untuk mencapai kesejahteraan bersama. Namun di sisi lain, diluar pertimbangan sebagai bentuk perlindungan hukum atas harta bersama, sebagai konsekuensinya, timbul masalah dari sisi praktis, ketika salah satu pihak melakukan perbuatan hukum terkait harta perkawinan tersebut. Disyaratkan bahwa untuk melakukan perbuatan hukum, seperti pengalihan hak atas harta bersama, diperlukan persetujuan dari pasangan kawin untuk dapat mengesahkan perbuatan hukum tersebut. Menjadi tidak terlalu sulit apabila perkawinan masih berlangsung. Namun, ketika status perkawinan telah berakhir (bercerai), dalam praktek, masalah kerap terjadi ketika salah satu pihak hendak melakukan suatu perbuatan hukum atas harta yang ditinggalkan. Pihak notaris/PPAT sebagai pihak mengesahkan perbuatan hukum tersebut tetap saja meminta persetujuan bekas pasangan, padahal perkawinan telah bercerai dan kemungkinan sudah tidak akur lagi. Memang prosedur tersebut dapat dipahami tujuannya demi keabsahan dari perbuatan hukum itu sendiri, demi kebaikan para pihak maupun pihak Notaris/PPAT agar terhindar dari gugatan pihak lainnya.  

Masalah lainnya bahkan menjadi serius apabila perkawinan tersebut merupakan perkawinan campuran, berbeda kewarganegaraan. Terkait tanah, UU Pokok-Pokok Agraria melarang kepemilikan hak milik/HGB atas tanah oleh pihak asing (WNA). Berdasarkan KUHPerdata (bagi yang melangsungkan perkawinan sebelum UU Perkawinan Tahun 1974), ketika perkawinan berlangsung otomatis secara demi hukum berlangsung percampuran harta, sedangkan berdasarkan UU Perkawinan, percampuran harta otomatis terjadi atas harta diperoleh selama perkawinan. Bila demikian, maka harta perkawinan yang dimiliki (atas nama) WNI, berupa tanah, terancam hapus (menjadi tanah negara) apabila tidak dialihkan selama jangka waktu 1 tahun. Namun, biasanya pada saat memperoleh hak atas tanah tersebut (misalnya pada saat pembelian tanah), pihak Notaris akan menolak mengesahkan jual beli apabila pembeli tidak memiliki perjanjian pisah harta dengan pasangan WNA-nya. 

Keberadaan perjanjian pisah-harta di sini sangat diperlukan. Secara umum, perjanjian pisah-harta berfungsi meneguhkan status kepemilikan harta pribadi walaupun terikat dalam suatu perkawinan. Secara khusus, terkait percampuran harta karena perkawinan campuran, perjanjian pisah-harta berfungsi melindungi/menjaga hak atas kepemilikan harta pribadi (tanah) setelah perkawinan berlangsung. 

Dengan adanya Putusan MK tersebut, negara tetap memberikan perlindungan hukum kepada warga negara yang terkena dampak aturan UU Perkawinan dan UU Pokok-Pokok Agraria. jadi, warga negara tidak hanya bisa pasrah menerima konsekuensi hukumnya, melainkan dapat menempuh upaya hukum lain, dalam hal ini, dapat segera membuat perjanjian pisah-harta guna melindungi hak-haknya. 

Selain itu, Putusan MK tersebut juga menegaskan 2 bentuk dari perjanjian kawin itu sendiri. Pertama, perjanjian kawin dapat dibuat secara dibawah tangan oleh para pihak yang kemudian disahkan dan sekaligus dicatatkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Kedua, perjanjian kawin dapat dibuat dalam bentuk akta notariil, dimana perjanjian tertulisnya disahkan oleh Notaris dan kemudian dicatatkan pada pegawai pencatat perkawinan. Putusan MK terkait ketentuan Pasal 29 ayat 1 tersebut memang dapat memberikan penafsiran yang berbeda, seolah-olah Notaris juga mengesahkan perjanjian kawin, padahal yang dimaksud* adalah bukan "perjanjian kawin"-nya, melainkan "perjanjian tertulis"-nya. Notaris mengesahkan perjanjian tertulis tersebut dan kemudian atas perjanjian tertulis tersebut dicatatkan oleh pegawai pencatat perkawinan untuk disahkan sebagai perjanjian kawin.

Terkait keberlakukan perjanjian kawin, semuanya dikembalikan kepada para pihak. Para pihak diberi kebebasan untuk menentukan kapan perjanjian tersebut mulai berlaku. Apabila tidak ditentukan khusus, maka berlaku sejak perkawinan berlangsung. Hanya saja, terkait percampuran harta dalam perkawinan campuran, persoalan muncul ketika perjanjian kawin dibuat bertahun-tahun setelah hak atas tanah diperoleh. Tentu saja, hak atas tanah yang dimaksud sudah hapus menjadi statusnya menjadi tanah negara. Apakah perjanjian kawin seperti ini dapat mengembalikan status hak tanahnya kembali menjadi hak milik atas nama bekas pemiliknya?

Walaupun telah diputuskan oleh MK sejak Oktober 2016, pelaksanaan putusan MK tersebut masih terkendala teknis di lapangan, baik belum adanya aturan pelaksanaan (juklak) maupun belum adanya kesamaan persepsi di kalangan instansi pemerintah sebagai pihak yang menjalankan kewajiban tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 2017, Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil mengeluarkan juklak pencatatan perjanjian kawin dengan Surat Dirjen Dukcapil No.472.2/5876/Dukcapil terkait perkawinan yang dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil, sedangkan atas perkawinan-perkawinan yang dicatatkan pada Kantor Urusan Agama (KUA), teknis pelaksanaan pencatatan perjanjian kawin baru dikeluarkan dalam Surat Edaran Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag No.B.2674/DJ.III/KW.00/9/2017 tertanggal 28 September 2017. Dalam surat edaran tersebut disebutkan bahwa perjanjian kawin dapat dicatatkan pada KCS/KUA oleh Pejabat Pencatatan Sipil/Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dengan memberikan catatan status perkawinan pada Register Akta Perkawinan/Akta Nikah dan Kutipan Akta Nikah. Disebutkan pula bahwa apabila perkawinan dilakukan dan dicatatkan di negara lain, namun perjanjian kawin dibuat atau diubah/dicabut di Indonesia, maka para pihak dapat melaporkan perjanjian kawin tersebut kepada KCS/KUA dan akan menerbitkan surat keterangan pelaporan.

Atas pencatatan perjanjian kawin yang dibuat sebelum perkawinan, syaratnya cukup melampirkan identitas dan salinan perjanjian kawin yang telah dilegalisir. Bila perjanjian kawin dibuat selama perkawinan, maka syaratnya ditambah dengan melampirkan asli dari Buku Nikah suami-istri atau Akta Perkawinannya, baik yang dilakukan di indonesia maupun di luar negeri. Demikian juga dengan syarat untuk perubahan atau pencabutan perjanjian kawin. Nantinya, pada Buku Nikah atau kutipan akta perkawinan akan ditambahkan keterangan atau catatan status perkawinan bahwa atas perkawinan tersebut telah dicatatkan perjanjian kawin berdasarkan akta notaris yang dibuat para pihak.

Hal lain yang menjadi masalah dan sering ditemui di lapangan adalah adanya perjanjian kawin yang tidak dicatatkan, baik pada KUA maupun KCS. Hal ini tentu membawa konsekuensi bahwa atas perjanjian kawin yang dibuat tersebut tidak berlaku terhadap pihak ketiga, kecuali dapat ditempuh upaya hukum berupa permohonan kepada hakim untuk mengesahkan perjanjian kawin tersebut dan memerintahkan kantor pencatat perkawinan untuk mencatatkannya sebagai bentuk pemenuhan asas publisitas.