Eksistensi suatu undang-undang dalam artian umum (yaitu peraturan perundang-undangan) berkaitan erat dengan kekuatan mengikat dari undang-undang itu sendiri. Suatu undang-undang tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan berdasarkan ketentuan undang-undang yang lebih tinggi. Biasanya, undang-undang yang turun kemudian akan merinci pengaturan berdasarkan kewenangan yang diberikan ataupun kewenangan yang dimiliki.
Oleh karenanya, agar dapat memiliki kekuatan yang mengikat, peraturan yang bersifat operasional pelaksanaan, haruslah tetap mengacu kepada peraturan yang lebih tinggi, sehingga tidak menyimpang atau bahkan tidak memiliki landasan hukum sama sekali.
Terkait dengan perubahan anggaran dasar sebuah Perseroan Terbatas (PT), hal tersebut telah tegas diatur dalam UU Perseroan Terbatas No.40 Tahun 2007 (UU PT), bahwa perubahan anggaran dasar, baik yang memerlukan persetujuan maupun pemberitahuan, harus diajukan paling lambat dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal akta notaris yang memuat perubahan anggaran dasar (AD) tersebut, demikian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 21 ayat (7) dan (8) UU PT:
Perubahan Anggaran Dasar
Pasal 21
(1) Perubahan anggaran dasar tertentu harus mendapat persetujuan Menteri.
(2) Perubahan anggaran dasar tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
- a. nama Perseroan dan/atau tempat kedudukan Perseroan;
- b. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan;
- c. jangka waktu berdirinya Perseroan;
- d. besarnya modal dasar;
- e. pengurangan modal
- f. ditempatkan dan disetor; dan/atau
- g. status Perseroan yang tertutup menjadi Perseroan Terbuka atau sebaliknya.
(3) Perubahan anggaran dasar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) cukup diberitahukan kepada Menteri.
(4) Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dimuat atau dinyatakan dalam akta notaris dalam bahasa Indonesia.
(5) Perubahan anggaran dasar yang tidak dimuat dalam akta berita acara rapat yang dibuat notaris harus dinyatakan dalam akta notaris paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal keputusan RUPS.
(6) Perubahan anggaran dasar tidak boleh dinyatakan dalam akta notaris setelah lewat batas waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada Menteri, paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal akta notaris yang memuat perubahan anggaran dasar.
(8) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) mutatis mutandis berlaku bagi pemberitahuan perubahan anggaran dasar kepada Menteri.
(9) Setelah lewat batas waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (6) permohonan persetujuan atau pemberitahuan perubahan anggaran dasar tidak dapat diajukan atau disampaikan kepada Menteri.
Jadi, berdasarkan ketentuan UU PT, berlaku sistem kedaluwarsa untuk pengajuan persetujuan dan pemberitahuan perubahan AD. Artinya, permohonan yang kedaluwarsa tidak dapat lagi diajukan atau disampaikan kepada Menteri. Selain itu, ditambahkan dalam penjelasannya, bahwa dalam hal permohonan tetap diajukan, maka Menteri wajib menolak permohonan atau pemberitahuan tersebut.
Lalu, bagaimana kewenangan Menteri tersebut diatur dalam Peraturan Menteri sebagai ketentuan yang melaksanakan perintah UU? Untuk itu, mari kita lihat bagaimana perjalanannya.
Pertama, menurut Permenkumham No.M.01-HT.01.10 TAHUN 2007 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar, Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan Data Perseroan (disingkat Permenkumham 2007). Di sini, pengaturan soal kedaluwarsa jangka waktu permohonannya (baik terkait persetujuan maupun pemberitahuan) tidak disebutkan secara tegas, melainkan berdasarkan penerapan asas mutatis-mutandis dengan ketentuan pendirian. Bila diperhatikan muncul suatu persoalan baru di sini. Walaupun tatacara pengajuan permohonan pendirian (pengesahan) dan perubahan tidak jauh berbeda, namun kedaluwarsa pengajuan keduanya merupakan perbedaan yang krusial.
Menurut UU PT, kedaluwarsa pengesahan pendirian adalah 60 (enampuluh) hari sejak tanggal akta notarisnya, sedangkan kedaluwarsa perubahannya adalah 30 (tigapuluh) hari. Persoalannya, Permenkumham 2007 tidak memberikan rujukan mengenai jangka waktu 30 hari tersebut dan hanya menyatakan bahwa ketentuan mengenai pengajuan pendirian juga berlaku secara mutatis-mutandis terhadap pengajuan persetujuan maupun pemberitahuan perubahan AD (ketentuan Pasal 10 dan Pasal 14 Permenkumham 2007). Padahal, yang berlaku secara mutatis-mutandis itu hanyalah tatacara (prosedur) pengajuannya saja (formal administrasi), bukanlah soal jangka waktu kedaluwarsanya. Ketentuan jangka waktu kedaluwarsanya tetap mengacu kepada ketentuan UU PT, yaitu 30 hari sejak tanggal akta notaris.
Menurut UU PT, kedaluwarsa pengesahan pendirian adalah 60 (enampuluh) hari sejak tanggal akta notarisnya, sedangkan kedaluwarsa perubahannya adalah 30 (tigapuluh) hari. Persoalannya, Permenkumham 2007 tidak memberikan rujukan mengenai jangka waktu 30 hari tersebut dan hanya menyatakan bahwa ketentuan mengenai pengajuan pendirian juga berlaku secara mutatis-mutandis terhadap pengajuan persetujuan maupun pemberitahuan perubahan AD (ketentuan Pasal 10 dan Pasal 14 Permenkumham 2007). Padahal, yang berlaku secara mutatis-mutandis itu hanyalah tatacara (prosedur) pengajuannya saja (formal administrasi), bukanlah soal jangka waktu kedaluwarsanya. Ketentuan jangka waktu kedaluwarsanya tetap mengacu kepada ketentuan UU PT, yaitu 30 hari sejak tanggal akta notaris.
Kedua, menurut Permenkumham No.M.HH-02.AH.01.01 TAHUN 2009 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum, Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar, Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan Data Perseroan (disingkat Permenkumham 2009) sebagai pengganti Permenkumham 2007. Di sini, pengaturan soal kedaluwarsa jangka waktu pengajuannya (baik terkait permohonan persetujuan maupun pemberitahuan) telah tegas dinyatakan, yaitu 30 (tigapuluh) hari sejak tanggal akta notaris. Hanya tata cara pengajuannya saja yang berlaku secara mutatis-mutandis dengan pengajuan pendirian.
Ketiga, menurut Permenkumham No.M.HH-01.AH.01.01 TAHUN 2011 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar serta Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan Data Perseroan (disingkat Permenkumham 2011) sebagai pengganti Permenkumham 2009. Di sini, substansi pengaturannya sama dengan Permenkumham 2009, yaitu 30 (tigapuluh) hari sejak tanggal akta notaris. Namun, ketentuan kedaluwarsanya hanya tegas dinyatakan untuk permohonan persetujuan perubahan saja, sedangkan untuk pemberitahuan perubahan berlaku secara mutatis-mutandis dengan pengajuan permohonan persetujuan perubahan AD tersebut.
Terakhir, menurut Permenkumham No.4 Tahun 2014, yang telah diubah dengan Permenkumham No.1 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar serta Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan Data Perseroan Terbatas (disingkat Permenkumham 2016) sebagai pengganti Permenkumham 2011. Pengaturan soal kedaluwarsa pengajuan pengesahan pendirian dan persetujuan perubahan kini jelas terpisah, yaitu 60 (enampuluh) hari untuk pendirian dan 30 (tigapuluh) hari untuk persetujuan perubahan AD terhitung sejak tanggal akta notaris. Namun, tidak ada ketentuan mengenai kedaluwarsa untuk pemberitahuan perubahan AD seperti sebelumnya.
Berlakunya Permenkumham 2016 dapat memberikan penafsiran hukum bahwa untuk pengajuan pemberitahuan perubahan AD saja, tidak berlaku jangka waktu kedaluwarsa sebagaimana yang telah ditetapkan oleh UU PT. Pertanyaannya, ketika peraturan pelaksana luput merinci pengaturan yang telah ditetapkan oleh suatu undang-undang, apakah ketentuan undang-undang tersebut bisa begitu saja dikesampingkan? Kalau dikaitkan dengan prinsip kekuatan mengikat undang-undang, maka peraturan pelaksana seperti itu dapat dikatakan tidak memiliki kekuatan yang mengikat dan tetap harus merujuk ketentuan yang lebih tinggi hirarkinya. Memang, Permenkumham 2016 juga tidak menutup kemungkinan tersebut (ketentuan Pasal 16 Permenkumham 2016 yang juga berlaku secara mutatis-mutandis terhadap pengajuan persetujuan dan pemberitahuan), karena pada akhirnya, Menteri berwenang untuk mencabut surat persetujuan maupun surat penerimaannya bila hal-hal yang diajukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
No comments:
Post a Comment