Sunday, December 15, 2019

Rangkap Jabatan Anggota Direksi dan Dewan Komisaris

Mengenai perseroan terbatas, ketentuannya secara umum diatur dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas (UU No. 40 Tahun 2007). Perseroan terbatas merupakan persekutuan modal yang umumnya didirikan berdasarkan perjanjian minimal antara dua pendiri (orang/badan hukum) yang sekaligus menjadi pemegang saham. Pendiri menyetorkan sejumlah modal yang kemudian dihitung sebagai saham dalam perseroan tersebut, sehingga mereka disebut pemilik/pemegang saham. Pemilik sahamlah yang menentukan anggaran dasar dan keputusan-keputusan penting dalam perseroan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Operasional perseroan terbatas diurus/dijalankan oleh direksi sebagai pengurus, dan pengawasan terhadap kepengurusan direksi tersebut dilakukan oleh dewan komisaris. 

Baik anggota direksi maupun anggota dewan komisaris masing-masing dapat terdiri atas satu orang anggota maupun lebih. 

Lalu, apakah boleh seorang direktur sekaligus merangkap sebagai komisaris dalam suatu perseroan terbatas yang sama? Pertanyaan ini sederhana, namun tak mudah juga untuk menjawabnya, karena tidak terdapat larangan tegas mengenai rangkap jabatan direksi dan dewan komisaris dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas (UU PT). 

Mengenai kriteria siapa yang dapat menjadi anggota direksi dan dewan komisaris, ketentuan Pasal 93 dan Pasal 110 UU PT hanya mensyaratkan bahwa yang bersangkutan adalah orang-perseorangan (bukan badan hukum) yang cakap-hukum, dan dalam waktu 5 tahun sebelum pengangkatan, yang bersangkutan tidak dinyatakan pailit, atau bersalah yang menyebabkan suatu perseroan pailit, atau dihukum karena tindak pidana yang merugikan keuangan negara atau tindak pidana yang berkaitan dengan sektor keuangan. Walaupun demikian, persyaratan lain juga dapat ditetapkan terpisah oleh instansi teknis melalui peraturan perundang-undangan.  

Syarat pengangkatan anggota direksi dan dewan komisaris yang diatur Pasal 93/110 UU PT tidaklah mengatur soal larangan rangkap jabatan. Oleh karenanya, ketentuan tersebut oleh sebagian orang ditafsirkan bahwa rangkap jabatan diperbolehkan. Situasinya berbeda dengan badan hukum Yayasan. Undang-Undang Yayasan (UU No. 16 Tahun 2001 diubah dgn UU No. 28 Tahun 2004) secara tegas mengatur bahwa antara organ Pembina, Pengurus dan Pengawas tidak boleh ada rangkap jabatan. Penjelasan Pasal 31 UU Yayasan menyebutkan bahwa larangan perangkapan jabatan dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan tumpang tindih kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang dapat merugikan kepentingan Yayasan atau pihak lain.

Bila dikaitkan dengan adanya ketentuan mengenai larangan direksi mewakili perseroan terbatas karena adanya benturan kepentingan (Pasal 99 UU PT), pembatasan tersebut hanya mengenai adanya benturan kepentingan antara anggota direksi dan perseroan itu sendiri. Namun, tidak ada penjelasan mengenai definisi benturan kepentingan tersebut. Walaupun demikian, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan benturan kepentingan tersebut adalah hal-hal yang dapat merugikan perseroan atau tidak sejalan dengan maksud dan tujuan perseroan. Jadi, apabila anggota direksi tersebut memiliki benturan kepentingan terhadap perseroan, hal tersebut hanya akan menghapus kewenangannya untuk mewakili perseroan, tidak membatalkan jabatannya sebagai direktur. Jadi, kalau alasan rangkap jabatan karena adanya benturan kepentingan dengan perseroan, maka alasan tersebut masih dapat diperdebatkan. Bila tidak merugikan kepentingan perseroan, maka tidak ada benturan kepentingan. Selain itu, apabila terdapat lebih dari satu anggota direksi, maka alasan benturan kepentingan hanya akan mengalihkan kewenangan direksi kepada anggota direksi (direktur) lain, yang tidak memiliki benturan kepentingan.

Baik direksi maupun dewan komisaris memiliki kewenangan yang satu-sama lain berbeda kepentingannya dalam konteks tugas dan tanggung jawabnya. Perbedaan kepentingan ini bukan merupakan suatu benturan kepentingan, karena tujuannya adalah sama, yaitu untuk mencapai maksud dan tujuan perseroan. Direksi menjalankan usaha perseroan, sedangkan dewan komisaris mengawasi dan memberi nasihat mengenai jalannya perseroan, dengan tidak menutup kewenangan dewan komsaris untuk dapat membatasi tindakan-tindakan direksi dalam bentuk pemberian persetujuan.

Namun, dalam hal tertentu, dewan komisaris justeru memiliki kewenangan yang berbenturan dengan kepentingan pribadi anggota direksi. Dewan komisaris dapat memberhentikan sementara jabatan direksi karena alasan tertentu (Pasal 106 ayat 1 UU PT). Dalam hal tertentu pula, dewan komisaris menggantikan tugas direksi menjalankan perseroan (Pasal 118 UU PT), ataupun mewakili perseroan dalam hal direksi memiliki benturan kepentingan terhadap perseroan (Pasal 99 ayat 2).

UU PT tegas membedakan tugas dan tanggung jawab antara direksi dan dewan komisaris. Oleh karena dewan komisaris memiliki tugas, tanggung jawab dan kewenangan yang spesifik, maka tidaklah mungkin kedua jabatan tersebut di-emban oleh seorang saja. Tanpa adanya ketentuan tegas mengenai larangan rangkap jabatan, dapat ditafsirkan bahwa UU PT menghendaki kedua organ perseroan tersebut dijalankan oleh orang yang berbeda berdasarkan asas itikad baik dan bertanggung jawab secara profesional.

Oleh karena UU PT tegas membedakan keberadaan kedua organ tersebut, maka, apabila kedua organ tersebut dilaksanakan oleh orang yang sama, tentu tujuan dari UU PT untuk mengatur pemisahan tugas, tanggung jawab dan wewenang kedua organ perseroan tersebut adalah sia-sia. Selain itu, juga berarti bahwa perseroan tersebut tidak lagi memenuhi kriteria (syarat) sebagai sebuah perseroan terbatas. Dengan kata lain, perseroan tersebut dapat disebut tidak lagi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Situasi itulah yang dapat dijadikan alasan oleh pihak-pihak yang berwenang, seperti Notaris, misalnya, untuk menolak membuatkan akta terkait dengan rangkap jabatan tersebut, baik dalam pendirian maupun dalam perubahan.


Thursday, August 1, 2019

Kewajiban Penyesuaian Maksud dan Tujuan Perseroan sesuai KBLI 2017

Setiap perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (perseroan) memiliki maksud dan tujuan yang tercantum dalam anggaran dasarnya (AD). Anggaran dasar tersebut dapat ditemukan dalam akta pendirian perseroan maupun dalam akta-akta perubahannya. Maksud dan tujuan perusahaan inilah yang mencerminkan adanya suatu kepentingan perusahaan yang harus dijaga oleh organ perseroan sesuai dengan fungsinya. Dalam hal ini, direksi selaku pihak yang menjalankan roda operasional perusahaan dan komisaris selaku pihak yang mengawasi jalannya operasional perusahaan.

Setiap perusahaan dibentuk untuk menjalankan suatu usaha guna mencapai laba. Umumnya, maksud dan tujuan perseroan yang disebutkan dalam anggaran dasar merujuk pada bidang usaha yang dijalankan. Sebagai contoh, apabila usahanya jual-beli barang, maka maksud dan tujuan perseroan adalah berusaha dalam bidang perdagangan. Demikian juga apabila usahanya transportasi penumpang, maka maksud dan tujuan perseroan adalah berusaha dalam bidang pengangkutan. 

Dalam praktek, ketika perseroan didirikan, umumnya maksud dan tujuan perseroan yang dicantumkan dalam bersifat umum. Segala macam bidang usaha yang dapat dilakukan perseroan dicantumkan dalam akta pendiriannya (istilahnya PT Palugada). Tujuannya, agar suatu saat perusahaan tak perlu lagi melakukan perubahan anggaran dasar bila ingin bergerak dalam bidang usaha yang diinginkan. Padahal, menurut penjelasan Pasal 18 UU Perseroan Terbatas, maksud dan tujuan haruslah merupakan usaha pokok perseroan dan dirinci. Artinya, usaha-usaha yang tidak pokok ataupun usaha yang sama sekali tak dijalankan perusahaan tak boleh dicantumkan dalam anggaran dasar.



Setelah perseroan didirikan, biasanya perusahaan harus mengurus legalitas atau perizinan yang diperlukan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. Saat ini, pengurusan perizinan dilangsungkan melalui Online Single Submission (OSS). Sistem ini merupakan perpaduan dari sistem online dan sistem terpadu satu pintu antarlembaga/kementerian yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan pengurusan izin sehingga lebih cepat dan sederhana. Lembaga yang mengelolanya sekarang adalah BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal).

Terobosan pengurusan perizinan ini juga didukung dengan sistem pembuatan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) secara otomatis oleh sistem bagi perseroan terbatas. Bila tidak ada kendala, maka bersamaan dengan keluarnya SK Menteri atas pengesahan pendirian PT, akan diterbitkan pula NPWP untuk perseroan tersebut. Selain itu, diterapkan pula sistem NIB (Nomor Induk Berusaha), semacam identitas perusahaan, yang sekaligus berguna sebagai Tanda Daftar Perusahaan (TDP) dan juga dapat digunakan sebagai Angka Pengenal Impor (API) serta akses kepabeanan.

Namun, untuk dapat melakukan pengurusan perizinan melalui OSS, perseroan diwajibkan untuk menggunakan klasifikasi bidang usaha yang telah ditentukan, dengan berpedoman pada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) berdasarkan Perka BPS No.19 Tahun 2017 tentang Perubahan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia. Di sini, bidang usaha yang dimohonkan perizinannya harus tercantum dalam maksud dan tujuan yang terdapat dalam anggaran dasar (biasanya ketentuan Pasal 3 dalam akta pendirian). Demikian juga dengan bidang usaha yang dipilih dalam sistem SABH (Sistem Administrasi Badan Hukum) yang dikelola Kementerian Hukum dan HAM, mengingat sistem OSS akan mengambil datanya dari sistem SABH.

Kewajiban menggunakan KBLI 2017 sebenarnya disosialisasikan sejak setahun lalu dengan adanya pengumuman bersama antara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Hukum dan HAM tertanggal 11 Oktober 2018. Perusahaan kemudian diberi waktu satu tahun untuk melakukan penyesuaian maksud dan tujuan sesuai KBLI 2017. Di sini, perusahaan harus mengubah anggaran dasarnya dengan membuat akta perubahan melalui Notaris. Nantinya, Notaris akan melakukan perubahan tersebut pada sistem SABH.

Sebagai contoh, apabila perusahaan melakukan kegiatan usaha jual beli eceran tananam hias melalui Internet, maka dalam anggaran dasarnya dicantumkan kegiatan usahanya adalah Perdagangan Eceran Melalui Media Untuk Berbagai Macam Barang Lainnya (kode KBLI 2017 = 47919). Apabila usaha perusahaan adalah rental mobil, maka kegiatan usahanya disebutkan sebagai Aktivitas Penyewaan dan Sewa Guna Usaha Tanpa Hak Opsi Mobil, Bus, Truk Dan Sejenisnya (kode KBLI 2017 = 77100).

Kewajiban ini menimbulkan masalah serius bagi perseroan terbatas yang telah didirikan sebelum KBLI 2017. Apabila tidak dilakukan penyesuaian dalam jangka waktu tersebut, maka NIB (Nomor Induk Berusaha) akan dibekukan. Artinya, usaha perseroan terancam menjadi ilegal.

Bagi perusahaan, sepertinya kewajiban tersebut cuma sepele, karena hanya soal penamaan kegiatan usaha saja. Akan tetapi, apabila tidak dilaksanakan, dampak hukumnya sangat fatal. Bila identitas perusahaan dibekukan, maka proses-proses kegiatan usaha perseroan yang sedang berlangsung  dianggap cacat hukum. Memang, terhadap soal ini, pemerintah harus bijaksana mengingat dampaknya sangat luas. Harus ada jalan keluar yang elegan mengingat perseroan-perseroan yang telah didirikan sebelum KBLI 2017 adalah entitas hukum yang sah berdasarkan undang-undang.







Monday, February 25, 2019

Penyampaian Bukti Setor Modal untuk Pendirian Perseroan Terbatas

Perseroan terbatas merupakan pribadi hukum yang terpisah dari para pendirinya. Setelah resmi berdiri, badan hukum Perseroan memiliki hak dan kewajiban sendiri. Karena merupakan pribadi yang berbeda, maka Perseroan sebagai persekutuan modal juga memiliki harta kekayaan yang terpisah dari para pendirinya (pemegang saham). Setelah para pendiri menyetorkan modal yang ditempatkannya, maka modal tersebut menjadi harta kekayaan Perseroan.

Dalam praktek kewajiban setoran modal ini seringkali tidak diindahkan. Bahkan, ada yang beranggapan bahwa uang yang telah disetorkan ke dalam rekening perusahaan boleh diambil kembali, sekedar untuk mendapatkan bukti setor sebagai syarat pendirian Perseroan. Modal yang telah disetorkan ke dalam perusahaan tentu saja dapat diambil kembali. Namun, mengingat setoran uang tersebut sudah menjadi harta kekayaan Perseroan, maka kalau diambil kembali tentu saja namanya pinjam dari perusahaan.

Pasal 33 UU Perseroan Terbatas (No.40/2007) mewajibkan para pendiri untuk menyetorkan minimal 25% dari besaran modal dasar ke dalam Perseroan, baik berbentuk uang maupun bentuk lainnya. Penyetoran tersebut harus dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah.

Dalam Penjelasan Pasal 33 tersebut, bentuk “bukti penyetoran yang sah”, antara lain berupa (1) bukti setoran (slip setor bank) ke dalam rekening bank atas nama Perseroan, (2) data dari laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan, atau (3) neraca Perseroan yang ditandatangani oleh Direksi dan Dewan Komisaris.

Pada saat pendirian, bukti setor modal berupa slip setoran dari Bank kemungkinan besar tak dapat diperoleh mengingat Perseroan belum memiliki rekening sendiri. Untuk membuatnya pun, umumnya pihak Bank mensyaratkan legalitas lainnya (yang tentu saja memerlukan waktu untuk mengurusnya). Untuk mengatasi kendala tersebut, Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) memberikan waktu selama 60 hari kepada para pendiri untuk menyampaikan bukti setoran modal (melalui Notaris). 


Menu untuk men-upload bukti setor modal

Bentuk-bentuk bukti penyetoran modal ini kembali dijabarkan dalam Permenkumham No.1 Tahun 2016 bahwa apabila penyetoran modal berupa uang, maka bukti setornya dapat berupa (1) fotokopi slip setoran, (2) fotokopi surat keterangan bank atas nama Perseroan, (3) rekening bersama atas nama para pendiri dan (4) asli surat pernyataan telah menyetor modal Perseroan yang ditandatangani oleh semua anggota Direksi, pendiri serta Dewan Komisaris Perseroan. Namun, apabila setoran selain uang, bentuknya dapat berupa (1) fotokopi neraca dari Perseroan, (2) asli surat keterangan appraisal atau (3) bukti pembelian barang. Umumnya, bukti setor yang disampaikan pada saat pendirian berupa softcopy Surat Pernyataan Setor Modal yang ditandatangani oleh seluruh anggota direksi, komisaris dan pendiri.




Menurut Pasal 2 PP Tentang Perubahan Modal Dasar Perseroan Terbatasm, jangka waktu penyampaian bukti setor selama 60 hari ini terhitung sejak tanggal akta pendirian. Namun, kalau dalam praktek SABH, jangka waktu tersebut ternyata dihitung sejak tanggal proses pendirian selesai. Tidak diketahui apakah ini merupakan kesalahan sistem atau memang ada kebijakan tersendiri mengenai hal tersebut.  

Dalam hal bukti penyetoran modal tersebut tidak/belum disampaikan melalui SABH, maka Perseroan akan menghadapi kendala berupa terblokirnya akses terhadap perubahan Perseroan, baik berupa perubahan anggaran dasar ataupun perubahan data-data Perseroan. Namun, walau jangka waktu penyampaian bukti setor selama 60 hari tersebut sudah terlewati, Perseroan (melalui Notaris) masih diberi kesempatan untuk menyampaikan bukti setor dimaksud apabila ingin melakukan perubahan Perseroan. 



Notaris yang melakukan perubahan dapat meng-upload bukti setor dimaksud untuk membuka kembali akses perubahan terhadap Perseroan. Ketika mengakses SABH, gunakan menu Upload Bukti Setor, lalu isi data-data pada kolom TahunNo. SK dan Nama Perseroan dan klik tombol Cari. Bila data benar, maka akan muncul halaman untuk men-upload bukti setor. Hal yang perlu diperhatikan, Notaris dalam melakukan tindakan tersebut, perlu mendapatkan kuasa terlebih dahulu dari direksi Perseroan untuk menyampaikan kewajiban tersebut.