Thursday, November 16, 2017

Peranan Saksi Akta dalam (Pembuatan) Akta Notaris

Berbicara soal saksi sebenarnya tidak lepas dari persoalan pembuktian. Dalam pembuktian di pengadilan misalnya, keterangan saksi diperlukan untuk memperkuat keyakinan hakim dalam memutuskan perkara. Oleh karenanya, seorang saksi (saksi fakta) haruslah orang-orang yang mendengar atau melihat atau mengalami sendiri mengenai suatu perkara (terlepas dari Putusan MK No.65/PUU-VIII/2010 yang memperluas pengertian saksi).

Dalam akta notaris, peranan saksi juga hampir sama. Walaupun demikian, dikenal ada dua jenis saksi dalam akta notaris, yaitu 1) saksi pengenal dan 2) saksi akta (saksi instrumentair). Peranan saksi pengenal agak berbeda. Saksi pengenal berfungsi untuk memberikan semacam kredibilitas dari penghadap kepada Notaris, yang diwajibkan undang-undang harus mengenal(i) penghadap yang membuat akta. Di jaman kartu identitas belum populer, peranan saksi penghadap memang cukup penting sehingga dapat memberikan keyakinan kepada Notaris mengenai jati diri penghadap. Selain oleh saksi pengenal, penghadap juga dapat diperkenalkan oleh 2 orang penghadap lainnya (surrogaat pengenalan). Saat ini, identitas penghadap umumnya dibuktikan dengan menunjukkan KTP, kemudian Notaris di dalam aktanya akan menyebutkan bahwa penghadap dikenal Notaris dari identitasnya. Saksi jenis yang kedua, yaitu saksi akta, lebih merujuk pada saksi fakta sebagaimana dalam suatu perkara pembuktian. Saksi akta merupakan syarat mutlak untuk sebuah akta notaris sehingga akta notaris tersebut dapat dikatakan autentik. Jumlah saksi akta minimal 2 orang saksi. Saksi akta juga harus dikenal sendiri oleh Notaris, namun bisa juga diperkenalkan oleh penghadap (kalaulah mereka membawa sendiri saksi aktanya). Walaupun demikian, menurut G.H.S. Lumban Tobing S.H., saksi instrumentair juga dapat memperkenalkan penghadap. Dalam hal ini mereka menjadi saksi-saksi yang memperkenalkan (attesterende getuigen).

Untuk menjadi saksi akta (saksi instrumentair), seorang saksi haruslah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan, yaitu (Pasal 40 UU Jabatan Notaris):
1. Paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun atau sebelumnya telah menikah;
2. Cakap melakukan perbuatan hukum;
3. Mengerti bahasa yang digunakan dalam Akta;
4. Dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf; dan
5. Tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak.

Pertanyaannya, sejauh mana peranan saksi akta dalam sebuah proses pembuatan akta sekaligus untuk pembuktiannya kalau diperlukan. Berdasarkan ketentuan UU Jabatan Notaris, dalam pembuatan akta, Notaris harus membacakan akta tersebut kepada para penghadap dihadapan saksi-saksi. Sebagaimana syarat menjadi seorang saksi akta, maka apa yang dibacakan oleh Notaris haruslah yang dapat dimengerti oleh saksi-saksi. Artinya, peranannya tidak cukup sebagai saksi belaka sebagaimana definisi saksi fakta dalam hukum acara, melainkan juga harus dapat memahami akta yang dibacakan kepadanya. Walaupun demikian, masih ada perbedaan pandangan mengenai apakah saksi akta haruslah mereka yang mengerti seluk beluk (aspek  formal pembuatan akta) pekerjaan Notaris atau cukuplah yang mampu memahami isi akta saja. Bila dilihat dari syarat untuk menjadi seorang saksi akta, cukuplah saksi akta tersebut memahami atau mengerti bahasa yang dipergunakan dalam akta, yang prinsipnya harus dibuat dalam bahasa Indonesia.  

Hal pasti yang disebutkan dalam UU Jabatan Notaris adalah bahwa akta notaris juga harus dibacakan oleh Notaris kepada saksi akta dan juga ditandatangani oleh saksi akta. Di sini, saksi akta berperan menyaksikan 2 tahapan penting dari pembuatan akta, yaitu proses pembacaan dan penandatanganan (pengesahan) akta. Pembacaan akta merupakan suatu tahapan guna mengkonfirmasi agar hal-hal yang dinyatakan dalam akta telah benar-benar sesuai dengan maksud para pihak, sedangkan penandatanganan akta merupakan bentuk persetujuan dari para pihak atas isi akta tersebut. Dengan penandatanganan akta, para pihak telah tegas menyatakan persetujuannya atas isi akta sehingga tidak dapat disangkal lagi.   

Mereka yang menjadi saksi akta haruslah memahami peranannya dalam suatu akta notaris. Dalam kenyataannya, seringkali saksi akta diperlukan keterangannya dalam membuat terang suatu perkara. Ada beberapa hal penting yang perlu diketahui oleh saksi akta mengenai keterlibatannya dalam pembuatan akta. Pertama, saksi akta ikut menyaksikan kehadiran penghadap dalam proses pembacaan maupun penandatanganan akta notaris. Kedua, saksi akta ikut menyaksikan pembacaan akta oleh Notaris kepada para penghadap maupun kepada para saksi. Ketiga, saksi akta ikut menyaksikan penandatanganan akta baik oleh para penghadap maupun oleh Notaris itu sendiri. Dari sini, seorang saksi akta harus dapat memberikan kesaksian mengenai identitas penghadap bahwa benar penghadap tersebut yang menghadap Notaris untuk membuat akta sebagaimana yang dibacakan kepadanya dan bahwa benar Notaris telah membacakan isi akta sesuai keingian atau kesepakatan para penghadap sekaligus bahwa benar para penghadap tersebut telah memberikan persetujuannya dengan membubuhkan tanda tangan. 

Jadi, saksi akta pada prinsipnya hanya terlibat dalam 2 tahapan pembuatan akta, yaitu tahap pembacaan dan tahap penandatangan akta. Saksi akta tidak didesain untuk menyaksikan teknis pembuatan akta itu sendiri, walaupun prakteknya seringkali akta tersebut memang didraft oleh para saksi akta. Dikaitkan dengan peranan saksi akta dalam proses pembuktian, maka apa yang menjadi kompetensi saksi akta hanyalah seputar kebenaran atas pembacaan dan penandatanganan akta saja sebagaimana yang ditetapkan dalam UU Jabatan Notaris bahwa benar saksi akta telah menyaksikan para penghadap hadir untuk membuat dan menandatangani akta tersebut setelah dibacakan. Terkait isi akta, saksi akta hanya kompeten untuk menjamin bahwa aktanya telah dibacakan dan disetujui oleh para pihak, tidak lebih dari itu karena atas pembuatan akta tersebut kesemuanya merupakan kewenangan dan menjadi tanggung jawab Notaris.

Saksi akta juga diharuskan ikut menandatangani akta notaris. Di sini, penandatanganan akta oleh saksi akta merupakan bentuk persetujuannya atas akta yang telah dibuat saat itu, baik mengenai isi aktanya, maupun mengenai formalitas pembuatannya. Artinya, apa-apa yang dimaksudkan oleh para pihak adalah tak lain dan tak bukan sebagaimana yang dinyatakan atau tertulis dalam akta tersebut. Apa yang tertulis dalam akta notaris, itulah yang menjadi pernyataan dan kenyataan yang benar, karena sebagai akta autentik, akta notaris memiliki kemampuan untuk membuktikan dirinya sendiri (kekuatan pembuktian lahiriah), kecuali memang dapat dibuktikan sebaliknya. Artinya, untuk membuktikan kebalikannya, harus dibuktikan dengan bukti-bukti lain, bukan dari akta notaris itu sendiri, misalnya dari keterangan saksi akta.

Kedudukan saksi akta secara formal tetaplah sebagai saksi saja. Berbeda dengan Notaris sebagai pihak yang mengesahkan akta tersebut. Namun tak dapat disangkal bahwa tanpa kehadiran saksi, maka akta notaris juga tidak dapat disebut sebagai akta autentik sehingga sebenarnya saksi akta juga turut serta dalam mengesahkan akta autentik. 






Friday, November 10, 2017

Kekuatan Pembuktian Akta Notarial, Legalisasi, dan Waarmerking

Notariat (jabatan notaris) merupakan jabatan yang selalu berhubungan dengan akta, tak lain karena tugas utama Notaris adalah untuk membuat bukti tertulis mengenai perbuatan, perjanjian atau penetapan yang dikehendaki oleh pihak-pihak yang berkepentingan atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk dinyatakan dalam akta.

Akta merupakan surat atau tulisan yang ditandatangani yang dibuat sebagai bukti. Menurut KBBI, lingkup pengertian akta diartikan lebih sempit, yaitu surat tanda bukti berisi pernyataan (keterangan, pengakuan, keputusan, dan sebagainya) tentang peristiwa hukum yang dibuat menurut peraturan yang berlaku, disaksikan dan disahkan oleh pejabat resmi. Pengertian akta menurut KBBI ini lebih mendekati pengertian dari akta autentik (bentuk tak baku: akta otentik). Walaupun demikian, akta yang dibuat pejabat resmi tidak selalu merupakan akta atentik. Pengertian akta autentik secara spesifik dapat dilihat pada Pasal 1868 KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu akta autentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Notaris merupakan salah satu profesi yang ditunjuk untuk membuat akta autentik.

Oleh karena demi kepentingan pembuktian (Pasal 1867 KUH Perdata), dikenal dua jenis akta, yaitu 1) Akta dibawah tangan, dan 2) Akta autentik. Hal yang membedakan antara akta dibawah tangan (lazim disebut surat dibawah tangan) dan akta autentik adalah terkait kekuatan pembuktiannya. Akta autentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya. Disebut sempurna sebenarnya karena hal-hal yang dibuktikan dengan tulisan tersebut tak dapat lagi disanggah. Wujud akta berupa akta autentik memberikan suatu kekuatan pembuktian yang sempurna yang tidak dimiliki akta dibawah tangan. Wujud yang dimaksud disini bukanlah terkait bentuknya yang sudah ditetapkan oleh undang-undang, melainkan merujuk pada kemampuan akta autentik untuk membuktikan dirinya sendiri sebagai alat bukti yang sempurna (kekuatan pembuktian lahiriah). Karenanya, atas akta autentik tak diperlukan alat bukti lainnya untuk membuktikan hal-hal yang dinyatakan didalam akta autentik tersebut. Dengan akta autentik, hal-hal yang dinyatakan didalamnya benar merupakan pernyataan yang sesungguhnya (kekuatan pembuktian formal). Dengan akta autentik, hal-hal yang dinyatakan didalam akta autentik tersebut benar merupakan kenyataan yang sebenarnya (kekuatan pembuktian material).  

Akta notaris atau akta notarial sebagai akta autentik haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai akta autentik. Bentuknya saja sebagai akta notarial tidak otomatis membuktikan sebagai akta autentik. Dalam UU Jabatan Notaris sendiri ditegaskan bahwa apabila tidak dibuat sesuai ketentuan yang berlaku, baik mengenai formalitasnya maupun mengenai substansinya, maka kekuatan pembuktian akta notarial bisa saja mengalami degradasi menjadi setara akta dibawah tangan.

Tugas dan wewenang Notaris tidak saja membuat akta autentik, melainkan juga dapat memberikan pelayanan lain atas akta-akta dibawah tangan, yaitu memastikan tanggal penandatanganan akta dibawah tangan sekaligus memastikan bahwa para pihak yang sebenarnya yang memberikan persetujuannya (dalam bentuk tandatangan). Kewenangan ini disebut legalisasi atau pengesahan akta dibawah tangan. Untuk melegasisasi surat dibawah tangan, maka para pihak yang membuat surat tersebut harus menghadap Notaris. Setelah Notaris menjelaskan isi surat tersebut, maka para pihak memberikan tanggal dan menandatangani surat di hadapan Notaris. Dalam praktek, Notaris hanya menyatakan telah menyaksikan proses penandatanganan surat, tidak disebutkan telah menjelaskan isi surat tersebut, apalagi membacakannya. Harusnya, isi surat yang akan dilegalisasi harus dibacakan atau dijelaskan. Walaupun demikian, dapat dipahami apabila Notaris menyatakan bahwa hanya menyaksikan penandatanganan surat. UU Jabatan Notaris menyebutkan bahwa Notaris diberikan kewenangan untuk mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan, tidak diharuskan untuk membacakannya. Isi surat diluar tanggung jawab Notaris, mungkin demikian gambarannya. Surat yang telah dilegalisasi kemudian diberi nomor dan tanggal yang sama oleh Notaris dan didaftarkan ke dalam buku khusus legalisasi (Daftar Akta Bawah Tangan yang Disahkan). 

Selain melegalisasi akta dibawah tangan, Notaris juga diberi kewenangan untuk membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftarkannya ke dalam buku khusus pembukuan. Kewenangan ini lazim disebut waarmerking. Untuk mendaftarkan surat-surat dibawah tangan, para pihak dapat membawa surat tersebut (setelah ditandatangani) ke hadapan Notaris untuk kemudian dicatatkan (dibukukan) ke dalam buku khusus waarkerming. Di sini, Notaris hanya membubuhkan cap jabatan (dan ditandatangani) serta memberikan nomor dan tanggal pembukuan pada surat tersebut. Notaris tidak ikut menyaksikan atau mengesahkan penandatangan surat. Hal yang dijamin oleh Notaris disini adalah kepastian tanggal pembukuan surat bahwa benar surat tersebut telah terdaftar pada tanggal pembukuan tersebut. Notaris tidak menjamin isi akta maupun kebenaran pihak-pihak yang menandatanganinya.

Baik akta notarial, akta legalisasi maupun akta waarmerking masing-masing memiliki batas-batas kekuatan pembuktian. Akta notarial memiliki kekuatan yang sempurna, dalam arti tak lagi memerlukan alat bukti lainnya. Akta notarial memiliki kekuatan pembuktian baik secara lahiriah, formal maupun material. Sampai ada pembuktian sebaliknya, maka akta notarial dianggap alat bukti yang cukup (tidak diperlukan dukungan pembuktian lainnya). Akta legalisasi setidaknya memiliki kekuatan pembuktian formal (bila dibacakan atau dijelaskan kepada para pihaknya) bahwa benar akta tersebut dibuat sesuai kehendak para pihak yang membuatnya. Di sini, Notaris menjamin bahwa pihak yang menandatangani akta adalah benar-benar yang membuat akta tersebut. Sementara, akta waarmerking prinsipnya juga memiliki kekuatan pembuktian formal walaupun sifatnya lemah, tak sekuat pembuktian akta legalisasi karena tidak terjamin tanggal akta maupun pihak-pihak yang menyatakannya. Sederhananya, akta atau surat waarmerking hanya menyatakan bahwa surat atau akta tersebut memang pernah ada (eksis), namun tidak diketahui apakah benar-benar dibuat oleh para pihak yang menandatanganinya. Walaupun demikian, terkait kelemahan kekuatan pembuktian baik atas akta legalisasi maupun akta waarmerking, Pasal 1875 KUH Perdata menyatakan bahwa kekuatan pembuktian akta dibawah tangan akan menjadi setara akta autentik dengan cukup mengakui kebenaran akta di bawah tangan tersebut karena dengan cara demikian tidak ada lagi hal-hal yang perlu dibuktikan, bukan?


Notaris  



Wednesday, October 25, 2017

Wilayah Jabatan (Daerah Kerja) Notaris Sebagai Pejabat Umum

Dalam menjalankan jabatannya, Notaris  terikat dengan ketentuan-ketentuan undang-undang agar akta-akta yang dibuatnya dapat memenuhi kategori akta autentik (istilah otentik tidak baku). Apabila salah satu kondisi tersebut tidak ditaati atau Notaris teledor terhadap ketentuan-ketentuan tersebut, maka akta notaris tersebut akan kehilangan sifat keautentikannya. Artinya, akta yang dibuat menjadi akta yang bersifat dibawah tangan saja. Bagi Notaris sendiri, kehilangan autentisitas akta juga dapat berujung pada gugatan perdata ataupun pelanggaran pidana, salah satunya terkait pemalsuan akta. 

Setiap Notaris mendapat kewenangan (kekuasaan jabatan) untuk menjalankan jabatannya. Unsur pemberian kewenangan ini menjadi mutlak karena disinilah letak salah satu sifat keautentikan hasil pekerjaan Notaris. Oleh karenanya, Notaris diangkat oleh penguasa (pemerintah) sebagai pejabat umum berdasarkan Surat Keputusan Menteri (dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM). Kewenangan Notaris tersebut ada batas-batasnya.

Salah satu kondisi yang membuat Notaris berwenang dalam membuat akta adalah terkait wilayah jabatannya. Wilayah jabatan yang dimaksud adalah cakupan wilayah dimana Notaris berwenang bekerja untuk membuat akta autentik. Wilayah jabatan Notaris berdasarkan UU Jabatan Notaris (Pasal 18 ayat 2 UU No. 30 Tahun 2004 yang telah diubah dengan UU No. 2 Tahun 2014) meliputi wilayah provinsi dimana tempat kedudukan (domisili kantor) Notaris berada. Selama Notaris membuat akta di dalam wilayah jabatannya, maka akta notaris tersebut memiliki sifat autentik. Walaupun demikian, menurut Pasal 19 ayat 2 UU Jabatan Notaris, Notaris tidak berwenang menjalankan jabatan diluar tempat kedudukan (di luar kabupaten/kota penunjukan) secara berturut-turut dengan tetap. Bila disebut "tidak berwenang", maka konsekuensinya sangat serius bahwa jabatan Notaris tidak lagi melekat pada pejabatnya. Akan tetapi, UU Jabatan Notaris tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan "secara berturut-turut dengan tetap".

Khusus pembuatan akta-akta yang menyangkut badan hukum koperasi, yaitu akta pendirian, perubahan anggaran dasar atau terkait kegiatan koperasi lainnya, Notaris harus memiliki semacam "lisensi" tambahan sebagai Notaris Pembuat Akta Koperasi (NPAK). Berdasarkan Kepmenag Koperasi/UKM No:98/Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang Notaris sebagai Pembuat Akta Koperasi, wilayah jabatan Notaris Pembuat Akta Koperasi diatur sebagai berikut:

Pasal 9 KepMenag Koperasi & UKM No.98/2004:
(1) Pembuatan akta pendirian dan perubahan anggaran dasar koperasi untuk koperasi primer dan sekunder di tingkat Kabupaten/Kota, Propinsi maupun Nasional, adalah kewenangan Notaris sesuai dengan kedudukan Kantor koperasi tersebut berada.
(2) Khusus untuk koperasi yang berkedudukan di Daerah khusus Ibukota Jakarta, pembuatan akta pendirian dan perubahan anggaran dasar koperasi adalah kewenangan Notaris yang berkedudukan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Secara umum dikatakan bahwa wilayah jabatan NPAK mengikuti wilayah jabatan Notarisnya. Namun, bila kita membaca ketentuan Pasal 9 tersebut diatas, ada perbedaan dalam menentukan wilayah jabatan terhadap NPAK yang berkedudukan di DKI Jakarta dan di luar DKI Jakarta. Bila koperasi berkedudukan (dimana saja) di wilayah DKI Jakarta, maka Notaris yang berwenang membuat aktanya adalah setiap NPAK yang berkedudukan di DKI Jakarta. Berbeda dengan koperasi yang berada di luar DKI Jakarta. Untuk koperasi, baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi maupun nasional (berdasarkan cakupan wilayah domisili para anggotanya), maka Notaris yang berwenang membuat aktanya adalah disesuaikan dengan kedudukan Kantor koperasi tersebut. Pertanyaannya, apakah berarti bahwa kewenangan NPAK bersifat lokal sesuai kabupaten/kota dari domisili kantor koperasi atau boleh dibuat oleh Notaris (NPAK) yang berkedudukan di kabupaten/kota di luar domisili koperasi tersebut.

Terkait persyaratan untuk menjadi NPAK ini menjadi perdebatan tersendiri mengingat ketentuan tersebut menyimpangi UU Jabatan Notaris. Demikian juga dengan penunjukan Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pejabat Lelang, ataupun Notaris Pasar Modal. Peraturan terkait mensyaratkan Notaris harus mengikuti semacam pelatihan khusus dan kemudian diberikan Surat Keputusan tersendiri agar Notaris berwenang dalam membuat aktanya. Padahal, UU Jabatan Notaris (Pasal 16) telah memberikan kewenangan kepada Notaris untuk membuat akta autentik (apa saja), baik yang diminta para pihak maupun yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, termasuk untuk akta pertanahan dan akta risalah lelang.

Lain lagi halnya dengan wilayah jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Wilayah yang dimaksud adalah daerah kerja PPAT. Menurut PP 37 Tahun 1998 (Pasal 12 ayat 1), daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan kabupaten/kota. Artinya, PPAT hanya berwenang untuk membuat akta-akta pertanahan yang bidang-bidang tanahnya berada dalam daerah kerja kabupaten/kota. Namun, berdasarkan PP Perubahannya, yaitu PP No.24 Tahun 2016,  daerah kerja PPAT diperluas menjadi satu wilayah provinsi (artinya mengikuti wilayah jabatan Notaris). Akan tetapi, daerah kerja satu provinsi ini masih belum terealisasi sampai sekarang. 



Friday, October 20, 2017

Perjanjian Pisah-Harta yang Dibuat Selama Berlangsung Perkawinan (Paska Putusan MK)

Sebagai salah satu lembaga kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi (MK) menjalankan tugasnya sebagai lembaga penguji keberlakukan Undang-Undang terhadap UUD 1945. MK dipandang sebagai lembaga pengawal hak-hak konstitusional warga negara. Dalam hal ini, MK menjadi lembaga yang melakukan koreksi penafsiran (tafsiran resmi) atas keberlakukan norma-norma hukum yang merujuk pada UUD 1945. Putusan MK bersifat final. Namun, lantaran bersifat normatif, teknis pelaksanaan putusan tersebut tetap saja berada ditangan eksekutif (pemerintah) sebagai lembaga yang melaksanakan UU.

Dalam lapangan hukum keluarga (terkait status anak luar kawin/waris), peran MK menjadi cukup penting dalam melakukan pembaharuan hukum. Kita masih ingat bagaimana MK memutus bahwa (Putusan MK No.46/PUU-VIII/2010) status anak luar kawin diakui sebagai anak sah (dari ayah biologisnya) apabila dapat dibuktikan secara ilmiah maupun dengan bantuan teknologi atau bukti lainnya. Akibat hukumnya, anak luar kawin berpeluang untuk mendapat hak waris dari ayah biologisnya. 

Terkait dengan perkawinan, MK, melalui putusannya No.69/PUU-XIII/2015, telah memutus bahwa perjanjian perkawinan (perjanjian kawin) boleh dibuat oleh pasangan suami-istri selama perkawinan berlangsung. Sebelumnya, UU Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) telah menetapkan bahwa perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat oleh para pihak sebelum atau pada saat akad perkawinan dilangsungkan.    
  • Ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan harus dimaknai: 
  • Ayat 1:
  • "Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya juga berlaku terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut"
  • Ayat 3:
  • "Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan".

Perjanjian perkawinan atau perjanjian kawin yang dimaksud dalam Putusan MK sebenarnya lebih tepat disebut perjanjian pisah harta karena substansi dari permohonan gugatan tersebut adalah terkait persatuan harta sebagai akibat dari terjadinya perkawinan. Namun, perjanjian pisah harta hanya merupakan salah satu hal yang dapat diperjanjikan dalam suatu perkawinan.

UU Perkawinan mengenal prinsip persatuan harta atas harta yang diperoleh selama perkawinan dan prinsip pisah harta terkait harta bawaan, warisan dan hadiah kecuali ditentukan sebaliknya. Terkait persatuan harta (harta bersama) memang ada plus-minusnya. Di satu sisi, ketentuan ini merupakan bentuk pengakuan atas kedudukan yang setara antara suami-istri dalam perkawinan untuk mencapai kesejahteraan bersama. Namun di sisi lain, diluar pertimbangan sebagai bentuk perlindungan hukum atas harta bersama, sebagai konsekuensinya, timbul masalah dari sisi praktis, ketika salah satu pihak melakukan perbuatan hukum terkait harta perkawinan tersebut. Disyaratkan bahwa untuk melakukan perbuatan hukum, seperti pengalihan hak atas harta bersama, diperlukan persetujuan dari pasangan kawin untuk dapat mengesahkan perbuatan hukum tersebut. Menjadi tidak terlalu sulit apabila perkawinan masih berlangsung. Namun, ketika status perkawinan telah berakhir (bercerai), dalam praktek, masalah kerap terjadi ketika salah satu pihak hendak melakukan suatu perbuatan hukum atas harta yang ditinggalkan. Pihak notaris/PPAT sebagai pihak mengesahkan perbuatan hukum tersebut tetap saja meminta persetujuan bekas pasangan, padahal perkawinan telah bercerai dan kemungkinan sudah tidak akur lagi. Memang prosedur tersebut dapat dipahami tujuannya demi keabsahan dari perbuatan hukum itu sendiri, demi kebaikan para pihak maupun pihak Notaris/PPAT agar terhindar dari gugatan pihak lainnya.  

Masalah lainnya bahkan menjadi serius apabila perkawinan tersebut merupakan perkawinan campuran, berbeda kewarganegaraan. Terkait tanah, UU Pokok-Pokok Agraria melarang kepemilikan hak milik/HGB atas tanah oleh pihak asing (WNA). Berdasarkan KUHPerdata (bagi yang melangsungkan perkawinan sebelum UU Perkawinan Tahun 1974), ketika perkawinan berlangsung otomatis secara demi hukum berlangsung percampuran harta, sedangkan berdasarkan UU Perkawinan, percampuran harta otomatis terjadi atas harta diperoleh selama perkawinan. Bila demikian, maka harta perkawinan yang dimiliki (atas nama) WNI, berupa tanah, terancam hapus (menjadi tanah negara) apabila tidak dialihkan selama jangka waktu 1 tahun. Namun, biasanya pada saat memperoleh hak atas tanah tersebut (misalnya pada saat pembelian tanah), pihak Notaris akan menolak mengesahkan jual beli apabila pembeli tidak memiliki perjanjian pisah harta dengan pasangan WNA-nya. 

Keberadaan perjanjian pisah-harta di sini sangat diperlukan. Secara umum, perjanjian pisah-harta berfungsi meneguhkan status kepemilikan harta pribadi walaupun terikat dalam suatu perkawinan. Secara khusus, terkait percampuran harta karena perkawinan campuran, perjanjian pisah-harta berfungsi melindungi/menjaga hak atas kepemilikan harta pribadi (tanah) setelah perkawinan berlangsung. 

Dengan adanya Putusan MK tersebut, negara tetap memberikan perlindungan hukum kepada warga negara yang terkena dampak aturan UU Perkawinan dan UU Pokok-Pokok Agraria. jadi, warga negara tidak hanya bisa pasrah menerima konsekuensi hukumnya, melainkan dapat menempuh upaya hukum lain, dalam hal ini, dapat segera membuat perjanjian pisah-harta guna melindungi hak-haknya. 

Selain itu, Putusan MK tersebut juga menegaskan 2 bentuk dari perjanjian kawin itu sendiri. Pertama, perjanjian kawin dapat dibuat secara dibawah tangan oleh para pihak yang kemudian disahkan dan sekaligus dicatatkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Kedua, perjanjian kawin dapat dibuat dalam bentuk akta notariil, dimana perjanjian tertulisnya disahkan oleh Notaris dan kemudian dicatatkan pada pegawai pencatat perkawinan. Putusan MK terkait ketentuan Pasal 29 ayat 1 tersebut memang dapat memberikan penafsiran yang berbeda, seolah-olah Notaris juga mengesahkan perjanjian kawin, padahal yang dimaksud* adalah bukan "perjanjian kawin"-nya, melainkan "perjanjian tertulis"-nya. Notaris mengesahkan perjanjian tertulis tersebut dan kemudian atas perjanjian tertulis tersebut dicatatkan oleh pegawai pencatat perkawinan untuk disahkan sebagai perjanjian kawin.

Terkait keberlakukan perjanjian kawin, semuanya dikembalikan kepada para pihak. Para pihak diberi kebebasan untuk menentukan kapan perjanjian tersebut mulai berlaku. Apabila tidak ditentukan khusus, maka berlaku sejak perkawinan berlangsung. Hanya saja, terkait percampuran harta dalam perkawinan campuran, persoalan muncul ketika perjanjian kawin dibuat bertahun-tahun setelah hak atas tanah diperoleh. Tentu saja, hak atas tanah yang dimaksud sudah hapus menjadi statusnya menjadi tanah negara. Apakah perjanjian kawin seperti ini dapat mengembalikan status hak tanahnya kembali menjadi hak milik atas nama bekas pemiliknya?

Walaupun telah diputuskan oleh MK sejak Oktober 2016, pelaksanaan putusan MK tersebut masih terkendala teknis di lapangan, baik belum adanya aturan pelaksanaan (juklak) maupun belum adanya kesamaan persepsi di kalangan instansi pemerintah sebagai pihak yang menjalankan kewajiban tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 2017, Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil mengeluarkan juklak pencatatan perjanjian kawin dengan Surat Dirjen Dukcapil No.472.2/5876/Dukcapil terkait perkawinan yang dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil, sedangkan atas perkawinan-perkawinan yang dicatatkan pada Kantor Urusan Agama (KUA), teknis pelaksanaan pencatatan perjanjian kawin baru dikeluarkan dalam Surat Edaran Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag No.B.2674/DJ.III/KW.00/9/2017 tertanggal 28 September 2017. Dalam surat edaran tersebut disebutkan bahwa perjanjian kawin dapat dicatatkan pada KCS/KUA oleh Pejabat Pencatatan Sipil/Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dengan memberikan catatan status perkawinan pada Register Akta Perkawinan/Akta Nikah dan Kutipan Akta Nikah. Disebutkan pula bahwa apabila perkawinan dilakukan dan dicatatkan di negara lain, namun perjanjian kawin dibuat atau diubah/dicabut di Indonesia, maka para pihak dapat melaporkan perjanjian kawin tersebut kepada KCS/KUA dan akan menerbitkan surat keterangan pelaporan.

Atas pencatatan perjanjian kawin yang dibuat sebelum perkawinan, syaratnya cukup melampirkan identitas dan salinan perjanjian kawin yang telah dilegalisir. Bila perjanjian kawin dibuat selama perkawinan, maka syaratnya ditambah dengan melampirkan asli dari Buku Nikah suami-istri atau Akta Perkawinannya, baik yang dilakukan di indonesia maupun di luar negeri. Demikian juga dengan syarat untuk perubahan atau pencabutan perjanjian kawin. Nantinya, pada Buku Nikah atau kutipan akta perkawinan akan ditambahkan keterangan atau catatan status perkawinan bahwa atas perkawinan tersebut telah dicatatkan perjanjian kawin berdasarkan akta notaris yang dibuat para pihak.

Hal lain yang menjadi masalah dan sering ditemui di lapangan adalah adanya perjanjian kawin yang tidak dicatatkan, baik pada KUA maupun KCS. Hal ini tentu membawa konsekuensi bahwa atas perjanjian kawin yang dibuat tersebut tidak berlaku terhadap pihak ketiga, kecuali dapat ditempuh upaya hukum berupa permohonan kepada hakim untuk mengesahkan perjanjian kawin tersebut dan memerintahkan kantor pencatat perkawinan untuk mencatatkannya sebagai bentuk pemenuhan asas publisitas.

Thursday, September 7, 2017

Pengurusan Perizinan Suatu Perusahaan (Perseroan Terbatas)

Setelah perusahaan berdiri atau terbentuk dan sebelum menjalankan usahanya, perusahaan terlebih dahulu mengurus segala perizinan yang diperlukan agar usahanya berjalan legal sesuai dengan maksud dan tujuan perusahaan berdiri.

Bila perusahaan merupakan usaha perorangan, legalitasnya memang tidak jauh berbeda dengan perusahaan perseroan berbadan hukum seperti Perseroan Terbatas (PT) atau non badan hukum seperti perseroan komanditer (CV). Perbedaannya, usaha perorangan tidak memerlukan akta pendirian badan usaha, layaknya seperti PT. Untuk PT, akta pendiriannya harus mendapat persetujuan dari Menteri Hukum dan HAM, sedangkan pengesahan CV cukup dilakukan dengan pendaftaran perseroan ke panitera pengadilan negeri setempat, sesuai domisili perseroan. 

Hal pertama yang perlu dilakukan untuk memperoleh perizinan perusahaan adalah pengurusan Surat Keterangan Domisili Usaha/Perusahaan yang menyatakan bahwa benar di alamat yang dimaksud merupakan tempat usaha/domisili perusahaan. Pengurusannya dapat diwakili oleh kuasa, yang biasanya dilimpahkan kepada Notaris yang membuatkan akta notarisnya. Bila lokasi usaha merupakan kawasan pemukiman, umumnya diperlukan surat persetujuan dari para tetangga yang menyatakan tidak keberatan atas usaha di lokasi tersebut. Dengan membawa surat pengantar dari ketua RT/RW, Kantor Kelurahan (atau Saklak PTSP Kelurahan) akan mengeluarkan Surat Keterangan Domisili Perusahaan (SKDP). Syarat-syarat untuk pembuatan surat keterangan ini, antara lain: KTP, KK, NPWP, bukti kepemilikan tanah/bangunan kantor/usaha, IMB, bukti pelunasan PBB tahun berjalan, akta pendirian perseroan diserta pengesahannya, perjanjian sewa-menyewa bila kantor bukan milik sendiri atau surat persetujuan dari pemilik bahwa tidak berkeberatan tempatnya dijadikan usaha/kantor, termasuk surat-surat pernyataan yang dipersyaratkan dari penanggung jawab perusahaan/direktur. Jangka waktu pengurusan tergantung kecepatan pelayanan, umumnya 3 hari SKDP selesai. 
  • Khusus untuk DKI, pengurusan SKDP pertama kali dilakukan secara manual melalui Saklak PTSP Kelurahan setempat yang kemudian akan mengeluarkan SKDP sementara (berlaku 1 bulan). SKDP Sementara selanjutnya dipergunakan untuk pengurusan NPWP. Apabila NPWP sudah diperoleh, maka pengurusan SKDP dilakukan secara online
Selanjutnya, berbekal SKDP, pengurusan dilanjutkan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat untuk pendaftaran badan usaha sebagai wajib pajak (Surat Keterangan Terdaftar) dan pembuatan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), sesuai dengan maksud dan tujuan perusahaan. Di sini, wajib pajak akan mendapat penjelasan sekilas mengenai hak dan kewajiban wajib pajak. Di sini, pengurusannya sebenarnya tak dapat diwakilkan kepada pihak diluar perusahaan. Proses pengurusan NPWP selesai pada hari yang sama, sedangkan asli kartu NPWP akan dikirimkan langsung ke alamat perusahaan.

Setelah memperoleh SDKP dan NPWP, seharusnya pengurus perusahaan sudah dapat membuat rekening bank. Namun, umumnya bank juga memintakan persyaratan berupa surat izin usaha dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP). Untuk PT, pembuatan rekening bank menjadi sangat penting mengingat perseroan harus segera menyetorkan modal yang disetorkan para pendiri ke rekening atas nama perusahaan. Nantinya, bukti penyetoran atas modal setor tersebut harus disampaikan kepada Kementerian Hukum dan HAM (secara online) dalam  waktu 60 hari setelah perusahaan mendapat pengesahan. Selain itu, untuk pengurusan Tanda Daftar Perusahaan (TDP), diperlukan nomor rekening bank atas nama perseroan.

Terakhir, setelah mendapat SDKP dan NPWP, prosesnya dilanjutkan dengan pengurusan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP). Untuk DKI, pengurusan SIUP dan TDP dapat dilakukan secara simultan (bersamaan) melalui PTSP sesuai besaran modal yang disetor. Bila usaha awal masuk kategori perusahaan skala kecil (modal setor dibawah Rp.200juta), maka pengurusan SIUP dan TDP dilakukan melalui PTSP tingkat kecamatan. Setiap perusahaan wajib melakukan pendaftaran bila menjalankan usaha untuk tujuan memperoleh keuntungan/laba yang bersifat tetap dan terus-menerus, termasuk berupa kantor cabang, kantor pembantu, anak perusahaan serta agen dan perwakilan dari perusahaan itu yang mempunyai wewenang untuk mengadakan perjanjian, dengan pengecualian terhadap perusahaan perorangan skala kecil. Instansi yang mengelola Daftar Perusahaan adalah kementerian perdagangan. Hal-hal apa saja yang harus dicatatkan ke dalam Daftar Perusahaan tersebut ditetapkan dalam UU Wajib Daftar Perusahaan (No.3 Tahun 1982).

Pertanyaannya, apakah perusahaan selalu harus mengurus SIUP? Bila perusahaan bergerak dalam bidang perdagangan (dalam pengertian umum) barang dan jasa umum, maka izinya berupa SIUP. Sebaliknya, bila barang dan jasa yang diperdagangkan bersifat tertentu (khusus), izinnya tidak berupa SIUP, melainkan sesuai dengan produk yang ditawarkan. Misalnya, untuk perusahaan yang bergerak dalam bidang-bidang jasa kepariwisataan, izinnya berupa Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP) sesuai dengan klasifikasi usahanya. Bila perusahaan bergerak dalam bidang kontruksi (kontraktor), izinnya berupa  Izin Usaha Jasa Konstruksi Kegiatan Usaha Jasa Pelaksana Konstruksi (Kontraktor), atau bila perusahaan merupakan perusahaan outsourcing (alih daya), izinnya berupa Izin Operasional Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh, yang kesemua pengurusannya juga kini melalui PTSP. Bidang-bidang usaha apa saja yang mendapat izin berupa SIUP, dapat dilihat di sini: Surat Keputusan Kepala Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi DKI No.90 Tahun 2016

Selanjutnya, apakah selain izin berupa SIUP, perusahaan dapat memperoleh izin lainnya secara bersamaan seperti SIUP dan TDUP? Bila persyaratan terpenuhi, perizinan tersebut dapat diperoleh secara bersamaan. Untuk memperoleh SIUP tidak ada persyaratan khusus yang diperlukan, umumnya cukup diberikan dalam bentuk surat-surat pernyataan. Selain itu, berdasarkan Permen DN No.19 Tahun 2017, peraturan tentang izin gangguan (HO) sudah dicabut (untuk Kota Bekasi, izin gangguan (HO) sudah dihentikan melalui PTSP). Hal ini tentu mempermudah dan mempercepat prosedur berusaha di Indonesia.

Terkait dengan penggunaan virtual office (kantor yang hanya untuk khusus domisili surat-menyurat), khusus untuk DKI, pengurusan izinnya hanya dapat dilakukan di PTSP Kecamatan dan terbatas untuk bidang-bidang perdagangan umum saja. Selain itu, jangka waktu SKDP, SIUP dan TDP untuk perusahaan dengan virtual office hanya berlaku selama 1 tahun. Ketentuannya dapat dilihat di sini.

Saturday, September 2, 2017

Ketentuan Kepemilikan Rumah/Unit Apartemen oleh Orang Asing (WNA)

Terbitnya Peraturan Pemerintah tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal/Hunian oleh Orang Asing (PP No.103 Tahun 2015) membawa perubahan yang signifikan terhadap ketentuan kepemilikan tanah bagi orang asing. Walaupun PP tersebut sebenarnya mengatur kepemilikan rumah tinggal atau unit apartemen, namun keberadaan bangunan tersebut pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tanahnya itu sendiri. Oleh karenanya, dalam peraturan pelaksanaannya (Pasal 2 ayat 1 Permen ATR No. 29 Tahun 2016) disebutkan bahwa pemberian, pelepasan, dan pengalihan hak atas pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian yang dimiliki oleh Orang Asing berdasarkan pada asas bahwa macam hak atas tanah yang dapat dipunyai oleh seseorang mengikuti status subyek hak atas tanahnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pengaturan kepemilikan properti oleh orang asing ini dimaksudkan agar dapat memberikan kepastian hukum (sehingga memberikan perlindungan hukum bagi pemegang haknya) serta mencegah agar tidak terjadi cara-cara kepemilikan rumah/hunian/sarusun yang tidak sesuai dengan sistem hukum administrasi pertanahan di Indonesia. Bukan lagi menjadi rahasia bahwa banyak transaksi 'penguasaan tanah' kepada orang asing (WNA) dilakukan tidak sesuai prosedur, misalnya melalui sewa-menyewa biasa dengan jangka waktu yang relatif lama dan transaksi tersebut tak didaftarkan pada instansi pertanahan. 

Walaupun demikian, ada sedikit perluasan yang diatur dalam Permen ATR No. 29 Tahun 2016 bila dibandingkan dengan PP No. 103 Tahun 2015. PP 103/2015 membatasi cara kepemilikan rumah hanya melalui jual-beli, itupun harus berupa rumah tempat tinggal atau hunian baru (tangan pertama). Sementara, Permen ATR 29/2016 memperluas lingkup cara kepemilikan rumah/sarusun tidak saja melalui jual-beli, melainkan juga melalui hibah, tukar-menukar, dan lelang, serta cara lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak atas tanah (sejatinya termasuk cara-cara terselubung untuk itu). Bahkan, obyek rumah/sarusun tersebut terbaca tidak harus berupa bangunan baru (boleh saja tangan kedua). Pembatasan minimum harga dan maksimal luas atas kepemilikan juga dilakukan dengan Permen ATR tersebut. 

Selain perluasan mengenai kepemilikan, tampaknya Permen ATR 29/2016 ingin menjadi lex specialis terhadap UU Pokok-Pokok Agraria (UU PPA) khususnya terkait akibat hukum atas kepemilikan tanah oleh orang asing di luar prosedur:

Pasal 6 Permen ATR 29/2016:
(1) Rumah tempat tinggal yang dimiliki oleh Orang Asing di atas tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan karena jual beli, hibah, tukar menukar, dan lelang, serta cara lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak atas tanah, maka tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan tersebut menjadi Tanah Negara yang langsung diberikan dengan perubahan menjadi Hak Pakai kepada Orang Asing yang bersangkutan.
(2) Sarusun yang dibangun di atas Hak Guna Bangunan atau Hak Pengelolaan yang dimiliki oleh Orang Asing karena jual beli, hibah, tukar menukar, dan lelang, serta cara lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak, maka Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun langsung diberikan dengan perubahan menjadi Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun kepada Orang Asing yang bersangkutan.

Sebelumnya, UU-PPA (Pasal 26 ayat 2) telah mengatur bahwa dalam hal terjadi jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, maka perbuatan hukum tersebut secara demi hukum batal dan tanahnya jatuh kepada Negara. Sementara, berdasarkan mekanisme peralihan hak menurut Permen ATR 29/2016, transaksi tersebut tidaklah batal, melainkan secara demi hukum hak atas tanah dimaksud berubah menjadi Hak Pakai atau Hak Pakai atas Sarusun. Selebihnya, hanya merupakan syarat administrasi.

Pasal 6 Permen ATR 29/2016:
(3) Pejabat Pembuat Akta Tanah membuat akta pemindahan hak, dan Pejabat Lelang membuat akta risalah lelang, atas Hak Milik atau Hak Guna Bangunan untuk rumah tempat tinggal dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Orang Asing. 

Selanjutnya, disebutkan dalam ayat 3 Pasal 6 tersebut bahwa cara peralihan hak atas rumah/sarusun dilakukan lewat PPAT. Selama ini, sebelum para pihak bertransaksi dihadapan PPAT, maka kewenangan bertindak pembeli (dalam hal ini orang asing) akan dilihat terlebih dahulu. Bila rumah berdiri diatas tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan, maka status tanah diturunkan atau diubah terlebih dahulu menjadi Hak Pakai. Demikian juga dengan Sarusun/unit apartemen yang akan dibeli, harus berdiri di atas tanah Hak Pakai agar dapat dimiliki oleh WNA. Kini, proses tersebut tak perlu dilakukan terlebih dahulu karena secara demi hukum nantinya setelah akta peralihan hak dibuat, status kepemilikan rumah/sarusun mengikuti Hak Pakai. Perubahan hak menjadi Hak Pakai dilakukan menyusul. Bahkan, Permen ATR menetapkan aturan yang fleksibel. Misalnya, ketika Hak Milik berubah menjadi Hak Pakai karena dimiliki orang asing, dan kemudian jatuh kembali ke tangan WNI, maka Hak Pakai tersebut dapat diubah kembali menjadi Hak Milik.

Akta Perjanjian Sewa Menyewa

Perjanjian sewa-menyewa merupakan salah satu perjanjian yang bersifat konsensual, dalam arti perjanjian tersebut sudah sah dan mengikat apabila tercapai kesepakatan mengenai barang yang disewa dan harga sewanya dalam suatu waktu tertentu. Unsur barang dan harga sewa untuk waktu tertentu merupakan dua hal pokok dalam perjanjian sewa-menyewa. 

Perjanjian sewa-menyewa juga merupakan perjanjian yang bersifat timbal balik, karena di satu sisi, pihak yang menyewakan berkewajiban menyerahkan kenikmatan suatu barang yang akan disewanya, di sisi lain, pihak yang menyewa berkewajiban membayar harga sewa. Masing-masing pihak memiliki prestasi terhadap yang lainnya. Adanya unsur harga sewa inilah yang membedakan perjanjian sewa-menyewa dengan perjanjian pinjam-pakai. Dalam suatu perjanjian pinjam pakai-pihak kedua menikmati barang secara cuma-cuma. Dalam bukunya Prof. Subekti, harga sewa tidak mutlak berupa uang sewa, melainkan dapat berupa penyerahan barang atau jasa.

Istilah sewa-menyewa oleh sebagian orang dianggap tidak tepat karena seolah-olah memiliki makna masing-masing pihak "saling menyewakan". Anggapan ini kurang tepat karena frase kata "sewa-menyewa" bukanlah pengertian (kata kerja) yang bersifat resiprokal (saling/berbalasan), melainkan menggambarkan adanya pihak yang menyewakan (sewa) dan yang menyewa.

Perjanjian sewa-menyewa bukanlah perjanjian untuk memindahkan hak milik atas barang sewa, sehingga tak selalu pihak yang menyewakan adalah pemiliknya langsung, melainkan dapat disewakan oleh pihak yang memiliki hak nikmat hasil.  

Pihak yang menyewakan berkewajiban untuk menyerahkan barang agar dapat dinikmati, memelihara barang tersebut agar dapat dinikmati sebagaimana mestinya dan menjamin ketentraman agar barang dapat dinikmati penyewa tanpa ada tuntutan dari pihak ketiga selama berlangsungnya sewa. Sementara, penyewa berkewajiban memakai barang sewa sebagaimana mestinya sesuai perjanjian dan membayar harga sewanya. Dalam sewa-menyewa juga dapat disepakati hak penyewa untuk menyewakan kembali (sewa-ulang)  atau melepaskan sewanya kepada orang lain.

Sewa-menyewa sangat lazim dalam kegiatan ekonomi. Bila barangnya berupa rumah/bangunan, maka istilah sewanya lazim disebut kontrak(-an). Bila barangnya berupa kendaraan, lazim sewanya disebut carter.

Selain sewa-menyewa rumah/bangunan, lazim juga terjadi sewa-menyewa tanah, baik berupa tanah pertanian maupun tanah non-pertanian. Untuk tanah pertanian, tujuan sewa-menyewa sepertinya sudah jelas, yaitu untuk kegiatan pertanian. Permasalahan muncul bila sewa-menyewa dilakukan atas tanah non-pertanian, yang dalam hal ini tanah kosong akan digunakan oleh pihak penyewa untuk mendirikan bangunan, sebagaimana "lazim" terjadi di daerah wisata Bali, bahkan penyewanya merupakan Warga Negara Asing (WNA) dengan masa sewa selama 20 tahun bahkan 40 tahun

Walaupun sistem hukum agraria kita menggunakan asas pemisahan horizontal dari Hukum Adat, yaitu dimungkinkan bahwa kepemilikan atas tanah dan atas bangunan oleh orang yang berbeda, apakah kepemilikan bangunan tersebut dapat diberikan atas dasar perjanjian sewa-menyewa biasa? Selain itu, apakah orang asing (WNA) dengan membuat perjanjian sewa-menyewa dapat begitu saja membangun di atas tanah tersebut dan menjadi pemilik bangunan? 

Hak sewa atas tanah merupakan salah satu hak individual yang bersifat sekunder, artinya hak tersebut berada diatas hak individual yang bersifat primer, seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Bangunan (HGB) atau Hak Pakai (HP). Hak-hak penguasan atas tanah yang bersifat sekunder walaupun beraspek perdata, namun pengaturannya beraspek publik, yang penguasaan tanahnya diatur oleh Negara. Ada serangkaian wewenang, kewajiban dan larangan yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah. Walaupun antara tanah dan bangunan boleh terpisah kepemilikannya (aspek perdata), namun peruntukannya (aspek publik) tetap harus mengikuti ketentuan undang-undang.

Prof. Boedi Harsono mengemukakan sebagai perbandingan 2 fungsi Hukum Tanah, yaitu pertama, the static function, yang mengatur hubungan hukum antara pemilik dan tanahnya, yaitu hak untuk menikmati tanahnya sendiri. Kedua, the dynamic function, yaitu pengawasan atas pemindahan dan penciptaan hak-hak atas tanah tersebut. Jelaslah bahwa menyangkut tanah, perjanjian yang dibuat secara bebas oleh para pihak haruslah memperhatikan norma-norma hukum tanah yang berlaku.

Kembali kepada hak sewa yang diberikan kepada pihak lain, terlebih kepada WNA. Hak Sewa merupakan salah satu hak atas tanah yang diakui oleh UU Pokok-Pokok Agraria (UU-PPA), yang lengkapnya disebut Hak Sewa untuk Bangunan. Artinya, bila sewa-menyewa dilakukan  atas lahan kosong haruslah untuk dibangun. Bila tidak, maka akan dianggap sebagai lahan pertanian, yang atas lahan tersebut harus diusahakan sendiri oleh pemilik tanah, bukan oleh orang lain. Hak sewa hanya diberikan untuk bangunan (Penjelasan Pasal 44 dan 45 UU Pokok-Pokok Agraria), pada hakekatnya merupakan hak pakai yang mempunyai sifat-sifat khusus. Disebut mempunyai sifat-sifat khusus berarti Hak Sewa tersebut tidak sama dengan Hak Pakai. Baik Hak Sewa untuk Bangunan maupun Hak Pakai dipergunakan untuk keperluan bangunan. Perbedaannya, pertama, Hak Sewa diberikan dengan pembayaran uang sewa, sedangkan Hak Pakai boleh secara cuma-cuma. Selain itu, dasar pemberian Hak Pakai diatas tanah Hak Milik bukan dilakukan dengan perjanjian sewa-menyewa (umumnya dibuat dihadapan notaris), melainkan karena menyangkut soal tanah, maka harus dibuat dihadapan pejabat yang ditunjuk untuk itu (PPAT?). Sebaliknya, karena bentuknya dipersamakan dengan Hak Pakai, maka dapatlah dianggap bahwa Hak Sewa untuk Bangunan hanya dapat diperoleh diatas tanah hak milik saja, tidak mungkin diatas tanah yang dikuasai negara (karena negara tidak dapat menyewakan tanah/bukan pemilik tanah).

Subyek pemegang Hak Sewa untuk Bangunan, disebutkan dalam Pasal 45 UU-PPA, adalah termasuk orang asing yang berkedudukan di Indonesia atau badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Dari sini, dapat ditarik kesimpulan bahwa WNA dapat memperoleh hak sewa atas tanah Hak Milik untuk dibangun. Pertanyaannya, apakah boleh dilakukan dengan perjanjian sewa-menyewa biasa yang dibuat dihadapan notaris? Hak sewa tanah kosong (baik oleh WNI maupun WNA) haruslah dianggap sebagai Hak Sewa untuk Bangunan. Ketentuan ini menegaskan bahwa lahan yang disewa harus dibangun dan pengaturannya akan dilakukan secara khusus, mengacu kepada suatu peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 50 UU-PPA bahwa Hak Sewa untuk Bangunan akan diatur lebih lanjut dalam peraturan perundangan-undangan. UU-PPA memandang perlu untuk diadakan ketentuan lanjutan (khusus) mengenai sewa-menyewa tanah untuk bangunan.

Permasalahannya, pengaturan pelaksanaan tersebut tampaknya belum ada sehingga terjadi keadaan 'seperti kekosongan hukum' dan menimbulkan interpretasi bahwa hak sewa 'masih dapat' dilakukan dengan perjanjian sewa-menyewa biasa berdasarkan KUHPerdata. Memang, Pasal 58 UU-PPA menyebutkan bahwa selama peraturan pelaksanaan UU-PPA belum terbentuk, peraturan yang ada masih tetap berlaku, namun sepanjang peraturan tersebut tidak bertentangan dengan semangat UU-PPA itu sendiri. Segala bentuk penguasaan tanah sejatinya harus didaftarkan pada instansi yang berwenang, tidak saja demi tertib administrasi pertanahan sebagaimana yang diamanatkan UU-PPA, melainkan juga untuk menjaga hak-hak yang timbul atas tanah tersebut sebagai bentuk perlindungan hukum, agar menjadi kuat dan dapat dipertahankan terhadap pihak ketiga.

Terkait dengan jangka waktu sewa, bagaimana bila jangka waktu sewa diperjanjikan sebagaimana diatas, bahkan sampai 40 tahun? Sebagaimana telah disebut, Hak Sewa merupakan Hak Pakai yang memiliki sifat-sifat khusus. Bila ketentuannya, misalnya terkait jangka waktu, diperjanjian sama atau bahkan melebihi jangka waktu yang diberikan terhadap Hak Pakai itu sendiri, maka Hak Sewa tersebut sama sekali tidak berbeda dengan Hak Pakai dan tidak sesuai dengan yang diatur oleh UU-PPA. Demikian juga apabila penyewanya merupakan WNA. Bila berdasarkan perjanjian sewa-menyewa tanah tersebut, WNA boleh 'menguasai' tanah (secara tidak langsung) dalam jangka waktu yang relatif lama, hal tersebut dapat dikategorikan sebagai penguasaan tanah (pemindahan hak milik) secara terselubung (tidak langsung) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 26  ayat 2 UU-PPA.
  • Pasal 26:
  • (2) Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga-negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.
Sampai saat ini, penguasaan tanah (kosong untuk dibangun) oleh orang asing hanyalah dimungkinkan di atas Hak Pakai dan untuk memperoleh hak penguasaan tanah tersebut tidaklah dapat diselundupkan melalui perjanjian sewa-menyewa. Berbeda halnya, apabila penguasaan tanah oleh orang asing dimaksudkan sebagai rumah tempat tinggal (termasuk unit apartemen). Dalam hal ini, WNA dapat membeli rumah tinggal/unit apartemen melalui cara jual-beli (AJB) yang dilakukan dihadapan PPAT berdasarkan PP Pemilikan Rumah Tempat Tinggal/Hunian oleh Orang Asing (PP No.103 Tahun 2015). Bisa juga rumah tersebut berstatus Hak Pakai di atas tanah Hak Milik, yang kepemilikannya dapat diperoleh dengan Akta Pemberian Hak Pakai atas Hak Milik yang juga dibuat dihadapan PPAT (Permen ATR No. 29 Tahun 2016).

Thursday, July 6, 2017

Penyampaian Dokumen Fisik atas Pengesahan Perseroan kepada Ditjen AHU (melalui PNRI)

Proses pendirian Perseroan Terbatas kini menjadi lebih mudah. Sebelum akta pendirian ditandatangani, Notaris atau pendiri perlu melakukan pemesanan nama perseroan secara online. Pemesanan diawali dengan pemesanan voucher biaya pesan nama secara online. Perintah setor kemudian dicetak untuk dibayarkan melalui Bank rekanan (BNI konvensional, bukan Syariah). Bisa melalui teller ataupun melalui ATM. Setelah dibayarkan, Notaris kembali membuka aplikasi AHU online  untuk melakukan pemesanan nama. Bila nama yang dipesan telah mendapat persetujuan dari Menteri, maka para pendiri dapat menandatangani akta pendirian perseroan dihadapan Notaris.
  • Dalam satu kasus, walaupun nama yang dipesan telah disetujui, Notaris kemudian menerima surat pembatalan atas penggunaan nama tersebut. Jadi, pemesanan nama harus benar-benar diperhatikan agar terhindar dari pembatalan ketika akta pendirian sudah ditandatangani.  
Setelah akta pendirian ditandatangani, kembali Notaris untuk pengesahannya harus memesan voucher pengesahan terlebih dahulu sebagaimana pada saat memesan nama. Biayanya (PNBP) tergantung dari nilai modal dasar perseroan. Pilihan juga tersedia untuk membayarkan sekaligus biaya pesan nama dan biaya pengesahan.

Setelah biayanya dibayarkan melalui Bank rekanan, Notaris kemudian mengajukan proses pengesahan badan hukum secara online. Data-data perseroan diisi lengkap sesuai dengan akta pendirian. Bila sudah sesuai, salinan akta pendirian harus di-upload terlebih dahulu sebelum pengesahan Menteri diberikan. Untuk upload bukti setor modal berupa slip setor bank atau asli pernyataan setor dari pendiri, pihak Kementerian memberikan waktu selama 60 hari. Dalam aplikasi online masing-masing Notaris akan terlihat sisa jangka waktu dan tanggal batas terakhir untuk upload bukti setor. 

Terakhir, atas pendirian perseroan ini, Menteri akan melakukan pengumuman dalam Tambahan Berita Negara. Namun pengumuman tersebut, Notaris harus menyampaikan dokumen-dokumen kepada Perum Percetakan Negara (PNRI). Bagusnya, Notaris terlebih dahulu cukup mengirimkan dokumen-dokumen tersebut melalui email (b n t b n @ p n r i . c o . i d), yang terdiri atas:
1. Salinan akta dalam bentuk file WORD;
2. Copy salinan akta resmi bermeterai (PDF);
3. Perintah setor pesan nama dan slip bukti bayar;
4. Perintah setor pengesahan perseroan dan slip bukti bayar;
5. Perintah setor BN-TBN dan slip bukti bayar Bank;
6. Surat Pernyataan bermeterai dari Notaris yang menyatakan bahwa akta yang disampaikan sesuai aslinya yang bermeterai.

Atas email yang dikirimkan, tak lama akan mendapat balasan seperti ini:
"E-mail telah kami terima dan dokumen akan segera kami proses. Terimakasih"

Setelah pengiriman dokumen melalui e-mail, Notaris perlu melakukan pengiriman atau penyampaikan dokumen-dokumen fisiknya untuk keperluan pengarsipan. Untuk itu, Notaris cukup melampirkan dokumen-dokumen sebagai berikut: 
1. Asli surat pengantar penyampaian dokumen fisik (kop Notaris);
2. Salinan resmi (asli) bermeterai atas akta pendirian badan hukum (bukan fotokopi);
3. Copy Surat Keputusan Menteri atas pengesahan badan hukum;
4. Copy Surat Perintah Setor untuk pembayaran BN-TBN;
5. Asli slip bukti setor Bank atas pembayaran BN-TBN. 

Dokumen-dokumen tersebut dapat dikirim melalui pos ke Perum PNRI atau langsung diantar ke Kantor Pelayanan Perum PNRI di Jl. Percetakan Negara, Jakarta Pusat (Bagian Penerimaan Dokumen Fisik Ditjen AHU) mengingat PNRI menjadi pusat penyimpanan (gudang) Ditjen AHU.

Catatan:
Walaupun Perubahan Data Perseroan tidak memerlukan pengumuman di BN dan TBN, salinan Surat Pemberitahuan Perubahan Data Perseroan dan Salinan akta juga harus disampaikan kepada PNRI untuk pengarsipan.

Wednesday, June 28, 2017

Sekilas Mengenai Persekutuan Komanditer atau Perseroan Komanditer (CV)

Dalam mendirikan perusahaan atau badan usaha seringkali dipertanyakan apakah lebih baik mendirikan Perseroan Terbatas (PT) atau Perseroan Komanditer (CV). Dari sisi legalitasnya, pendirian sebuah PT harus mengikuti ketentuan Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas (UU No.40 Tahun 2007), sedangkan pendiran sebuah CV tidak memerlukan pengesahan pejabat (dalam hal ini, Menteri Hukum dan HAM) sebagaimana halnya sebuah PT.

Dasar hukum pendirian CV merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), Wetboek van Koophandel voor Indonesie. Pasal 19 KUHD menyebutkan bahwa Perseroan Komanditer terbentuk dengan cara meminjamkan uang. Jadi, unsurnya terdiri atas 1) Pesero (pesero pengurus, sekutu aktif, pesero komplementer) yang meminjam uang (satu orang atau lebih dengan tanggung jawab secara renteng) dan 2) Persero yang meminjamkan uang (pesero komanditer, sekutu pasif, sekutu pelepas uang, sekutu diam). 
  • Istilah Persero tidak baku, yang baku disebut Pesero.
  • Penggunaan istilah Perseroan dalam hal perseroan komanditer merujuk pada persekutuan andil (inbreng/pemasukan). Dalam PT, perseroan mengacu pada  persekutuan modal yang dibagi-bagi dalam bentuk saham. 
Umumnya, pendirian CV dilakukan dengan membuatkan Akta Pendirian Perseroan Komanditer yang dilanjutkan dengan pendaftaran pendirian perseroan tersebut pada Panitera Pengadilan Negeri (Raad van Justitie) setempat, sesuai lokasi domisili CV.

Walaupun demikian, keharusan pendirian perseroan dengan akta otentik (akta Notaris) berikut pendaftarannya hanya tegas disebutkan untuk pendirian Perseroan Firma (Pasal 22 KUHD), bukan Perseroan Komanditer (CV). Bahkan, pendirian perseroan yang dilakukan tanpa akta Notaris juga tidak bisa dipakai sebagai alasan untuk menyangkal keberadaan Perseroan terhadap pihak ketiga (Pasal 22 KUHD).

Selain itu, Pasal 28 KUHD menyebutkan bahwa setelah Perseroan didaftarkan, maka kutipan aktanya diumumkan melalui surat kabar yang setidaknya mencantumkan:
1. Nama, nama kecil, pekerjaan dan tempat tinggal para persero firma;
2. Pernyataan firmanya dengan menunjukkan apakah perseroan itu umum, ataukah terbatas pada suatu cabang khusus dari perusahaan tertentu, dan dalam hal terakhir, dengan menunjukkan cabang khusus itu;
3. Penunjukan para persero, yang tidak diperkenankan bertandatangan atas nama firma;
4. Saat mulai berlakunya perseroan dan saat berakhirnya;
5. Pada umumnya, bagian-bagian dari perjanjiannya yang harus dipakai untuk menentukan hak-hak pihak ketiga terhadap para persero.

Selama pendaftaran dan pengumuman belum dilakukan, maka Perseroan Firma itu terhadap pihak ketiga akan dianggap sebagai perseroan umum untuk segala urusan, dianggap didirikan untuk waktu yang tidak ditentukan dan dianggap tiada seorang persero pun yang dilarang melakukan hak untuk bertindak dan bertanda tangan untuk firma itu (Pasal 29 KUHD).

CV (Commanditaire Vennootschap) pada prinsipnya bukanlah suatu badan hukum (entitas hukum, subyek hukum) yang memiliki hak dan kewajiban sendiri, terpisah dari hak dan kewajiban pengurus maupun pendirinya. Disebut badan hukum kalau badan/entitas hukum tersebut dapat memikul hak dan kewajiban sendiri, terpisah dari hak dan kewajiban pendiri/pengurusnya. Walaupun demikian, hak dan kewajiban yang dapat dipikul oleh badan hukum tentu tidak seperti hak dan kewajiban orang-perseorangan (manusia),  lebih banyak meliputi persoalan kebendaan.

Pengertian badan hukum itu sendiri tidak sama dengan pengertian badan usaha. Badan hukum memiliki pengertian yang bersifat umum/luas, sedangkankan badan usaha bersifat khusus. Tidak semua badan usaha itu berbadan hukum, dan tidak selalu badan hukum merupakan badan usaha. Ada badan hukum yang bukan merupakan badan usaha, sebagai contoh Yayasan.

Mengingat CV bukanlah subyek/badan hukum, maka tidak dapat dikategorikan sebagai "orang" (orang ciptaan hukum). Lantas, kalau bukan subyek hukum apakah hakekat dari sebuah CV? Menurut KUHD, Perseroan Komanditer hanyalah salah satu jenis perseroan/persekutuan, karena selain perseroan komanditer, ada juga yang disebut perseroan firma. Baik jenis Firma maupun Komanditer sama-sama merupakan bentuk Persekutuan/Perseroan Perdata. Artinya, Firma merupakan persekutuan perdata dengan menggunakan nama bersama (Pasal 16 KUHD), dimana para mitra Firma bertanggung jawab secara tanggung renteng sampai kepada harta pribadi, sedangkan Komanditer merupakan persekutuan perdata, dimana salah satu pihak atau lebih merupakan sekutu pelepas uang (kewajibannya hanya sebatas meminjamkan uang, tidak ikut melakukan pengurusan). Sekutu Komanditer tidak ikut memikul kerugian lebih dari uang yang dipinjamkan sehingga disebut juga sebagai persekutuan dengan tanggung jawab terbatas (limited partnership). Oleh karena merupakan bagian suatu persekutuan perdata, maka ketentuan-ketentuan umum mengenai persekutuan perdata juga berlaku terhadap perseroan jenis Firma dan Komanditer (Pasal 1618 dst. KUH Perdata).
  • Perseroan Firma dan Komanditer adalah jenis-jenis Perseroan Perdata. Pasal 1618 KUH Perdata menyebutkan bahwa Perseroan Perdata adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih, yang berjanji untuk memasukkan sesuatu ke dalam perseroan itu dengan maksud supaya keuntungan yang diperoleh dari perseroan itu dibagi di antara mereka.
Oleh karena perseroan-perseroan ini hanyalah merupakan persekutuan orang-perorangan, maka dapat saja terjadi bahwa dalam suatu Perseroan dapat sekaligus berwujud perseroan firma terhadap pesero-pesero firma di dalamnya dan perseroan komanditer terhadap pemberi pinjaman uang (Pasal 19 KUHD). Bila dalam suatu Perseroan Komanditer terdapat beberapa pesero komplementer sekaligus, maka diantara para pesero Komplementer ini berlangsung suatu perseroan Firma, sedangkan terhadap sekutu pelepas uang berlangsung suatu perseroan Komanditer.

Selama ini, pemberian nama Perseroan Komanditer jarang ditemui mengikuti nama pengurusnya dan bahkan umumnya diberikan nama yang tidak ada hubungan dengan nama pengurusnya (pesero komplementernya). Dalam kasus Perseroan Komanditer hanya terdiri atas satu orang pesero Komplementer (satu pengurus) dan satu atau lebih pesero Komanditer, maka tentu saja nama yang digunakan bukanlah nama bersama, karena hanya ada satu nama (nama pesero pengurus), sedangkan nama pesero Komanditer tidak boleh dipakai (Pasal 20 KUHD, "Dengan tidak mengurangi kekecualian yang terdapat dalam Pasal 30 alinea kedua, maka nama pesero Komanditer tidak boleh digunakan dalam Firma"). Bahkan, bila terdapat beberapa orang sekutu Komplementer, nama CV yang diberikan juga umumnya tak mencerminkan nama bersama(-sama). Nama CV lebih umum diberikan selayaknya sebuah badan hukum seperti PT, yang boleh memiliki nama tersendiri.

Bila kita perhatikan nama-nama suatu perseroan komanditer di masa lalu, maka kita akan paham bahwa yang dimaksud dengan nama bersama adalah nama-nama dari peseronya, misalnya seperti:  CV Mutsaers & Zoon - Tillburg*, CV Lens en BergsmaCV A.Milder & Co, atau CV Hillen & Co.

Thursday, June 8, 2017

Pemegang Saham Tidak Melakukan Penyetoran Modal

Perseroan Terbatas (Perseroan) merupakan suatu badan hukum yang terdiri atas kumpulan modal uang (yang dibagi-bagi dalam bentuk saham). Dari perspektif awam, Perseroan merupakan badan usaha yang bertujuan komersil, mencari keuntungan dari modal bersama. Artinya, ketika membentuk suatu Perseroan, modal (bernilai uang) ini menjadi unsur yang utamanya. Kumpulan modal ini kemudian dibagi-bagi dalam bentuk saham yang memiliki nilai nominal dengan total sebanyak modal yang ditetapkan dalam anggaran dasar. 

Pengertian modal dalam Perseroan terbagi menjadi 3, yaitu modal dasar (authorized capital), modal ditempatkan (issued capital) dan modal disetor (paid up capital). Prinsipnya, dari modal dasar tersebut, sebanyak 25% dari modal tersebut harus sudah disetor. Menariknya, muncul ketentuan baru terkait modal dasar. UU PT menentukan bahwa modal dasar Perseroan minimal adalah sebesar Rp.50juta. Namun, PP Perubahan Modal Dasar Perseroan (No.29 Tahun 2016) mengatur bahwa besaran modal dasar sesuai kesepakatan para pendiri (boleh dibawah Rp.50juta), dengan ketentuan bahwa syarat penyetoran sebanyak 25% dari modal tersebut tetap berlaku. Kini, modal ditempatkan (dan juga berarti saham yang telah dikeluarkan) keseluruhannya harus sudah disetorkan/dibayarkan nilainya kepada Perseroan (yang nantinya dipakai oleh Perseroan untuk menjalankan operasional usaha).  Hal ini berbeda dengan ketentuan sebelumnya, bahwa sebelum Perseroan mendapat pengesahan dari Menteri, modal ditempatkan boleh sebagian disetorkan terlebih dahulu. Sisanya disetorkan pada saat Pengesahan Menteri.

Namun, mekanisme pendirian Perseroan online saat ini memungkinkan suatu Perseroan yang telah berdiri tidak memiliki modal sama sekali, bahkan setelah Surat Pengesahan Menteri dikeluarkan. Penyebabnya, pemegang saham tidak atau sama sekali belum melakukan penyetoran saham secara riil sebagaimana yang telah disepakati. UU PT memberikan pengertian bahwa penyetoran modal harus dibuktikan dengan bukti setor yang sah, antara lain berupa bukti setoran pemegang saham ke dalam rekening bank atas nama Perseroan (slip setor rekening Bank), data dari laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan, atau neraca Perseroan yang ditandatangani oleh Direksi dan Dewan Komisaris. Jangka waktu penyetoran modal ini ditetapkan 60 hari setelah akta pendirian Perseroan ditandatangani. Bukti setor tersebut harus dikirim secara online kepada Kementerian. Bila tidak dilakukan, maka akses perubahan terhadap Perseroan dapat terblokir.

Terkait pendirian Perseroan, Kementerian menyerahkan sebagain besar tanggung jawab tersebut kepada Notaris yang melakukan permohonan pengesahan. Notaris hanya disyaratkan untuk memberikan pernyataan bahwa dokumen yang disyaratkan telah lengkap. Atas permohonan pengesahan Perseroan tersebut, setelah disetujui, maka Surat Pengesahan Menteri dapat dicetak sendiri oleh Notaris, dan diserahkan kepada Perseroan.

Lalu, bagaimana dengan kondisi dimana seluruh Pemegang Saham tidak melakukan penyetoran modal sampai batas waktu 60 hari tersebut lewat? Bila demikian, Perseroan tersebut dapat dianggap tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Perseroan karena keberadaan modal tersebutlah yang menjadi unsur terpenting dari suatu Perseroan. Problematis. Di satu sisi, Surat Pengesahan Menteri merupakan syarat untuk pengajuan izin-izin usaha, NPWP dan pembuatan rekening PT. Di sisi lain, setelah Pengesahan Menteri, Perseroan masih belum memiliki modal yang sebenarnya, padahal UU PT menentukan bahwa penyetoran harus dilakukan secara penuh ketika Perseroan telah disahkan.

Thursday, April 20, 2017

Nama Badan Hukum dalam Suatu Pendirian Perseroan Terbatas (PT)

Badan hukum Perseroan Terbatas (PT) merupakan subyek hukum yang timbul dari perjanjian dan harus disahkan oleh pemerintah berdasarkan undang-undang. Sebagai subyek hukum, maka badan hukum perseroan terbatas harus memiliki nama sebagai identitas, layaknya subyek hukum orang-perseorangan.

Prosedurnya, sebelum para pendiri membuat perjanjian pendirian perseroan terbatas secara notariil, maka nama badan hukum perseroan harus dipesan terlebih dahulu untuk mendapat persetujuan dari Menteri. Saat ini, prosesnya dilakukan secara online, yang dapat dilakukan oleh para pendiri maupun oleh Notaris. Biayanya pemesanan nama harus dibayarkan terlebih dahulu melalui Bank.

Bila nama telah disetujui oleh Menteri, maka nama perseroan diawali dengan singkatan "PT", dan untuk status perusahaan terbuka, maka diakhir nama perseroan diberi singkatan "Tbk", dengan catatan bahwa perseroan tersebut telah mendapat pernyataan pendaftaran dari lembaga pengawas pasar modal atau telah melakukan penawaran umum. Untuk kategori perseroan BUMN, maka nama perseroan ditambahkan dengan kata "Persero".

Dalam menentukan nama suatu perseroan terbatas (PT), para pendiri harus mengikuti ketentuan yang berlaku. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengajuan dan Pemakaian Nama Perseroan Terbatas, diatur bahwa nama perseroan terbatas haruslah ditulis dengan huruf latin dan nama tersebut belum pernah dipakai secara sah oleh perseroan lain atau tidak memiliki kemiripan dengan nama perseroan lain, tidak bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan atau tidak sama/mirip dengan nama lembaga negara, lembaga pemerintah, atau lembaga internasional, kecuali telah mendapat izin dari lembaga tersebut. 

Unsur kemiripan yang dimaksud adalah adanya unsur-unsur yang menonjol antara nama perseroan satu dengan yang lain yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan mengenai cara penulisan atau persamaan bunyi ucapan, walaupun pemiliknya adalah sama. Sebagai contoh PT BHAYANGKARA dengan PT BAYANGKARA, PT SAMPURNA dengan PT SAMPOERNA, PT BUMI PERTIWI dengan PT BUMI PRATIWI, PT HIGH-DESERT dengan PT HIGH DESERT, PT JAYA DAN MAKMUR dengan PT DJAJA & MAKMUR.

Nama perseroan juga tidak boleh terdiri atas angka/rangkaian angka, huruf atau rangkaian huruf yang tidak membentuk kata (misalnya "PT ABC", "PT 123"). Nama yang dipakai tidak boleh berupa kata atau memiliki pengertian "perseroan", "badan hukum", atau "persekutuan perdata". Dalam penjelasannya disebutkan sebagai contoh adalah: Ltd, Gmbh, SDN, Sdn, Bhd, PTE, Co., & Co., Inc., NV, atau BV, Usaha Dagang (UD), Koperasi Usaha Dagang (KUD), Incoporated, Associate, Association, SA, SARL, AG.

Nama perseroan juga tidak boleh hanya diambil dari maksud, tujuan serta kegiatan usaha (misalnya "PT Pemborongan dan Pengangkutan"), namun bila namanya diambil dari maksud, tujuan atau kegiatan usaha, maka namanya harus sesuai dengan maksud, tujuan serta kegiatan usaha tersebut, misalnya "PT Satu Pelayaran" bergerak dalam bidang pelayanan atau "PT Alat Konstruksi" bergerak dalam bidang konstruksi.

Dalam hal nama perseroan terbatas juga memiliki nama singkatan, maka nama singkatan harus berupa huruf-huruf awal dari nama perseroan atau merupakan akronim dari nama perseroan, misalnya PT KAI atau PT ASKES. Bila jenis perseroan bukan PMA, maka nama perseroan harus dalam bahasa Indonesia.

Setelah nama mendapat persetujuan Menteri, para pendiri menghadap kepada Notaris dan menandatangani Akta Pendirian Perseroan Terbatas. Penandantanganan akta harus dilakukan selambat-lambatnya 60 hari terhitung sejak tanggal persetujuan Menteri diberikan. Namun, pemakaian nama dapat diperpanjang dan prosesnya secara online dalam waktu H-7. Lebih dari jangka waktu itu, namanya dianggap batal demi hukum, tentu bila ingin digunakan harus diajukan kembali.

Notaris
Notaris

Tuesday, April 11, 2017

Gadai sebagai Jaminan Kredit

Gadai merupakan lembaga penjaminan yang tidak asing dan sampai sekarang masih kerap dilakukan dalam masyarakat. Walaupun demikian, masih ada pemahaman masyarakat yang belum terang tentang gadai ini. Istilah gadai seringkali diartikan penjaminan secara umum, termasuk untuk barang berupa tanah (gadai tanah). Saat ini, pusat-pusat gadai tersebar di berbagai tempat, yang umumnya menerima gadai barang berupa kendaraan, emas, atau barang elektronik.

Pemberian jaminan secara gadai adalah bentuk penjaminan yang sederhana dan mudah. Cukup dengan memberikan (menyerahkan/dioper) barang yang dijaminkan kepada penerima gadai. Syarat pemberian gadai adalah penyerahan (pelimpahan) penguasaan atas barang dimaksud kepada penerima gadai.

Dalam gadai, yang diserahkan adalah kekuasaan atas barang saja, bukan penyerahan hak miliknya (bukan penyerahan besit). Namun, bila penerima gadai sejak awal berniat memiliki barang gadai tersebut, maka dapat dikatakan bahwa besit tersebut diperoleh dengan itikad buruk. Bila barang gadai hilang, maka hak gadai juga hapus dengan sendirinya, kecuali barang tersebut akhirnya kembali ke tangan penerima gadai. Penerima gadai harus bertanggung jawab atas kerugian terhadap barang gadai sepanjang terjadi suatu kelalaian, namun terhadap penyelamatan barang gadai biayanya tetap menjadi beban pemberi gadai.

Penerima gadai tidak berhak untuk memiliki barang gadai karena walau dengan kesepakatan sekalipun, sebenarnya kesepakatan demikian tidak berlaku, mengingat pada prinsipnya penjaminan adalah perbuatan untuk menjamin pelunasan utang. Bila utang tidak dapat dibayar, barulah barang gadai dapat dijual untuk melunasi utang tersebut, sedangkan sisa penjualan harus diserahkan kepada pemberi gadai. Penerima gadai akan menerima pelunasan mendahului kreditur-kreditur lainnya, kecuali untuk biaya eksekusi gadai atau penyelamatan barang gadai.

Obyek gadai sebenarnya tak hanya barang bergerak yang berwujud, melainkan juga barang bergerak tak berwujud,seperti piutang/tagihan. Namun, terhadap piutang/tagihan, penjaminannya umumnya menggunakan jaminan fidusia. Berbeda dengan fidusia, jaminan gadai merupakan penyerahan kekuasaan atas barang (penyerahan barang itu sendiri), sedangkan fidusia merupakan penyerahan hak kepemilikannya saja, tanpa penyerahan barangnya.

Penjaminan gadai harus dapat dibuktikan sehingga harus dibuat perjanjian gadai secara tertulis, baik secara dibawah tangan maupun secara otentik dengan akta Notaris. Selain membuktikan perjanjian gadainya, juga harus dibuktikan perjanjian utang-piutangnya (perjanjian pokoknya) karena tanpa perjanjian utang-piutang (perjanjian pokoknya), maka gadai tidak sah.

Bila dibuatkan penjaminan gadai secara notariil, maka Notaris harus memperhatikan kewenangan bertindak penjamin (pemberi gadai) untuk menjaminkan suatu barang. Bila penjaminannya terikat dalam suatu perkawinan, maka diperlukan persetujuan pasangan kecuali terdapat suatu perjanjian kawin. Bila belum terikat dalam perkawinan, maka biasanya Notaris meminta pernyataan tertulis dari penjamin. Harusnya, pernyataan ini bukan dari penjamin, melainkan dari instansi yang berwenang. Bila surat pernyataannya hanya dibuat dibawah tangan, maka sebenarnya dapat langsung dinyatakan dalam akta Notaris tersebut.

Hal yang perlu diperhatikan dalam jaminan gadai adalah ada atau tidaknya barang itu sendiri. Bila barang belum ada, tentu gadai tidak dapat terjadi karena kekuasaan barang belum diserahkan.

Notaris
Notaris

Saturday, April 8, 2017

Fidusia Bangunan Sebagai Jaminan Kredit

Bangunan dan tanah pada prinsipnya merupakan satu kesatuan obyek karena bangunan melekat dengan tanahnya. Oleh karenanya, bangunan tidak terlepas dari persoalan tanah. Walaupun demikian, terdapat suatu pengecualian dengan berlakunya apa yang disebut asas pemisahan horizontal. Berdasarkan asas ini, kepemilikan tanah dan bangunan tidak selalu identik. Bangunan boleh dibangun diatas tanah milik orang lain. 

Lalu, apakah bangunan di atas lahan milik orang lain dapat dijadikan sebagai agunan atau jaminan kredit di Bank? Lantaran bangunan merupakan satu kesatuan dengan tanahnya, maka mekanisme penjaminannya biasanya mengikuti penjaminan tanahnya, yaitu penjaminan Hak Tanggungan. Namun, mengingat hanya bangunan saja yang akan dijaminkan dan bangunan tersebut bukan milik pemegang Hak atasTanahnya, maka bangunan tersebut tidak memenuhi syarat sebagai obyek Hak Tanggungan. Namun, menurut UU Jaminan Fidusia, maka penjaminannya dapat dilakukan secara fidusia.

Penjaminan bangunan secara fidusia dapat dilakukan apabila terdapat kepemilikan yang berbeda antara pemilik tanah dan pemilik bangunan. Walaupun demikian, mengingat bangunan tersebut berada di atas lahan milik orang lain, dan terkait eksekusinya nanti diperlukan campur tangan dari pemilik tanah, maka diperlukan persetujuan dari pemilik tanah atas penjaminan tersebut. Oleh karenanya, penjaminannya sangat tergantung pada ada tidaknya persetujuan dari pemilik tanah. Tanpa persetujuan dari pemilik tanah, walaupun bangunan merupakan milik sah dari pemberi fidusia, maka pemberian jaminannya tidak dapat dilakukan. Sebagaimana disebutkan, syarat penjaminan ini menjadi mutlak mengingat perbuatan penjaminan tersebut, mau tidak mau, harus melibatkan pemilik tanah. 

Persetujuan dari pemilik tanah merupakan konfirmasi dari pemilik tanah bahwa kelak tidak akan menuntut apabila timbul potensi kerugian terkait proses eksekusi yang dilakukan. Selain itu, syarat persetujuan ini juga diperlukan untuk menghindari adanya pelanggaran hak-hak pihak lain bila penjaminannya dilakukan. Sebagai contoh, apabila antara pemilik tanah dan pemilik bangunan ternyata terdapat suatu perjanjian bahwa kepemilikan bangunan kelak akan beralih kepada pemilik tanah. Bahkan, dalam suatu kasus, apabila bangunan tersebut dibangun di atas lahan milik (dikuasai) negara atau pemerintah, maka pada akhir masa pakai lahan tersebut, disepakati ketentuan bahwa segala sesuatu yang berdiri diatas lahan tersebut akan menjadi milik negara. Dengan demikian, bangunan seperti ini tidak mungkin dijaminkan secara fidusia.

Notaris

Wednesday, April 5, 2017

Saham sebagai Jaminan Kredit/Utang

Perseroan Terbatas atau PT merupakan badan hukum persekutuan modal yang terbagi dalam bentuk saham. Dari pengertian ini, dapat dimaknai bahwa wujud sebenarnya dari perseroan terbatas (PT) adalah saham. Perseroan dikendalikan dengan saham. Besaran saham para prinsipnya menjadi modal awal dari suatu perseroan terbatas. Pengertian ini merupakan karakteritik dari pemisahan harta kekayaan pendiri perseroan dengan harta kekayaan perseroan. Oleh karenanya, pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas kewajiban perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai
saham yang dimilikinya, walaupun dengan beberapa pengecualian.

Aturannya, penyetoran modal saham dapat dilakukan dalam bentuk uang atau dalam bentuk lainnya. Bila penyetorannya dalam bentuk lain, maka penilaian setoran modal saham tersebut berdasarkan nilai pasar atau nilai taksiran ahli yang tidak terafiliasi dengan perseroan. Selain itu, bila modal yang disetor berupa benda tidak bergerak (seperti tanah), maka penyetorannya harus diumumkan dalam surat kabar (koran) dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah akta pendirian atau setelah RUPS memutuskan penyetoran saham tersebut. Atas penyetoran saham berbentuk tanah, maka antara pemegang saham dan perseroan akan dilakukan penandatanganan Akta Pemasukan Dalam Perusahaan dihadapan PPAT untuk kemudian sertipikatnya didaftarkan atas nama perseroan tersebut.

Saham perseroan dikeluarkan atas nama pemilik saham (saham atas nama) sesuai dengan klasifikasinya. Besar nilanya harus dalam mata uang Rupiah. Pemilik saham diberi bukti pemilikan saham untuk saham yang dimilikinya (surat saham, sertifikat saham). Saham memberikan hak kepada pemilik atau pemegangnya antara lain untuk menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS, menerima pembayaran dividen dan sisa kekayaan hasil likuidasi dan menjalankan hak lainnya.

Saham dikategorikan sebagai benda bergerak (hak kebendaan) sehingga saham juga dapat dijadikan sebagai agunan kredit/pembiayaan Bank. Menurut UU Perseroan Terbatas, pemberian saham sebagai jaminan dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu saham sebagai jaminan fidusia dan saham sebagai jaminan gadai. Namun, umumnya, saham dijadikan jaminan secara gadai.

Penjaminan saham sebagai agunan/jaminan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. UU Perseroan Terbatas memberikan ruang bagi perseroan untuk mengatur detail penjaminannya dalam anggaran dasar perseroan. Ketentuan Pasal 60 UU Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa sepanjang anggaran dasar tidak menentukan lain, maka saham dapat dijadikan sebagai agunan. Bila saham dijaminkan, maka penjaminannya tersebut juga harus dicatatkan dalam daftar pemegang saham dengan tujuan agar perseroan atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengetahui status saham tersebut. Oleh karenanya, sebelum menjaminkan saham perseroan, harus dilihat juga prosedur yang diatur dalam anggaran dasar perseroan tersebut. Biasanya, ketika saham dijaminkan, maka pemilik saham juga memberikan kuasa kepada penerima jaminan untuk mewakili suara pemilik saham dalam RUPS, sehingga selain akta gadai/jaminan fidusia, pemilik saham dan penerima jaminan juga menandatangani akta pemberian kuasa. Selain itu, adapula yang mensyaratkan pemberian kuasa jual saham kepada penerima jaminan. Terkait pemberian kuasa kepada penerima jaminan, ketentuan Pasal 85 ayat (5) UU Perseroan Terbatas memberikan batasan efektiivitas kuasa yang diberikan. Bila pemegang saham hadir sendiri dalam RUPS, maka surat kuasa yang telah diberikan tidak berlaku untuk rapat tersebut.

Pemilik atau pemegang saham dalam perseroan dapat berupa orang pribadi ataupun badan hukum. Bila dimiliki oleh orang pribadi, tentu penjaminan saham harus melihat apakah diperlukan persetujuan dari pihak lain, misalnya suami/isteri bila sudah menikah atau terdapat perjanjian kawin. Demikian juga bila pemiliknya merupakan badan hukum (misalnya perseroan lain), penjaminannya harus dilakukan dengan mempertimbangkan ketentuan-ketentuan dalam anggaran dasar badan hukum tersebut. Bila diperlukan persetujuan dewan komisaris atau RUPS, maka penjaminan saham perseroan harus mendapat persetujuan organ perseroan terlebih dahulu.

Notaris

Friday, March 31, 2017

Pendirian Badan Hukum Yayasan

Yayasan merupakan badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. Dari pengertian ini, yayasan sebagai badan hukum merupakan lembaga yang fokus pada kegiatan tertentu dalam bidang sosial, keagamaan dan kemanusian. Kekayaan yang dipisahkan dari pendiri ini digunakan dan dikelola untuk mencapai tujuan yayasan. 

Para pendiri maupun pengurus tidak boleh mengambil keuntungan dari pengelolaan yayasan karena pada prinsipnya pekerjaan yang dilakukan bersifat sukarela. Walaupun demikian, yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk membantu tercapainya tujuan yayasan dengan cara mendirikan badan usaha. Cakupan kegiatan usaha dari badan usaha yayasan cukup luas, termasuk hak asasi manusia, kesenian, olah raga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan, dan ilmu pengetahuan. Selain itu, yayasan juga diperkenankan ikut serta dalam suatu badan usaha menjadi pemegang saham, misalnya pemegang saham perseroan terbatas, dengan ketentuan bahwa saham yang disetor maksimal 25% dari kekayaan yayasan. 

Yayasan mempunyai organ yang terdiri atas Pembina, Pengurus, dan Pengawas. Masing-masing memiliki kewenangan yang berbeda. Tidak boleh ada rangkap jabatan dalam organ yayasan, termasuk juga dalam badan usaha yang didirikan yayasan. Walaupun demikinan, yayasan tidak boleh membagikan keuntungan usaha  kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas. Hanya saja, segala biaya yang dikeluarkan oleh Pembina, Pengurus, maupun Pengawas (organ Yayasan) dalam rangka menjalankan tugasnya harus diganti oleh yayasan. Kekayaan yayasan (berupa uang, barang, maupun kekayaan lain) tidak boleh dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung dalam bentuk apapun yang dapat dinilai dengan uang (gaji, upah, atau honorarium) kepada Pembina, Pengurus, Pengawas, kecuali kepada Pengurus yang bukan Pendiri dan tidak terafiliasi dengan Pendiri, Pembina dan Pengawas. Di sini, pengertian “terafiliasi” merujuk pada hubungan keluarga karena perkawinan atau keturunan sampai derajat ketiga, baik secara horizontal maupun vertikal.

Pendirian yayasan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan akta notaris atau dengan surat wasiat. Pendirian yayasan dengan surat wasiat dilakukan dengan Surat Wasiat Terbuka, artinya harus dilakukan dengan akta notaris juga. Surat wasiat tersebut dapat berisi anggaran dasar yang telah ditentukan ataupun sebagaimana yang akan dilaksanakan oleh penerima wasiat sesuai perintah dalam wasiat. 

Pendiri boleh satu orang (baik orang-perseorangan atau berbentuk badan hukum) dan untuk menandatangani akta pendirian notariil boleh dikuasakan. Bila berdasarkan surat wasiat, maka pendiriannya dilaksanakan oleh penerima wasiat (ataupun dapat dilakukan oleh ahli warisnya). Pengesahan pendirian yayasan wajib dimohonkan oleh pendiri atau kuasanya kepada Menteri Hukum dan HAM yang disampaikan melalui Notaris pembuat aktanya dalam waktu 10 hari setelah tanggal akta pendirian. Menteri Hukum dan HAM wajib menyampaikan penolakan atau persetujuan atas pengesahan yayasan dalam waktu 30 hari setelah permohonan diterima.

Namun, bila diperlukan pertimbangan dari instansi lain atas permohonan pengesahan tersebut, maka Menteri diberi waktu 7 hari setelah permohonan lengkap diterima untuk menyampaikan permintaan pertimbangan tersebut kepada instansi lain. Setelah pertimbangan diterima, dalam waktu 14 hari setelahnya, Menteri harus memberikan jawaban penolakan atau persetujuan. Sebaliknya bila jawaban pertimbangan tidak diterima, maka dalam waktu 30 hari setelah permintaan disampaikan kepada instansi tersebut, Menteri harus memberikan keputusan menolak atau menyetujui pengesahan yayasan.

Akta pendirian yayasan harus memuat Anggaran Dasar yang setidaknya meliputi :
a. Nama dan tempat kedudukan;
b. Maksud dan tujuan serta kegiatan untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut;
c. Jangka waktu pendirian;
d. Jumlah kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi pendiri dalam bentuk uang atau benda;
e. Cara memperoleh dan penggunaan kekayaan;
f. Tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas;
g. Hak dan kewajiban anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas;
h. Tata cara penyelenggaraan rapat organ Yayasan;
i. Ketentuan mengenai perubahan Anggaran Dasar;
j. Penggabungan dan pembubaran Yayasan; dan
k. Penggunaan kekayaan sisa likuidasi atau penyaluran kekayaan Yayasan setelah pembubaran. 

Nama yayasan harus diawali dengan kata "Yayasan". Bila kekayaan yayasan berasal dari wakaf, kata "wakaf" dapat ditambahkan setelah kata "Yayasan", dengan ketentuan bahwa Yayasan menjadi Nazhir, yaitu menjadi pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya (lihat UU Wakaf No.41 Tahun 2004). 

Kekayaan awal yayasan minimal Rp.10juta, namun bila terdapat pendiri yang merupakan warga negara asing (WNA), kekayaan awal yayasan minimal sebesar Rp.100juta. Bila kekayaan yang diserahkan tersebut bukan dalam bentuk uang, maka besarnnya senilai jumlah minimal tersebut. Pemisahan kekayaan awal Pendiri disertai dengan surat pernyataan dari pendiri mengenai keabsahan harta kekayaan tersebut bahwa kekayaan tersebut bukan merupakan hasil melawan hukum, misalnya, tindak pidana korupsi ataupun tindak pidana pencucian uang.

Bila yayasan didirikan oleh orang asing (WNA baik perseorangan maupun badan hukum asing), maka syarat dokumen yang harus dipernuhi adalah identitas paspor yang sah, surat pernyataan bahwa keabsahan kekayaan pendiri yang dipisahkan tersebut minimal senilai/sebesar Rp.100juta dan surat pernyataan pendiri bahwa kegiatan yayasan yang didirikan tidak merugikan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Salah satu anggota Pengurusnya harus dipegang oleh warga negara Indonesia (WNI).

Apabila anggota Pembina dan Pengawas yayasan berkewarganegaraan asing (WNA), maka diwajibkan memiliki KITAS (Kartu Izin Tinggal Sementara) dan izin kerja/melakukan kegiatan usaha jika bertempat tinggal di Indonesia. Bila tidak dipernuhi, maka anggota WNA tersebut tidak boleh tinggal di wilayah negara Republik Indonesia, kecuali merupakan pejabat korps diplomatik beserta keluarganya.

Akta pendirian Yayasan yang telah disahkan sebagai badan hukum (berikut dengan perubahan anggaran dasarnya) wajib diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Pengumuman tersebut dilakukan oleh Menteri dalam jangka waktu paling lambat 14 hari terhitung sejak tanggal pengesahan akta pendirian Yayasan (atau perubahan anggaran dasarnya). 

Bila badan hukum Yayasan belum disahkan, maka perbuatan-perbuatan atau tindakan hukum yang dilakukan oleh Pengurus (untuk dan atas nama Yayasan) menjadi tanggung jawab Pengurus tersebut secara tanggung renteng.