Dalam menjalankan jabatannya, Notaris terikat dengan ketentuan-ketentuan undang-undang agar akta-akta yang dibuatnya dapat memenuhi kategori akta autentik (istilah otentik tidak baku). Apabila salah satu kondisi tersebut tidak ditaati atau Notaris teledor terhadap ketentuan-ketentuan tersebut, maka akta notaris tersebut akan kehilangan sifat keautentikannya. Artinya, akta yang dibuat menjadi akta yang bersifat dibawah tangan saja. Bagi Notaris sendiri, kehilangan autentisitas akta juga dapat berujung pada gugatan perdata ataupun pelanggaran pidana, salah satunya terkait pemalsuan akta.
Setiap Notaris mendapat kewenangan (kekuasaan jabatan) untuk menjalankan jabatannya. Unsur pemberian kewenangan ini menjadi mutlak karena disinilah letak salah satu sifat keautentikan hasil pekerjaan Notaris. Oleh karenanya, Notaris diangkat oleh penguasa (pemerintah) sebagai pejabat umum berdasarkan Surat Keputusan Menteri (dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM). Kewenangan Notaris tersebut ada batas-batasnya.
Salah satu kondisi yang membuat Notaris berwenang dalam membuat akta adalah terkait wilayah jabatannya. Wilayah jabatan yang dimaksud adalah cakupan wilayah dimana Notaris berwenang bekerja untuk membuat akta autentik. Wilayah jabatan Notaris berdasarkan UU Jabatan Notaris (Pasal 18 ayat 2 UU No. 30 Tahun 2004 yang telah diubah dengan UU No. 2 Tahun 2014) meliputi wilayah provinsi dimana tempat kedudukan (domisili kantor) Notaris berada. Selama Notaris membuat akta di dalam wilayah jabatannya, maka akta notaris tersebut memiliki sifat autentik. Walaupun demikian, menurut Pasal 19 ayat 2 UU Jabatan Notaris, Notaris tidak berwenang menjalankan jabatan diluar tempat kedudukan (di luar kabupaten/kota penunjukan) secara berturut-turut dengan tetap. Bila disebut "tidak berwenang", maka konsekuensinya sangat serius bahwa jabatan Notaris tidak lagi melekat pada pejabatnya. Akan tetapi, UU Jabatan Notaris tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan "secara berturut-turut dengan tetap".
Khusus pembuatan akta-akta yang menyangkut badan hukum koperasi, yaitu akta pendirian, perubahan anggaran dasar atau terkait kegiatan koperasi lainnya, Notaris harus memiliki semacam "lisensi" tambahan sebagai Notaris Pembuat Akta Koperasi (NPAK). Berdasarkan Kepmenag Koperasi/UKM No:98/Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang Notaris sebagai Pembuat Akta Koperasi, wilayah jabatan Notaris Pembuat Akta Koperasi diatur sebagai berikut:
Pasal 9 KepMenag Koperasi & UKM No.98/2004:
(1) Pembuatan akta pendirian dan perubahan anggaran dasar koperasi untuk koperasi primer dan sekunder di tingkat Kabupaten/Kota, Propinsi maupun Nasional, adalah kewenangan Notaris sesuai dengan kedudukan Kantor koperasi tersebut berada.
(2) Khusus untuk koperasi yang berkedudukan di Daerah khusus Ibukota Jakarta, pembuatan akta pendirian dan perubahan anggaran dasar koperasi adalah kewenangan Notaris yang berkedudukan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Secara umum dikatakan bahwa wilayah jabatan NPAK mengikuti wilayah jabatan Notarisnya. Namun, bila kita membaca ketentuan Pasal 9 tersebut diatas, ada perbedaan dalam menentukan wilayah jabatan terhadap NPAK yang berkedudukan di DKI Jakarta dan di luar DKI Jakarta. Bila koperasi berkedudukan (dimana saja) di wilayah DKI Jakarta, maka Notaris yang berwenang membuat aktanya adalah setiap NPAK yang berkedudukan di DKI Jakarta. Berbeda dengan koperasi yang berada di luar DKI Jakarta. Untuk koperasi, baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi maupun nasional (berdasarkan cakupan wilayah domisili para anggotanya), maka Notaris yang berwenang membuat aktanya adalah disesuaikan dengan kedudukan Kantor koperasi tersebut. Pertanyaannya, apakah berarti bahwa kewenangan NPAK bersifat lokal sesuai kabupaten/kota dari domisili kantor koperasi atau boleh dibuat oleh Notaris (NPAK) yang berkedudukan di kabupaten/kota di luar domisili koperasi tersebut.
Terkait persyaratan untuk menjadi NPAK ini menjadi perdebatan tersendiri mengingat ketentuan tersebut menyimpangi UU Jabatan Notaris. Demikian juga dengan penunjukan Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pejabat Lelang, ataupun Notaris Pasar Modal. Peraturan terkait mensyaratkan Notaris harus mengikuti semacam pelatihan khusus dan kemudian diberikan Surat Keputusan tersendiri agar Notaris berwenang dalam membuat aktanya. Padahal, UU Jabatan Notaris (Pasal 16) telah memberikan kewenangan kepada Notaris untuk membuat akta autentik (apa saja), baik yang diminta para pihak maupun yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, termasuk untuk akta pertanahan dan akta risalah lelang.
Lain lagi halnya dengan wilayah jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Wilayah yang dimaksud adalah daerah kerja PPAT. Menurut PP 37 Tahun 1998 (Pasal 12 ayat 1), daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan kabupaten/kota. Artinya, PPAT hanya berwenang untuk membuat akta-akta pertanahan yang bidang-bidang tanahnya berada dalam daerah kerja kabupaten/kota. Namun, berdasarkan PP Perubahannya, yaitu PP No.24 Tahun 2016, daerah kerja PPAT diperluas menjadi satu wilayah provinsi (artinya mengikuti wilayah jabatan Notaris). Akan tetapi, daerah kerja satu provinsi ini masih belum terealisasi sampai sekarang.
Lain lagi halnya dengan wilayah jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Wilayah yang dimaksud adalah daerah kerja PPAT. Menurut PP 37 Tahun 1998 (Pasal 12 ayat 1), daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan kabupaten/kota. Artinya, PPAT hanya berwenang untuk membuat akta-akta pertanahan yang bidang-bidang tanahnya berada dalam daerah kerja kabupaten/kota. Namun, berdasarkan PP Perubahannya, yaitu PP No.24 Tahun 2016, daerah kerja PPAT diperluas menjadi satu wilayah provinsi (artinya mengikuti wilayah jabatan Notaris). Akan tetapi, daerah kerja satu provinsi ini masih belum terealisasi sampai sekarang.