Saturday, September 2, 2017

Akta Perjanjian Sewa Menyewa

Perjanjian sewa-menyewa merupakan salah satu perjanjian yang bersifat konsensual, dalam arti perjanjian tersebut sudah sah dan mengikat apabila tercapai kesepakatan mengenai barang yang disewa dan harga sewanya dalam suatu waktu tertentu. Unsur barang dan harga sewa untuk waktu tertentu merupakan dua hal pokok dalam perjanjian sewa-menyewa. 

Perjanjian sewa-menyewa juga merupakan perjanjian yang bersifat timbal balik, karena di satu sisi, pihak yang menyewakan berkewajiban menyerahkan kenikmatan suatu barang yang akan disewanya, di sisi lain, pihak yang menyewa berkewajiban membayar harga sewa. Masing-masing pihak memiliki prestasi terhadap yang lainnya. Adanya unsur harga sewa inilah yang membedakan perjanjian sewa-menyewa dengan perjanjian pinjam-pakai. Dalam suatu perjanjian pinjam pakai-pihak kedua menikmati barang secara cuma-cuma. Dalam bukunya Prof. Subekti, harga sewa tidak mutlak berupa uang sewa, melainkan dapat berupa penyerahan barang atau jasa.

Istilah sewa-menyewa oleh sebagian orang dianggap tidak tepat karena seolah-olah memiliki makna masing-masing pihak "saling menyewakan". Anggapan ini kurang tepat karena frase kata "sewa-menyewa" bukanlah pengertian (kata kerja) yang bersifat resiprokal (saling/berbalasan), melainkan menggambarkan adanya pihak yang menyewakan (sewa) dan yang menyewa.

Perjanjian sewa-menyewa bukanlah perjanjian untuk memindahkan hak milik atas barang sewa, sehingga tak selalu pihak yang menyewakan adalah pemiliknya langsung, melainkan dapat disewakan oleh pihak yang memiliki hak nikmat hasil.  

Pihak yang menyewakan berkewajiban untuk menyerahkan barang agar dapat dinikmati, memelihara barang tersebut agar dapat dinikmati sebagaimana mestinya dan menjamin ketentraman agar barang dapat dinikmati penyewa tanpa ada tuntutan dari pihak ketiga selama berlangsungnya sewa. Sementara, penyewa berkewajiban memakai barang sewa sebagaimana mestinya sesuai perjanjian dan membayar harga sewanya. Dalam sewa-menyewa juga dapat disepakati hak penyewa untuk menyewakan kembali (sewa-ulang)  atau melepaskan sewanya kepada orang lain.

Sewa-menyewa sangat lazim dalam kegiatan ekonomi. Bila barangnya berupa rumah/bangunan, maka istilah sewanya lazim disebut kontrak(-an). Bila barangnya berupa kendaraan, lazim sewanya disebut carter.

Selain sewa-menyewa rumah/bangunan, lazim juga terjadi sewa-menyewa tanah, baik berupa tanah pertanian maupun tanah non-pertanian. Untuk tanah pertanian, tujuan sewa-menyewa sepertinya sudah jelas, yaitu untuk kegiatan pertanian. Permasalahan muncul bila sewa-menyewa dilakukan atas tanah non-pertanian, yang dalam hal ini tanah kosong akan digunakan oleh pihak penyewa untuk mendirikan bangunan, sebagaimana "lazim" terjadi di daerah wisata Bali, bahkan penyewanya merupakan Warga Negara Asing (WNA) dengan masa sewa selama 20 tahun bahkan 40 tahun

Walaupun sistem hukum agraria kita menggunakan asas pemisahan horizontal dari Hukum Adat, yaitu dimungkinkan bahwa kepemilikan atas tanah dan atas bangunan oleh orang yang berbeda, apakah kepemilikan bangunan tersebut dapat diberikan atas dasar perjanjian sewa-menyewa biasa? Selain itu, apakah orang asing (WNA) dengan membuat perjanjian sewa-menyewa dapat begitu saja membangun di atas tanah tersebut dan menjadi pemilik bangunan? 

Hak sewa atas tanah merupakan salah satu hak individual yang bersifat sekunder, artinya hak tersebut berada diatas hak individual yang bersifat primer, seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Bangunan (HGB) atau Hak Pakai (HP). Hak-hak penguasan atas tanah yang bersifat sekunder walaupun beraspek perdata, namun pengaturannya beraspek publik, yang penguasaan tanahnya diatur oleh Negara. Ada serangkaian wewenang, kewajiban dan larangan yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah. Walaupun antara tanah dan bangunan boleh terpisah kepemilikannya (aspek perdata), namun peruntukannya (aspek publik) tetap harus mengikuti ketentuan undang-undang.

Prof. Boedi Harsono mengemukakan sebagai perbandingan 2 fungsi Hukum Tanah, yaitu pertama, the static function, yang mengatur hubungan hukum antara pemilik dan tanahnya, yaitu hak untuk menikmati tanahnya sendiri. Kedua, the dynamic function, yaitu pengawasan atas pemindahan dan penciptaan hak-hak atas tanah tersebut. Jelaslah bahwa menyangkut tanah, perjanjian yang dibuat secara bebas oleh para pihak haruslah memperhatikan norma-norma hukum tanah yang berlaku.

Kembali kepada hak sewa yang diberikan kepada pihak lain, terlebih kepada WNA. Hak Sewa merupakan salah satu hak atas tanah yang diakui oleh UU Pokok-Pokok Agraria (UU-PPA), yang lengkapnya disebut Hak Sewa untuk Bangunan. Artinya, bila sewa-menyewa dilakukan  atas lahan kosong haruslah untuk dibangun. Bila tidak, maka akan dianggap sebagai lahan pertanian, yang atas lahan tersebut harus diusahakan sendiri oleh pemilik tanah, bukan oleh orang lain. Hak sewa hanya diberikan untuk bangunan (Penjelasan Pasal 44 dan 45 UU Pokok-Pokok Agraria), pada hakekatnya merupakan hak pakai yang mempunyai sifat-sifat khusus. Disebut mempunyai sifat-sifat khusus berarti Hak Sewa tersebut tidak sama dengan Hak Pakai. Baik Hak Sewa untuk Bangunan maupun Hak Pakai dipergunakan untuk keperluan bangunan. Perbedaannya, pertama, Hak Sewa diberikan dengan pembayaran uang sewa, sedangkan Hak Pakai boleh secara cuma-cuma. Selain itu, dasar pemberian Hak Pakai diatas tanah Hak Milik bukan dilakukan dengan perjanjian sewa-menyewa (umumnya dibuat dihadapan notaris), melainkan karena menyangkut soal tanah, maka harus dibuat dihadapan pejabat yang ditunjuk untuk itu (PPAT?). Sebaliknya, karena bentuknya dipersamakan dengan Hak Pakai, maka dapatlah dianggap bahwa Hak Sewa untuk Bangunan hanya dapat diperoleh diatas tanah hak milik saja, tidak mungkin diatas tanah yang dikuasai negara (karena negara tidak dapat menyewakan tanah/bukan pemilik tanah).

Subyek pemegang Hak Sewa untuk Bangunan, disebutkan dalam Pasal 45 UU-PPA, adalah termasuk orang asing yang berkedudukan di Indonesia atau badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Dari sini, dapat ditarik kesimpulan bahwa WNA dapat memperoleh hak sewa atas tanah Hak Milik untuk dibangun. Pertanyaannya, apakah boleh dilakukan dengan perjanjian sewa-menyewa biasa yang dibuat dihadapan notaris? Hak sewa tanah kosong (baik oleh WNI maupun WNA) haruslah dianggap sebagai Hak Sewa untuk Bangunan. Ketentuan ini menegaskan bahwa lahan yang disewa harus dibangun dan pengaturannya akan dilakukan secara khusus, mengacu kepada suatu peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 50 UU-PPA bahwa Hak Sewa untuk Bangunan akan diatur lebih lanjut dalam peraturan perundangan-undangan. UU-PPA memandang perlu untuk diadakan ketentuan lanjutan (khusus) mengenai sewa-menyewa tanah untuk bangunan.

Permasalahannya, pengaturan pelaksanaan tersebut tampaknya belum ada sehingga terjadi keadaan 'seperti kekosongan hukum' dan menimbulkan interpretasi bahwa hak sewa 'masih dapat' dilakukan dengan perjanjian sewa-menyewa biasa berdasarkan KUHPerdata. Memang, Pasal 58 UU-PPA menyebutkan bahwa selama peraturan pelaksanaan UU-PPA belum terbentuk, peraturan yang ada masih tetap berlaku, namun sepanjang peraturan tersebut tidak bertentangan dengan semangat UU-PPA itu sendiri. Segala bentuk penguasaan tanah sejatinya harus didaftarkan pada instansi yang berwenang, tidak saja demi tertib administrasi pertanahan sebagaimana yang diamanatkan UU-PPA, melainkan juga untuk menjaga hak-hak yang timbul atas tanah tersebut sebagai bentuk perlindungan hukum, agar menjadi kuat dan dapat dipertahankan terhadap pihak ketiga.

Terkait dengan jangka waktu sewa, bagaimana bila jangka waktu sewa diperjanjikan sebagaimana diatas, bahkan sampai 40 tahun? Sebagaimana telah disebut, Hak Sewa merupakan Hak Pakai yang memiliki sifat-sifat khusus. Bila ketentuannya, misalnya terkait jangka waktu, diperjanjian sama atau bahkan melebihi jangka waktu yang diberikan terhadap Hak Pakai itu sendiri, maka Hak Sewa tersebut sama sekali tidak berbeda dengan Hak Pakai dan tidak sesuai dengan yang diatur oleh UU-PPA. Demikian juga apabila penyewanya merupakan WNA. Bila berdasarkan perjanjian sewa-menyewa tanah tersebut, WNA boleh 'menguasai' tanah (secara tidak langsung) dalam jangka waktu yang relatif lama, hal tersebut dapat dikategorikan sebagai penguasaan tanah (pemindahan hak milik) secara terselubung (tidak langsung) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 26  ayat 2 UU-PPA.
  • Pasal 26:
  • (2) Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga-negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.
Sampai saat ini, penguasaan tanah (kosong untuk dibangun) oleh orang asing hanyalah dimungkinkan di atas Hak Pakai dan untuk memperoleh hak penguasaan tanah tersebut tidaklah dapat diselundupkan melalui perjanjian sewa-menyewa. Berbeda halnya, apabila penguasaan tanah oleh orang asing dimaksudkan sebagai rumah tempat tinggal (termasuk unit apartemen). Dalam hal ini, WNA dapat membeli rumah tinggal/unit apartemen melalui cara jual-beli (AJB) yang dilakukan dihadapan PPAT berdasarkan PP Pemilikan Rumah Tempat Tinggal/Hunian oleh Orang Asing (PP No.103 Tahun 2015). Bisa juga rumah tersebut berstatus Hak Pakai di atas tanah Hak Milik, yang kepemilikannya dapat diperoleh dengan Akta Pemberian Hak Pakai atas Hak Milik yang juga dibuat dihadapan PPAT (Permen ATR No. 29 Tahun 2016).

No comments:

Post a Comment