Sunday, May 24, 2020

Harta (Aset) Yayasan Sebagai Jaminan Utang

Yayasan merupakan badan hukum yang dapat dikatakan unik. Unik karena kepemilikan yayasan bersifat sosial, bukan milik pribadi pendiri atau pengurusnya. Pengurus, dalam menjalankan misi-visi yayasan, harus berdasarkan maksud dan tujuan yang telah ditetapkan dalam anggaran dasar. Selain itu, undang-undang juga memberikan batasan-batasan yang wajib diperhatikan oleh pengurus selaku organ yang menjalankan yayasan.

Sebagai badan hukum yang bersifat sosial, maka yayasan juga dapat menerima sumbangan atau bantuan dari masyarakat. Oleh karenanya, mengingat aspeknya yang bersifat sosial, yayasan tidak boleh dikelola semaunya. Ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Yayasan (No. 16 Tahun 2001, telah diubah Undang-Undang No.28 Tahun 2004) melarang yayasan membagikan hasil kegiatan usaha kepada pembina, pengurus, dan pengawas. Demikian juga ketentuan Pasal 5 UU Yayasan (UUY) melarang kekayaan yayasan (uang, barang, maupun kekayaan lain) untuk dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung kepada pembina, pengurus, pengawas dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang. Walaupun demikian, pengurus dapat dikecualikan dalam anggaran dasar dan berhak menerima gaji atau upah apabila pengurus bukan termasuk pendiri dan tidak terafiliasi dengan pendiri, pembina maupun pengawas serta melaksanakan kepengurusan secara langsung dan penuh.  

Dalam menunjang maksud dan tujuan berdirinya yayasan, yayasan dapat melakukan kegiatan usaha dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha (ketentuan Pasal 3 UUY). Kegiatan usaha dimaksud dapat berbentuk badan usaha (Pasal 7 ayat 1 UUY) yang sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kegiatan usaha yang dimaksud mempunyai cakupan yang luas, termasuk hak asasi manusia, kesenian, olahraga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan, dan ilmu pengetahuan (Penjelasan Pasal 8 UUY). Oleh karenanya, bisa diartikan meskipun berbentuk badan usaha (komersil), namun kegiatannya tidak atas dasar mencari keuntungan semata-mata. Selain itu, kegiatan usaha dimaksud juga dapat berbentuk penyertaan dalam berbagai bentuk usaha yang prospektif (Pasal 7 ayat 2 UUY). Dari sini, dapat ditafsirkan bahwa yayasan dapat bertindak sebagai pemegang saham suatu perseroan terbatas. 

Harta kekayaan yang dimiliki oleh yayasan harus dipergunakan untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan (Pasal 26 UUY). Terkait pengelolaan harta kekayaan yayasan tersebut, ketentuan Pasal 37 UUY tegas menyebutkan bahwa pengurus tidak berwenang untuk membebani kekayaan yayasan maupun mengikat yayasan sebagai penjamin utang untuk kepentingan pihak lain. Dengan kata lain, aset yayasan tidak boleh diagunkan sebagai jaminan pelunasan utang pihak lain dan yayasan pun dilarang bertindak sebagai penjamin utang (yang pada akhirnya akan melibatkan aset-aset yayasan). Larangan ini merupakan ketentuan undang-undang dan tentu saja tidak bisa dikecualikan dalam anggaran dasar. 

Lantas, apakah aset yayasan tetap boleh diagunkan? Undang-undang hanya melarang pembebanan aset yayasan untuk menjamin kepentingan (utang) pihak lain. Jadi, sepanjang penjaminan aset yayasan dilakukan untuk kepentingan yayasan itu sendiri, maka pengurus berwenang untuk bertindak mewakili yayasan. Ketika yayasan mendirikan suatu badan usaha yang memerlukan pembiayaan dari bank, misalnya rumah sakit atau sekolah, pembebanan aset yayasan sebagai syarat pembiayaan diperbolehkan karena yang dijamin adalah pelunasan pembiayaan usaha yayasan itu sendiri. 

Harta kekayasan yayasan dapat dijadikan sebagai jaminan suatu utang dengan syarat bahwa utang tersebut merupakan utang yayasan itu sendiri. Larangan menjaminkan aset yayasan untuk kepentingan pihak lain dapat dipahami agar mencegah penyalahgunaan harta yayasan untuk kepentingan pihak tertentu. Selain itu, dalam anggaran dasar, kewenangan pengurus untuk dapat menjaminkan aset yayasan juga dapat dibatasi dengan adanya syarat persetujuan dari organ pembina ataupun pengawas.


Friday, May 8, 2020

Akta Perubahan Susunan Anggota Direksi dan Dewan Komisaris PT

Umumnya, masa jabatan kepengurusan (*kepengurusan dalam arti umum) anggota direksi dan dewan komisaris Perseroan Terbatas (PT) ditetapkan selama 5 (lima) tahun dalam akta anggaran dasarnya. Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan untuk menetapkan jangka waktu tertentu lainnya. Prinsipnya, jabatan anggota direksi dan dewan komisaris dirancang agar tidak berlangsung secara terus-menerus, walaupun kemudian dapat diangkat kembali setelah masa jabatan tersebut berakhir.

Pengangkatan anggota direksi dan dewan komisaris diputuskan oleh para pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Demikian juga dengan penggantian atau pemberhentiannya (termasuk pengangkatan kembali setelah masa jabatan berakhir). Kewenangan tersebut merupakan hak sepenuhnya dari RUPS (diluar kewenangan dari dewan komisaris untuk memberhentikan sementara). Keputusan RUPS tersebut kemudian harus diberitahukan kepada Menteri terkait agar perubahannya dicatatkan ke dalam Daftar Perseroan.

Sama halnya dengan perubahan anggaran dasar, perubahan susunan anggota direksi dan dewan komisaris PT dalam prakteknya harus dituangkan dalam bentuk akta notaris. Walau demikian, Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT) sama sekali tidak menyebutkan mengenai keharusan tersebut. Begitu juga dengan peraturan pelaksanaannya (Permenkumham No.4/2014 dan Permenkumham No.1/2016). Permenkumham tersebut hanya mensyaratkan adanya akta, yang dalam hal ini, bisa saja dalam bentuk akta notaris atau akta dibawah tangan.

Selain harus dinyatakan dalam akta notaris, pemberitahuan atau pelaporannya kepada Menteri terkait harus dilakukan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Ketentuan Pasal 94 UU PT menyatakan bahwa dalam hal terjadi pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota direksi, maka direksi wajib memberitahukan perubahan tersebut kepada Menteri terkait untuk dicatat dalam Daftar Perseroan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal keputusan RUPS, dan bukan sejak tanggal akta notarisnya.Jadi, begitu diputuskan dalam RUPS, maka Perseroan harus melaporkan perubahan tersebut kepada Menteri dalam waktu 30 hari. Berbeda halnya dengan perubahan AD, dimana jangka waktunya terhitung sejak tanggal akta notarisnya. 

Jangka waktu 30 hari sejak tanggal keputusan RUPS ini bisa menimbulkan persoalan hukum. Dalam hal keputusan RUPS menetapkan bahwa perubahan susunan direksi dan dewan komisaris akan efektif dalam waktu 30 hari setelah RUPS, maka pelaporannya kepada Menteri bisa terbentur (kedaluwarsa) dengan ketentuan 30 hari tersebut. Persoalannya, sebelum perubahan tersebut efektif, pelaporan sebenarnya tidak mungkin dapat dilakukan. Kalau pelaporannya tetap dilakukan sebelum kepengurusan efektif, maka sejak tanggal surat penerimaan dari Menteri, susunan kepengurusan dapat dianggap telah berubah. Padahal, keputusan RUPS-nya tidak demikian.

Apabila jangka waktu 30 hari tersebut terlewati, apakah boleh diajukan pemberitahuan kembali? Berdasarkan ketentuan Pasal 94 UU PT, hal tersebut tegas hanya dimungkinkan bila dilakukan RUPS penegasan (akta keputusan RUPS baru), karena tidak mungkin keputusan RUPS yang sudah kedaluwarsa dapat dipakai kembali. Jadi, akta pernyataan keputusan RUPS yang sudah kedaluwarsa mengenai perubahan kepengurusan tak dapat ditegaskan kembali, kecuali oleh RUPS selaku organ Perseroan yang berwenang melakukannya.