Thursday, September 7, 2017

Pengurusan Perizinan Suatu Perusahaan (Perseroan Terbatas)

Setelah perusahaan berdiri atau terbentuk dan sebelum menjalankan usahanya, perusahaan terlebih dahulu mengurus segala perizinan yang diperlukan agar usahanya berjalan legal sesuai dengan maksud dan tujuan perusahaan berdiri.

Bila perusahaan merupakan usaha perorangan, legalitasnya memang tidak jauh berbeda dengan perusahaan perseroan berbadan hukum seperti Perseroan Terbatas (PT) atau non badan hukum seperti perseroan komanditer (CV). Perbedaannya, usaha perorangan tidak memerlukan akta pendirian badan usaha, layaknya seperti PT. Untuk PT, akta pendiriannya harus mendapat persetujuan dari Menteri Hukum dan HAM, sedangkan pengesahan CV cukup dilakukan dengan pendaftaran perseroan ke panitera pengadilan negeri setempat, sesuai domisili perseroan. 

Hal pertama yang perlu dilakukan untuk memperoleh perizinan perusahaan adalah pengurusan Surat Keterangan Domisili Usaha/Perusahaan yang menyatakan bahwa benar di alamat yang dimaksud merupakan tempat usaha/domisili perusahaan. Pengurusannya dapat diwakili oleh kuasa, yang biasanya dilimpahkan kepada Notaris yang membuatkan akta notarisnya. Bila lokasi usaha merupakan kawasan pemukiman, umumnya diperlukan surat persetujuan dari para tetangga yang menyatakan tidak keberatan atas usaha di lokasi tersebut. Dengan membawa surat pengantar dari ketua RT/RW, Kantor Kelurahan (atau Saklak PTSP Kelurahan) akan mengeluarkan Surat Keterangan Domisili Perusahaan (SKDP). Syarat-syarat untuk pembuatan surat keterangan ini, antara lain: KTP, KK, NPWP, bukti kepemilikan tanah/bangunan kantor/usaha, IMB, bukti pelunasan PBB tahun berjalan, akta pendirian perseroan diserta pengesahannya, perjanjian sewa-menyewa bila kantor bukan milik sendiri atau surat persetujuan dari pemilik bahwa tidak berkeberatan tempatnya dijadikan usaha/kantor, termasuk surat-surat pernyataan yang dipersyaratkan dari penanggung jawab perusahaan/direktur. Jangka waktu pengurusan tergantung kecepatan pelayanan, umumnya 3 hari SKDP selesai. 
  • Khusus untuk DKI, pengurusan SKDP pertama kali dilakukan secara manual melalui Saklak PTSP Kelurahan setempat yang kemudian akan mengeluarkan SKDP sementara (berlaku 1 bulan). SKDP Sementara selanjutnya dipergunakan untuk pengurusan NPWP. Apabila NPWP sudah diperoleh, maka pengurusan SKDP dilakukan secara online
Selanjutnya, berbekal SKDP, pengurusan dilanjutkan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat untuk pendaftaran badan usaha sebagai wajib pajak (Surat Keterangan Terdaftar) dan pembuatan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), sesuai dengan maksud dan tujuan perusahaan. Di sini, wajib pajak akan mendapat penjelasan sekilas mengenai hak dan kewajiban wajib pajak. Di sini, pengurusannya sebenarnya tak dapat diwakilkan kepada pihak diluar perusahaan. Proses pengurusan NPWP selesai pada hari yang sama, sedangkan asli kartu NPWP akan dikirimkan langsung ke alamat perusahaan.

Setelah memperoleh SDKP dan NPWP, seharusnya pengurus perusahaan sudah dapat membuat rekening bank. Namun, umumnya bank juga memintakan persyaratan berupa surat izin usaha dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP). Untuk PT, pembuatan rekening bank menjadi sangat penting mengingat perseroan harus segera menyetorkan modal yang disetorkan para pendiri ke rekening atas nama perusahaan. Nantinya, bukti penyetoran atas modal setor tersebut harus disampaikan kepada Kementerian Hukum dan HAM (secara online) dalam  waktu 60 hari setelah perusahaan mendapat pengesahan. Selain itu, untuk pengurusan Tanda Daftar Perusahaan (TDP), diperlukan nomor rekening bank atas nama perseroan.

Terakhir, setelah mendapat SDKP dan NPWP, prosesnya dilanjutkan dengan pengurusan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP). Untuk DKI, pengurusan SIUP dan TDP dapat dilakukan secara simultan (bersamaan) melalui PTSP sesuai besaran modal yang disetor. Bila usaha awal masuk kategori perusahaan skala kecil (modal setor dibawah Rp.200juta), maka pengurusan SIUP dan TDP dilakukan melalui PTSP tingkat kecamatan. Setiap perusahaan wajib melakukan pendaftaran bila menjalankan usaha untuk tujuan memperoleh keuntungan/laba yang bersifat tetap dan terus-menerus, termasuk berupa kantor cabang, kantor pembantu, anak perusahaan serta agen dan perwakilan dari perusahaan itu yang mempunyai wewenang untuk mengadakan perjanjian, dengan pengecualian terhadap perusahaan perorangan skala kecil. Instansi yang mengelola Daftar Perusahaan adalah kementerian perdagangan. Hal-hal apa saja yang harus dicatatkan ke dalam Daftar Perusahaan tersebut ditetapkan dalam UU Wajib Daftar Perusahaan (No.3 Tahun 1982).

Pertanyaannya, apakah perusahaan selalu harus mengurus SIUP? Bila perusahaan bergerak dalam bidang perdagangan (dalam pengertian umum) barang dan jasa umum, maka izinya berupa SIUP. Sebaliknya, bila barang dan jasa yang diperdagangkan bersifat tertentu (khusus), izinnya tidak berupa SIUP, melainkan sesuai dengan produk yang ditawarkan. Misalnya, untuk perusahaan yang bergerak dalam bidang-bidang jasa kepariwisataan, izinnya berupa Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP) sesuai dengan klasifikasi usahanya. Bila perusahaan bergerak dalam bidang kontruksi (kontraktor), izinnya berupa  Izin Usaha Jasa Konstruksi Kegiatan Usaha Jasa Pelaksana Konstruksi (Kontraktor), atau bila perusahaan merupakan perusahaan outsourcing (alih daya), izinnya berupa Izin Operasional Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh, yang kesemua pengurusannya juga kini melalui PTSP. Bidang-bidang usaha apa saja yang mendapat izin berupa SIUP, dapat dilihat di sini: Surat Keputusan Kepala Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi DKI No.90 Tahun 2016

Selanjutnya, apakah selain izin berupa SIUP, perusahaan dapat memperoleh izin lainnya secara bersamaan seperti SIUP dan TDUP? Bila persyaratan terpenuhi, perizinan tersebut dapat diperoleh secara bersamaan. Untuk memperoleh SIUP tidak ada persyaratan khusus yang diperlukan, umumnya cukup diberikan dalam bentuk surat-surat pernyataan. Selain itu, berdasarkan Permen DN No.19 Tahun 2017, peraturan tentang izin gangguan (HO) sudah dicabut (untuk Kota Bekasi, izin gangguan (HO) sudah dihentikan melalui PTSP). Hal ini tentu mempermudah dan mempercepat prosedur berusaha di Indonesia.

Terkait dengan penggunaan virtual office (kantor yang hanya untuk khusus domisili surat-menyurat), khusus untuk DKI, pengurusan izinnya hanya dapat dilakukan di PTSP Kecamatan dan terbatas untuk bidang-bidang perdagangan umum saja. Selain itu, jangka waktu SKDP, SIUP dan TDP untuk perusahaan dengan virtual office hanya berlaku selama 1 tahun. Ketentuannya dapat dilihat di sini.

Saturday, September 2, 2017

Ketentuan Kepemilikan Rumah/Unit Apartemen oleh Orang Asing (WNA)

Terbitnya Peraturan Pemerintah tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal/Hunian oleh Orang Asing (PP No.103 Tahun 2015) membawa perubahan yang signifikan terhadap ketentuan kepemilikan tanah bagi orang asing. Walaupun PP tersebut sebenarnya mengatur kepemilikan rumah tinggal atau unit apartemen, namun keberadaan bangunan tersebut pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tanahnya itu sendiri. Oleh karenanya, dalam peraturan pelaksanaannya (Pasal 2 ayat 1 Permen ATR No. 29 Tahun 2016) disebutkan bahwa pemberian, pelepasan, dan pengalihan hak atas pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian yang dimiliki oleh Orang Asing berdasarkan pada asas bahwa macam hak atas tanah yang dapat dipunyai oleh seseorang mengikuti status subyek hak atas tanahnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pengaturan kepemilikan properti oleh orang asing ini dimaksudkan agar dapat memberikan kepastian hukum (sehingga memberikan perlindungan hukum bagi pemegang haknya) serta mencegah agar tidak terjadi cara-cara kepemilikan rumah/hunian/sarusun yang tidak sesuai dengan sistem hukum administrasi pertanahan di Indonesia. Bukan lagi menjadi rahasia bahwa banyak transaksi 'penguasaan tanah' kepada orang asing (WNA) dilakukan tidak sesuai prosedur, misalnya melalui sewa-menyewa biasa dengan jangka waktu yang relatif lama dan transaksi tersebut tak didaftarkan pada instansi pertanahan. 

Walaupun demikian, ada sedikit perluasan yang diatur dalam Permen ATR No. 29 Tahun 2016 bila dibandingkan dengan PP No. 103 Tahun 2015. PP 103/2015 membatasi cara kepemilikan rumah hanya melalui jual-beli, itupun harus berupa rumah tempat tinggal atau hunian baru (tangan pertama). Sementara, Permen ATR 29/2016 memperluas lingkup cara kepemilikan rumah/sarusun tidak saja melalui jual-beli, melainkan juga melalui hibah, tukar-menukar, dan lelang, serta cara lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak atas tanah (sejatinya termasuk cara-cara terselubung untuk itu). Bahkan, obyek rumah/sarusun tersebut terbaca tidak harus berupa bangunan baru (boleh saja tangan kedua). Pembatasan minimum harga dan maksimal luas atas kepemilikan juga dilakukan dengan Permen ATR tersebut. 

Selain perluasan mengenai kepemilikan, tampaknya Permen ATR 29/2016 ingin menjadi lex specialis terhadap UU Pokok-Pokok Agraria (UU PPA) khususnya terkait akibat hukum atas kepemilikan tanah oleh orang asing di luar prosedur:

Pasal 6 Permen ATR 29/2016:
(1) Rumah tempat tinggal yang dimiliki oleh Orang Asing di atas tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan karena jual beli, hibah, tukar menukar, dan lelang, serta cara lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak atas tanah, maka tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan tersebut menjadi Tanah Negara yang langsung diberikan dengan perubahan menjadi Hak Pakai kepada Orang Asing yang bersangkutan.
(2) Sarusun yang dibangun di atas Hak Guna Bangunan atau Hak Pengelolaan yang dimiliki oleh Orang Asing karena jual beli, hibah, tukar menukar, dan lelang, serta cara lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak, maka Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun langsung diberikan dengan perubahan menjadi Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun kepada Orang Asing yang bersangkutan.

Sebelumnya, UU-PPA (Pasal 26 ayat 2) telah mengatur bahwa dalam hal terjadi jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, maka perbuatan hukum tersebut secara demi hukum batal dan tanahnya jatuh kepada Negara. Sementara, berdasarkan mekanisme peralihan hak menurut Permen ATR 29/2016, transaksi tersebut tidaklah batal, melainkan secara demi hukum hak atas tanah dimaksud berubah menjadi Hak Pakai atau Hak Pakai atas Sarusun. Selebihnya, hanya merupakan syarat administrasi.

Pasal 6 Permen ATR 29/2016:
(3) Pejabat Pembuat Akta Tanah membuat akta pemindahan hak, dan Pejabat Lelang membuat akta risalah lelang, atas Hak Milik atau Hak Guna Bangunan untuk rumah tempat tinggal dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Orang Asing. 

Selanjutnya, disebutkan dalam ayat 3 Pasal 6 tersebut bahwa cara peralihan hak atas rumah/sarusun dilakukan lewat PPAT. Selama ini, sebelum para pihak bertransaksi dihadapan PPAT, maka kewenangan bertindak pembeli (dalam hal ini orang asing) akan dilihat terlebih dahulu. Bila rumah berdiri diatas tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan, maka status tanah diturunkan atau diubah terlebih dahulu menjadi Hak Pakai. Demikian juga dengan Sarusun/unit apartemen yang akan dibeli, harus berdiri di atas tanah Hak Pakai agar dapat dimiliki oleh WNA. Kini, proses tersebut tak perlu dilakukan terlebih dahulu karena secara demi hukum nantinya setelah akta peralihan hak dibuat, status kepemilikan rumah/sarusun mengikuti Hak Pakai. Perubahan hak menjadi Hak Pakai dilakukan menyusul. Bahkan, Permen ATR menetapkan aturan yang fleksibel. Misalnya, ketika Hak Milik berubah menjadi Hak Pakai karena dimiliki orang asing, dan kemudian jatuh kembali ke tangan WNI, maka Hak Pakai tersebut dapat diubah kembali menjadi Hak Milik.

Akta Perjanjian Sewa Menyewa

Perjanjian sewa-menyewa merupakan salah satu perjanjian yang bersifat konsensual, dalam arti perjanjian tersebut sudah sah dan mengikat apabila tercapai kesepakatan mengenai barang yang disewa dan harga sewanya dalam suatu waktu tertentu. Unsur barang dan harga sewa untuk waktu tertentu merupakan dua hal pokok dalam perjanjian sewa-menyewa. 

Perjanjian sewa-menyewa juga merupakan perjanjian yang bersifat timbal balik, karena di satu sisi, pihak yang menyewakan berkewajiban menyerahkan kenikmatan suatu barang yang akan disewanya, di sisi lain, pihak yang menyewa berkewajiban membayar harga sewa. Masing-masing pihak memiliki prestasi terhadap yang lainnya. Adanya unsur harga sewa inilah yang membedakan perjanjian sewa-menyewa dengan perjanjian pinjam-pakai. Dalam suatu perjanjian pinjam pakai-pihak kedua menikmati barang secara cuma-cuma. Dalam bukunya Prof. Subekti, harga sewa tidak mutlak berupa uang sewa, melainkan dapat berupa penyerahan barang atau jasa.

Istilah sewa-menyewa oleh sebagian orang dianggap tidak tepat karena seolah-olah memiliki makna masing-masing pihak "saling menyewakan". Anggapan ini kurang tepat karena frase kata "sewa-menyewa" bukanlah pengertian (kata kerja) yang bersifat resiprokal (saling/berbalasan), melainkan menggambarkan adanya pihak yang menyewakan (sewa) dan yang menyewa.

Perjanjian sewa-menyewa bukanlah perjanjian untuk memindahkan hak milik atas barang sewa, sehingga tak selalu pihak yang menyewakan adalah pemiliknya langsung, melainkan dapat disewakan oleh pihak yang memiliki hak nikmat hasil.  

Pihak yang menyewakan berkewajiban untuk menyerahkan barang agar dapat dinikmati, memelihara barang tersebut agar dapat dinikmati sebagaimana mestinya dan menjamin ketentraman agar barang dapat dinikmati penyewa tanpa ada tuntutan dari pihak ketiga selama berlangsungnya sewa. Sementara, penyewa berkewajiban memakai barang sewa sebagaimana mestinya sesuai perjanjian dan membayar harga sewanya. Dalam sewa-menyewa juga dapat disepakati hak penyewa untuk menyewakan kembali (sewa-ulang)  atau melepaskan sewanya kepada orang lain.

Sewa-menyewa sangat lazim dalam kegiatan ekonomi. Bila barangnya berupa rumah/bangunan, maka istilah sewanya lazim disebut kontrak(-an). Bila barangnya berupa kendaraan, lazim sewanya disebut carter.

Selain sewa-menyewa rumah/bangunan, lazim juga terjadi sewa-menyewa tanah, baik berupa tanah pertanian maupun tanah non-pertanian. Untuk tanah pertanian, tujuan sewa-menyewa sepertinya sudah jelas, yaitu untuk kegiatan pertanian. Permasalahan muncul bila sewa-menyewa dilakukan atas tanah non-pertanian, yang dalam hal ini tanah kosong akan digunakan oleh pihak penyewa untuk mendirikan bangunan, sebagaimana "lazim" terjadi di daerah wisata Bali, bahkan penyewanya merupakan Warga Negara Asing (WNA) dengan masa sewa selama 20 tahun bahkan 40 tahun

Walaupun sistem hukum agraria kita menggunakan asas pemisahan horizontal dari Hukum Adat, yaitu dimungkinkan bahwa kepemilikan atas tanah dan atas bangunan oleh orang yang berbeda, apakah kepemilikan bangunan tersebut dapat diberikan atas dasar perjanjian sewa-menyewa biasa? Selain itu, apakah orang asing (WNA) dengan membuat perjanjian sewa-menyewa dapat begitu saja membangun di atas tanah tersebut dan menjadi pemilik bangunan? 

Hak sewa atas tanah merupakan salah satu hak individual yang bersifat sekunder, artinya hak tersebut berada diatas hak individual yang bersifat primer, seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Bangunan (HGB) atau Hak Pakai (HP). Hak-hak penguasan atas tanah yang bersifat sekunder walaupun beraspek perdata, namun pengaturannya beraspek publik, yang penguasaan tanahnya diatur oleh Negara. Ada serangkaian wewenang, kewajiban dan larangan yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah. Walaupun antara tanah dan bangunan boleh terpisah kepemilikannya (aspek perdata), namun peruntukannya (aspek publik) tetap harus mengikuti ketentuan undang-undang.

Prof. Boedi Harsono mengemukakan sebagai perbandingan 2 fungsi Hukum Tanah, yaitu pertama, the static function, yang mengatur hubungan hukum antara pemilik dan tanahnya, yaitu hak untuk menikmati tanahnya sendiri. Kedua, the dynamic function, yaitu pengawasan atas pemindahan dan penciptaan hak-hak atas tanah tersebut. Jelaslah bahwa menyangkut tanah, perjanjian yang dibuat secara bebas oleh para pihak haruslah memperhatikan norma-norma hukum tanah yang berlaku.

Kembali kepada hak sewa yang diberikan kepada pihak lain, terlebih kepada WNA. Hak Sewa merupakan salah satu hak atas tanah yang diakui oleh UU Pokok-Pokok Agraria (UU-PPA), yang lengkapnya disebut Hak Sewa untuk Bangunan. Artinya, bila sewa-menyewa dilakukan  atas lahan kosong haruslah untuk dibangun. Bila tidak, maka akan dianggap sebagai lahan pertanian, yang atas lahan tersebut harus diusahakan sendiri oleh pemilik tanah, bukan oleh orang lain. Hak sewa hanya diberikan untuk bangunan (Penjelasan Pasal 44 dan 45 UU Pokok-Pokok Agraria), pada hakekatnya merupakan hak pakai yang mempunyai sifat-sifat khusus. Disebut mempunyai sifat-sifat khusus berarti Hak Sewa tersebut tidak sama dengan Hak Pakai. Baik Hak Sewa untuk Bangunan maupun Hak Pakai dipergunakan untuk keperluan bangunan. Perbedaannya, pertama, Hak Sewa diberikan dengan pembayaran uang sewa, sedangkan Hak Pakai boleh secara cuma-cuma. Selain itu, dasar pemberian Hak Pakai diatas tanah Hak Milik bukan dilakukan dengan perjanjian sewa-menyewa (umumnya dibuat dihadapan notaris), melainkan karena menyangkut soal tanah, maka harus dibuat dihadapan pejabat yang ditunjuk untuk itu (PPAT?). Sebaliknya, karena bentuknya dipersamakan dengan Hak Pakai, maka dapatlah dianggap bahwa Hak Sewa untuk Bangunan hanya dapat diperoleh diatas tanah hak milik saja, tidak mungkin diatas tanah yang dikuasai negara (karena negara tidak dapat menyewakan tanah/bukan pemilik tanah).

Subyek pemegang Hak Sewa untuk Bangunan, disebutkan dalam Pasal 45 UU-PPA, adalah termasuk orang asing yang berkedudukan di Indonesia atau badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Dari sini, dapat ditarik kesimpulan bahwa WNA dapat memperoleh hak sewa atas tanah Hak Milik untuk dibangun. Pertanyaannya, apakah boleh dilakukan dengan perjanjian sewa-menyewa biasa yang dibuat dihadapan notaris? Hak sewa tanah kosong (baik oleh WNI maupun WNA) haruslah dianggap sebagai Hak Sewa untuk Bangunan. Ketentuan ini menegaskan bahwa lahan yang disewa harus dibangun dan pengaturannya akan dilakukan secara khusus, mengacu kepada suatu peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 50 UU-PPA bahwa Hak Sewa untuk Bangunan akan diatur lebih lanjut dalam peraturan perundangan-undangan. UU-PPA memandang perlu untuk diadakan ketentuan lanjutan (khusus) mengenai sewa-menyewa tanah untuk bangunan.

Permasalahannya, pengaturan pelaksanaan tersebut tampaknya belum ada sehingga terjadi keadaan 'seperti kekosongan hukum' dan menimbulkan interpretasi bahwa hak sewa 'masih dapat' dilakukan dengan perjanjian sewa-menyewa biasa berdasarkan KUHPerdata. Memang, Pasal 58 UU-PPA menyebutkan bahwa selama peraturan pelaksanaan UU-PPA belum terbentuk, peraturan yang ada masih tetap berlaku, namun sepanjang peraturan tersebut tidak bertentangan dengan semangat UU-PPA itu sendiri. Segala bentuk penguasaan tanah sejatinya harus didaftarkan pada instansi yang berwenang, tidak saja demi tertib administrasi pertanahan sebagaimana yang diamanatkan UU-PPA, melainkan juga untuk menjaga hak-hak yang timbul atas tanah tersebut sebagai bentuk perlindungan hukum, agar menjadi kuat dan dapat dipertahankan terhadap pihak ketiga.

Terkait dengan jangka waktu sewa, bagaimana bila jangka waktu sewa diperjanjikan sebagaimana diatas, bahkan sampai 40 tahun? Sebagaimana telah disebut, Hak Sewa merupakan Hak Pakai yang memiliki sifat-sifat khusus. Bila ketentuannya, misalnya terkait jangka waktu, diperjanjian sama atau bahkan melebihi jangka waktu yang diberikan terhadap Hak Pakai itu sendiri, maka Hak Sewa tersebut sama sekali tidak berbeda dengan Hak Pakai dan tidak sesuai dengan yang diatur oleh UU-PPA. Demikian juga apabila penyewanya merupakan WNA. Bila berdasarkan perjanjian sewa-menyewa tanah tersebut, WNA boleh 'menguasai' tanah (secara tidak langsung) dalam jangka waktu yang relatif lama, hal tersebut dapat dikategorikan sebagai penguasaan tanah (pemindahan hak milik) secara terselubung (tidak langsung) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 26  ayat 2 UU-PPA.
  • Pasal 26:
  • (2) Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga-negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.
Sampai saat ini, penguasaan tanah (kosong untuk dibangun) oleh orang asing hanyalah dimungkinkan di atas Hak Pakai dan untuk memperoleh hak penguasaan tanah tersebut tidaklah dapat diselundupkan melalui perjanjian sewa-menyewa. Berbeda halnya, apabila penguasaan tanah oleh orang asing dimaksudkan sebagai rumah tempat tinggal (termasuk unit apartemen). Dalam hal ini, WNA dapat membeli rumah tinggal/unit apartemen melalui cara jual-beli (AJB) yang dilakukan dihadapan PPAT berdasarkan PP Pemilikan Rumah Tempat Tinggal/Hunian oleh Orang Asing (PP No.103 Tahun 2015). Bisa juga rumah tersebut berstatus Hak Pakai di atas tanah Hak Milik, yang kepemilikannya dapat diperoleh dengan Akta Pemberian Hak Pakai atas Hak Milik yang juga dibuat dihadapan PPAT (Permen ATR No. 29 Tahun 2016).