Monday, March 13, 2017

Perjanjian Kawin/Perjanjian Pranikah


Perjanjian kawin (pre-nuptial agreement) menurut The Law Dictionary adalah perjanjian yang dibuat oleh kedua mempelai sebelum perkawinan berlangsung yang mengatur pembagian harta ketika perkawinan putus (cerai). Perjanjian kawin menurut pengertian ini lebih mengatur persoalan harta bersama diakhir perkawinan. Sementara, menurut undang-undang kita, perjanjian kawin tidak saja terkait persoalan pembagian harta pada saat perceraian, melainkan juga bagaimana mengurus harta bersama selama pernikahan. 

Menurut ketentuan Pasal 147 KUH Perdata, perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris sebelum pernikahan berlangsung. Jika tidak demikian, sanksinya adalah secara demi hukum menjadi batal. Perjanjian tersebut berlaku sejak pernikahan dilangsungkan dan tidak boleh ditentukan pada saat lainnya. Setelah perkawinan berlangsung, perjanjian kawin tidak boleh diubah dengan cara apa pun. KUH Perdata menganut asas harta bersama, sebagaimana ketentuan Pasal 119 KUH Perdata, bahwa sejak dilangsungkannya perkawinan, maka terjadi harta bersama yang menyeluruh antarĂ  suami isteri. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami isteri. Harta bersama meliputi keseluruhan keuntungan dan utang/beban, baik yang telah diperoleh atau dibawa oleh masing-masing pihak, ataupun segala keuntungan (termasuk aset-aset bergerak/tak bergerak) dan utang/beban yang akan ada dikemudian hari. Kesimpulannya perjanjian kawin untuk meniadakan asas persatuan secara menyeluruh atas bersama.

Menurut ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974), Perjanjian kawin dapat dibuat pada waktu perkawinan berlangsung atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Kedua belah pihak cukup mengajukan perjanjian tertulis yang selanjutnya perjanjian tersebut disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Isi perjanjian kawin juga terhadap pihak ketiga yang tersangkut, dengan catatan bahwa perjanjian kawin tersebut tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan dan selanjutnya tidak dapat diubah, kecuali tidak merugikan pihak ketiga. Perjanjian kawin tidak diharuskan dengan akta notaris oleh UU Perkawinan. UU Perkawinan membedakan antara harta bersama dan harta bawaan. Ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan menyebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan disebut harta bersama, sedangkan harta bawaan adalah harta pribadi masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan. Perjanjian kawin dibuat untuk meniadakan harta bersama saja. Kesimpulannya, perjanjian kawin hanya untuk meniadakan asas persatuan atas harta bersama, sedangkan harta bawaan tetap menjadi hak pribadi pemiliknya.

Perkembangan terbarunya, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa perjanjian kawin juga dapat dibuat setelah perkawinan berlangsung. Berdasarkan Putusan MK No.69/PUU-XIII/2015, ketentuan tata cara pembuatan perjanjian kawin tidak hanya dapat dilakukan sebelum/pada saat perkawinan dilangsung (pre-nuptial), melainkan juga dapat dibuat setelah perkawinan berlangsung (post-nuptial). Putusan ini ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi agar mencegah hilangnya hak warga negara Indonesia yang melakukan perkawinan campuran dengan warga negara asing untuk dapat memiliki tanah (hak atas tanah) dan/atau bangunan yang dikecualikan bagi orang asing tanpa harus melepaskan kepemilikannya tersebut. Dengan putusan ini, maka pasangan perkawinan dapat membuat perjanjian kawin setelah perkawinan berlangsung.

Permasalahan terkait perjanjian kawin setelah perkawinan tersebut adalah bagaimana cara pendaftarannya, mengingat perjanjian kawin agar mengikat para pihak dan kepada pihak ketiga harus disahkan oleh pejabat yang melangsungkan perkawinan. Sementara, UU Perkawinan memberikan kewenangan kepada pejabat tersebut hanya pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Peraturan pelaksanaan mengenai perjanjian kawin setelah perkawinan ini belum ada.

2 comments:

  1. Bagaimana ilustrasi kasus perjanjian kawin merugikan pihak ke 3?
    Pihak ke 3 misalnya pemegang gadai?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mas Hazrul,
      Terima kasih atas kunjungannya. Mengenai perjanjian kawin yang merugikan pihak ke-3, dalam hal ini pemegang gadai, tentu harus dilihat kasus per kasus. Namun, secara umum, mengingat perjanjian kawin salah satu pada intinya adalah ingin melepaskan kewajiban bertanggung jawab oleh suami atau isteri terhadap pihak ketiga, maka bagi pemegang gadai dapat saja terjadi kerugian dalam hal ternyata barang gadai merupakan harta bersama karena perjanjian kawin tidak sah atau dikecualikan dalam perjanjian kawin, sehingga eksekusi atas barang gadai cacat hukum (krn pemberi gadai hanya salah satu pihak dari mereka) dan pemegang gadai tak mendapat pelunasan. Mungkin salah satu ilustrasi yang dimaksud seperti itu.

      Delete