Terbitnya Peraturan Pemerintah tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal/Hunian oleh Orang Asing (PP No.103 Tahun 2015) membawa perubahan yang signifikan terhadap ketentuan kepemilikan tanah bagi orang asing. Walaupun PP tersebut sebenarnya mengatur kepemilikan rumah tinggal atau unit apartemen, namun keberadaan bangunan tersebut pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tanahnya itu sendiri. Oleh karenanya, dalam peraturan pelaksanaannya (Pasal 2 ayat 1 Permen ATR No. 29 Tahun 2016) disebutkan bahwa pemberian, pelepasan, dan pengalihan hak atas pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian yang dimiliki oleh Orang Asing berdasarkan pada asas bahwa macam hak atas tanah yang dapat dipunyai oleh seseorang mengikuti status subyek hak atas tanahnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengaturan kepemilikan properti oleh orang asing ini dimaksudkan agar dapat memberikan kepastian hukum (sehingga memberikan perlindungan hukum bagi pemegang haknya) serta mencegah agar tidak terjadi cara-cara kepemilikan rumah/hunian/sarusun yang tidak sesuai dengan sistem hukum administrasi pertanahan di Indonesia. Bukan lagi menjadi rahasia bahwa banyak transaksi 'penguasaan tanah' kepada orang asing (WNA) dilakukan tidak sesuai prosedur, misalnya melalui sewa-menyewa biasa dengan jangka waktu yang relatif lama dan transaksi tersebut tak didaftarkan pada instansi pertanahan.
Walaupun demikian, ada sedikit perluasan yang diatur dalam Permen ATR No. 29 Tahun 2016 bila dibandingkan dengan PP No. 103 Tahun 2015. PP 103/2015 membatasi cara kepemilikan rumah hanya melalui jual-beli, itupun harus berupa rumah tempat tinggal atau hunian baru (tangan pertama). Sementara, Permen ATR 29/2016 memperluas lingkup cara kepemilikan rumah/sarusun tidak saja melalui jual-beli, melainkan juga melalui hibah, tukar-menukar, dan lelang, serta cara lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak atas tanah (sejatinya termasuk cara-cara terselubung untuk itu). Bahkan, obyek rumah/sarusun tersebut terbaca tidak harus berupa bangunan baru (boleh saja tangan kedua). Pembatasan minimum harga dan maksimal luas atas kepemilikan juga dilakukan dengan Permen ATR tersebut.
Selain perluasan mengenai kepemilikan, tampaknya Permen ATR 29/2016 ingin menjadi lex specialis terhadap UU Pokok-Pokok Agraria (UU PPA) khususnya terkait akibat hukum atas kepemilikan tanah oleh orang asing di luar prosedur:
Pasal 6 Permen ATR 29/2016:
(1) Rumah tempat tinggal yang dimiliki oleh Orang Asing di atas tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan karena jual beli, hibah, tukar menukar, dan lelang, serta cara lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak atas tanah, maka tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan tersebut menjadi Tanah Negara yang langsung diberikan dengan perubahan menjadi Hak Pakai kepada Orang Asing yang bersangkutan.
(2) Sarusun yang dibangun di atas Hak Guna Bangunan atau Hak Pengelolaan yang dimiliki oleh Orang Asing karena jual beli, hibah, tukar menukar, dan lelang, serta cara lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak, maka Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun langsung diberikan dengan perubahan menjadi Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun kepada Orang Asing yang bersangkutan.
Sebelumnya, UU-PPA (Pasal 26 ayat 2) telah mengatur bahwa dalam hal terjadi jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, maka perbuatan hukum tersebut secara demi hukum batal dan tanahnya jatuh kepada Negara. Sementara, berdasarkan mekanisme peralihan hak menurut Permen ATR 29/2016, transaksi tersebut tidaklah batal, melainkan secara demi hukum hak atas tanah dimaksud berubah menjadi Hak Pakai atau Hak Pakai atas Sarusun. Selebihnya, hanya merupakan syarat administrasi.
Pasal 6 Permen ATR 29/2016:
(3) Pejabat Pembuat Akta Tanah membuat akta pemindahan hak, dan Pejabat Lelang membuat akta risalah lelang, atas Hak Milik atau Hak Guna Bangunan untuk rumah tempat tinggal dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Orang Asing.
Selanjutnya, disebutkan dalam ayat 3 Pasal 6 tersebut bahwa cara peralihan hak atas rumah/sarusun dilakukan lewat PPAT. Selama ini, sebelum para pihak bertransaksi dihadapan PPAT, maka kewenangan bertindak pembeli (dalam hal ini orang asing) akan dilihat terlebih dahulu. Bila rumah berdiri diatas tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan, maka status tanah diturunkan atau diubah terlebih dahulu menjadi Hak Pakai. Demikian juga dengan Sarusun/unit apartemen yang akan dibeli, harus berdiri di atas tanah Hak Pakai agar dapat dimiliki oleh WNA. Kini, proses tersebut tak perlu dilakukan terlebih dahulu karena secara demi hukum nantinya setelah akta peralihan hak dibuat, status kepemilikan rumah/sarusun mengikuti Hak Pakai. Perubahan hak menjadi Hak Pakai dilakukan menyusul. Bahkan, Permen ATR menetapkan aturan yang fleksibel. Misalnya, ketika Hak Milik berubah menjadi Hak Pakai karena dimiliki orang asing, dan kemudian jatuh kembali ke tangan WNI, maka Hak Pakai tersebut dapat diubah kembali menjadi Hak Milik.
No comments:
Post a Comment