Saturday, December 30, 2023

Surat Covernote Notaris Sebagai Syarat Pencairan Kredit Perbankan

Dalam dunia pemberian kredit perbankan, seringkali diperlukan adanya surat covernote yang dikeluarkan oleh notaris yang menerangkan bahwa akta perjanjian kredit maupun akta-akta pemberian jaminannya telah ditandatangani oleh para pihak, yang dalam hal ini adalah pihak bank selaku kreditur dan debitur serta pemilik atau pemberi obyek jaminan. Selain itu, surat covernote juga menerangkan bahwa atas salinan akta dan pemasangan jaminan akan diselesaikan dalam jangka waktu tertentu, biasanya dengan klausula setelah seluruh dokumen yang diperlukan telah dinyatakan lengkap. 

Dari perspektif notaris, surat covernote pada prinsipnya adalah surat keterangan yang bersifat formalitas belaka. Bersifat formalitas belaka karena perbuatan-perbuatan yang diterangkan dalam surat tersebut, yaitu penandatanganan akta sudah dilakukan dihadapan notaris. Salinan akta pun sebenarnya segara dapat dikeluarkan oleh notaris.

Namun, eksistensi surat covernote dari notaris ini dipandang dari sisi yang berbeda oleh pihak bank. Dalam praktek, seringkali ditemukan bahwa surat covernote dari notaris dijadikan sebagai syarat pencairan kredit, baik dituangkan dalam surat persetujuan kredit maupun dalam akta perjanjian kreditnya. Di sinilah, tuntutan atas tanggung jawab pekerjaan notaris dapat berujung pada sesuatu yang fatal dan tidak terduga-duga. Tidak sedikit notaris yang ikut terjerat hukum hanya karena mengeluarkan surat covernote yang menjadi syarat dari pencairan kredit. 

Ada beberapa persoalan yang muncul terkait dengan keberadaan surat covernote ini. Pertama, apakah notaris menyadari bahwa surat covernote notaris yang dikeluarkannya merupakan syarat pencairan dari suatu pemberian kredit? Biasanya, surat persetujuan kredit mencantumkan persyaratan-persyaratan suatu pembiayaan atau kredit, diantaranya bahwa kedit hanya dapat diberikan apabila debitur sudah menandatangani perjanjian kredit secara notaril. Selain itu, untuk pencairannya, debitur telah menandatangani akta-akta pemberian jaminannya, yang setidak-tidaknya atau minimal dibuktikan dengan adanya surat covernote notaris. Uniknya, walaupun surat covernote notaris menjadi syarat pencairan suatu kredit, tetapi pihak notaris sama sekali tidak dimintakan persetujuannya atas klausula perjanjian tersebut.

Persoalan kedua terkait dengan kedudukan dari perjanjian pemberian jaminan terhadap perjanjian kreditnya. Tanpa disadari dengan mengeluarkan surat covernote sebagai syarat pencairan kredit, notaris ikut mendudukkan perjanjian pemberian jaminan (yang merupakan perjanjian accesoir) sebagai perjanjian pendahuluan dari perjanjian kredit (perjanjian pokok) itu sendiri. Mana substansi perjanjian yang pokok, mana yang susulan, menjadi kabur. Substansi pemberian (pencairan) kredit pada hakekatnya adalah adanya kepercayaan pihak bank terhadap debiturnya, bukan karena adanya surat covernote notaris. Bahwa ada risiko gagalnya jaminan dipasang Hak Tanggungan, misalnya, itu seyogyanya kembali lagi kepada pihak bank selaku kreditur, bukan dibebankan kepada pihak notaris, kecuali terdapat kelalaian dari pihak notaris sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. 

Persoalan ketiga adalah mengenai kedudukan surat covernote notaris itu sendiri, apakah sebuah surat yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna atau tidak. Notaris biasanya mengeluarkan surat covernote secara jabatannya, yaitu dalam kapasitasnya sebagai notaris, dengan dibuktikan pemberian cap atau stempel jabatan notaris. Padahal, terkait penerbitan surat covernote ini, tidak memiliki landasan hukum yang mengaturnya, berbeda halnya ketika notaris mengeluarkan surat keterangan ahli waris/hak mewaris. Karena tidak adanya dasar hukumnya, dapat dikatakan bahwa surat covernote notaris hanya surat dibawah tangan yang bukan dikeluarkan oleh notaris dalam jabatannya, melainkan dalam kapasitas pribadinya. Artinya, cap/stempel jabatan tidak dapat digunakan untuk surat-surat yang dikeluarkan dalam kapasitas pribadi. 

Surat covernote notaris harusnya tidak ditempatkan sebagai syarat pencairan suatu kredit bank. Selain bukan merupakan akta otentik yang memiliki pembuktian yang sempurna, perbuatan yang diterangkan dalam surat covernote notaris mengenai pemberian jaminan merupakan perjanjian yang harusnya digantungkan pada perbuatan pencairan kredit itu sendiri dan bukan menjadi syarat terjadinya pencairan. Pemberian jaminan harusnya dilakukan setelah pencairan telah dilakukan sehingga keberadaan perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok tidak dapat disangkal lagi. Fatalnya lagi, pihak notaris tidak diminta persetujuannya atas kondisi bahwa surat covernote yang dikeluarkannya (yang tanpa landasan hukum pasti) itu dijadikan sebagai pokok perjanjian antara bank dan debitur.

Notaris dalam menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang ditawarkan oleh atau didapat dari bank biasanya sudah menjadi rekanan terdaftar bank tersebut. Di sini, notaris secara sukarela mengajukan diri sebagai notaris rekanan dan kemudian, antara bank dan notaris membuat suatu perjanjian kerjasama, yang biasanya notaris harus memberikan cap/stempel jabatan notaris. Di sinilah perlu diatur dan kalau perlu, ada pihak yang ikut melakukan pengawasan sejauh mana kerangka kerjasama tersebut. Cap/stempel jabatan notaris harusnya dipergunakan untuk mengesahkan suatu perjanjian yang diinginkan oleh pihak-pihak diluar notaris. Cap/stempel jabatan notaris tidak seharusnya dipergunakan untuk mengesahkan perjanjian yang dibuat untuk kepentingan notaris itu sendiri.

Notaris dalam menjalankan jabatannya terikat dengan aturan perundang-undangan. Sebagai notaris rekanan bank atau mitra bank, sampai sejauh ini belum ada pengaturannya, tidak seperti notaris pasar modal atau notaris koperasi yang memiliki aturan khusus tersendiri. Setidaknya, persoalan rekanan bank ini beberapa kali menjadi polemik, misalnya karena ada bank yang mensyaratkan bahwa notaris rekanan mereka harus menyetorkan dana deposito dalam jumlah tertentu. Apapun itu, seharusnya, jabatan notaris tidak dibuat menjadi eksklusif sehingga terkesan terkotak-kotak sesuai bidangnya, padahal pejabat notaris itu terkumpul dalam satu wadah organisasi yang sama, yaitu Ikatan Notaris Indonesia. Prinsipnya, notaris wajib memberikan pelayanan untuk semua lapisan masyarakat. 

   



       




Friday, May 12, 2023

Seputar Pendirian Perseroan Terbatas (PT) Kini

Selama ini, proses pendirian perseroan terbatas (PT) di Indonesia berdasarkan UU Perseroan Terbatas menjadi kewenangan dari pejabat notaris dalam pembuatan akta pendirian dan (dalam praktek) berikut pendaftaran pengesahannya. Di sini, perseroan terbatas dimaknai sebagai perkumpulan modal dalam bentuk saham perseroan. Namun, dengan berlakunya UU Cipta Kerja (UU No.11 Tahun 2020), paradigma perseroan terbatas dengan sendirinya terbaharui. Definisi perseroan terbatas tidak hanya merupakan persekutuan modal dari beberapa pemodal sekaligus dengan sistem organ pengawasan internal, melainkan juga mencakup perseroan terbatas yang hanya didirikan oleh satu orang pemodal saja (disebut perseroan perorangan) dan dikelola sendiri oleh pemodal tersebut. Tidak ada sistem organ pengawasan di dalamnya. Aturan baru ini memberikan kesempatan kepada pelaku usaha untuk dapat mendirikan badan hukum PT dengan proses mudah tanpa melalui pejabat notaris, karena semuanya dilaksanakan secara online/elektronik.

Bisa dipahami bahwa pembukaan akses atas pendirian PT seluas-luasnya kepada pelaku usaha ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, terutama kepada pelaku usaha mikro/kecil dan sekaligus agar mereka dapat berkembang maupun berkompetisi secara sehat.

Perseroan terbatas sebagai badan usaha memiliki keunikan dibandingkan dengan badan usaha lainnya, seperti Firma atau CV. Bila berbentuk PT, maka batas pertanggungjawaban pemiliknya (pemegang saham) hanya sejumlah modal yang disetorkannya saja. Hal ini disebabkan adanya pemisahan antara kekayaan pribadi pemilik modal dan kekayaan (modal setor) yang disetorkan oleh pemilik modal ke dalam perusahaan.      

Selain memberikan kemudahan kepada pelaku usaha untuk melegalkan usahanya, opsi pendirian perseroan terbatas secara perorangan ini ternyata menyuburkan kembali usaha biro-biro jasa yang menawarkan jasa pendirian PT perorangan dengan harga yang kompetitif. Iklan-iklan pendirian PT perorangan gencar ditayangkan melalui jaringan media sosial. Penawarannya bahkan tidak saja untuk pendirian PT perorangan, melainkan untuk pendirian PT yang melibatkan jasa atau akta notaris. Sebagaimana diketahui, notaris tidak diperkenankan bekerja sama dengan biro jasa dalam mencari klien atau mempromosikan jasa-jasa dalam membuat akta. 


Namun, status perseroan perorangan ini wajib diubah (ditingkatkan) menjadi perseroan biasa kalau pemilik modalnya bertambah atau lebih dari seorang pemodal atau kriteria perusahaannya tidak lagi sesuai dengan kriteria usaha mikro/kecil, yaitu kriteria total modal usaha (diluar tanah/bangunan) hanya sampai sebatas 5 miliar rupiah. Selain itu, jumlah PT yang boleh didirikan secara perorangan tidak boleh lebih dari 1 PT dalam kurun waktu 1 tahun. 

Diluar pendirian PT perorangan, maka proses pendrian PT tetap mengikuti aturan berdasarkan UU Perseroan Terbatas sebelum UU Cipta Kerja. Hanya saja, saat ini tahapan pendirian perseroan terbatas pun sedikit berbeda dari tahapan sebelumnya. Pada waktu-waktu lalu, pihak notaris terlebih dahulu harus melakukan pemesanan nama PT untuk dimohonkan persetujuan namanya. Selanjutnya, apabila nama badan hukum telah disetujui oleh Kementerian Hukum dan HAM, maka tahapan berikutnya adalah penandatanganan akta pendirian PT serta pengajuan pengesahan PT sebagai badan hukum melalui Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH)  sampai keluarnya Surat Keputusan (SK) Menteri mengenai persetujuan pendirian PT tersebut. 

Namun, seiring dengan prosedur pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk pemesanan nama dan pengesahan perseroan terbatas dilakukan sekaligus, maka tahapan persetujuan nama PT tidak lagi dilakukan di awal proses, melainkan bersamaan dengan proses pengesahannya. Artinya, persetujuan nama tidak diperlukan lagi di awal, tetapi cukup dengan pengecekan apakah nama tersebut sudah terpakai atau tidak diblokir. 

Pengecekan usulan nama PT ini bersifat informasi saja, karena pada akhirnya keputusan untuk pemakaian nama tersebut merupakan kewenangan dari Kementerian Hukum dan HAM. Oleh karenanya, notaris harus memiliki penilaian sendiri apakah nama PT yang dipilih nanti (kira-kira) dapat disetujui atau tidak, serta menyampaikan kepada klien bahwa persetujuan nama sepenuhnya menjadi kewenangan Kementerian Hukum dan HAM, bukan tanggung jawab notaris. Walaupun nama PT yang diusulkan tidak sama atau tidak mirip dengan nama PT yang sudah ada, atau walaupun nama tersebut tidak terblokir, maka usulan nama masih terbuka sifatnya (belum fixed) sampai pada waktunya nanti diverifikasi oleh pihak Kementerian. Jadi, bukan tidak mungkin, nama PT yang sudah keluar SK-nya mendadak dibatalkan sepihak oleh pihak Kementerian.

Bila pengecekan nama PT sudah dapat dianggap clear, penandatanganan akta pendirian dapat dilakukan dan dilanjut dengan proses pengesahannya. Begitu SK terbit, status pemesanan nama PT biasanya langsung disetujui, dengan ketentuan tadi bahwa  nama PT yang telah tercantum dalam SK pendirian/pengesahan bisa saja dianulir apabila kemudian dianggap tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. 

Selain teknis pendirian perseroan terbatas sebagaimana tersebut diatas, ada hal penting yang perlu diperhatikan oleh notaris untuk pendirian perseroan terbatas, yaitu penyampaian identitas pihak-pihak yang menjadi pemilik manfaat (Beneficial Owner) dari perseroan terbatas tersebut. Definisi Pemilik Manfaat antara lain adalah mereka yang memiliki kuasa untuk mengendalikan perusahaan, mengendalikan direksi/komisaris atau yang merupakan pemilik sebenarnya dari suatu perusahaan. Walaupun ketentuannya (Perpres No.18 Tahun 2018) mengatur bahwa penyampaian identitas pemilik manfaat merupakan kewajiban dari perusahaan itu sendiri, dan bagi perusahaan yang baru berdiri diberikan kelonggaran waktu 7 hari penyampaiannya setelah perizinan diterbitkan. 

Saat ini, banyak perseroan terbatas dalam sistem SABH yang berstatus terblokir. Pemblokiran dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM karena pihak perseroan belum menyampaikan identitas Pemilik Manfaat dari perusahaan tersebut. Status terblokir ini menyebabkan perseroan terbatas tersebut tidak dapat melakukan perubahan perseroan, berupa perubahan anggaran dasar, misalnya perubahan modal dasar dan perubahan tempat kedudukan, ataupun perubahan data perseroan, misalnya perubahan susunan anggota direksi atau komisaris perusahaan. Untuk dapat melakukan perubahan perseroan, maka status blokir harus dibuka terlebih dahulu, yang mana prosesnya tentu jadi memakan waktu.

Di samping penerapan prinsip mengenali pemilik manfaat (Beneficial Owner), notaris saat ini juga diwajibkan untuk melakukan penerapan prinsip mengenali pengguna jasa notaris. Kedua hal ini berkaitan dengan penerapan UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No. 8 Tahun 2010) dan UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (UU No. 9 Tahun 2013). Dalam hal ini, notaris menjadi pihak yang diwajibkan untuk melaporkan setiap transaksi yang mencurigakan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Kewajiban pelaporan ini tentu harus diawali dengan penerapan langkah-langkah administratif dalam mengenali pengguna jasa notaris, termasuk ketika klien ingin mendirikan perseroan terbatas dengan transaksi keuangan (penyetoran uang) minimal Rp.100 juta (Permenkumham No. 9 Tahun 2017).

Penerapan prinsip mengenali pengguna jasa tidak saja wajib dilakukan dengan minimal transaksi tertentu, melainkan juga dalam hal data informasi yang diterima oleh notaris diragukan kebenarannya. Ketika transaksi pendirian perseroan dinilai oleh notaris tidak sesuai dengan profile pengguna jasa, maka notaris wajib melaporkan transaksi pendirian perseroan tersebut melalui sistem pelaporan yang ada (Sistem GoAML). 

Memang, banyak yang menilai bahwa kewajiban penerapan prinsip mengenali pengguna jasa notaris ini menambah beban pekerjaan notaris dari sisi administrasi sistem pelaporannya. Notaris merupakan pejabat yang mandiri dalam menjalankan pekerjaannya. Artinya, notaris itu memikul tanggung jawab pelaksanaan tugasnya seorang diri. Di sisi lain, tugas-tugas yang diberikan kepada notaris, tidak hanya bersumber dari UU Jabatan Notaris saja, melainkan juga bersumber dari peraturan perundang-undangan lainnya. Notaris telah disumpah untuk taat kepada undang-undang.