Thursday, March 23, 2017

Akta Perjanjian Cross Collateral dan Cross Default

Perjanjian yang dibuat secara sah menurut hukum (dan tidak bertentangan dengan norma-norma kesusilaan dan ketertiban umum) merupakan undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya. Kekuatan berlakunya perjanjian juga sama seperti berlakunya undang-undang, dalam arti para pihak tidak begitu saja dapat menyangkal bahwa suatu perjanjian yang dibuat tidak mengikat salah satu pihak. Asas pacta sunt servanda menjadi landasan kepastian hukum bagi para pihak agar menaati kewajiban-kewajiban yang telah dituangkan dalam suatu perjanjian keperdataan.  

Di sisi lain, para pihak memiliki kebebasan (terbatas) dalam membuat perjanjian. Selama para pihak bersepakat dan ingin mengikatkan diri untuk melakukan sesuatu, memberikan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, maka perjanjian tersebut sah dan mengikat para pihak, yang tentunya harus dilandasi dengan asas itikad baik dengan batasan-batasan norma hukum, kesusilaan dan ketertiban umum tadi.

Dalam memberikan fasilitas pinjaman/kredit/pembiayaan kepada Nasabah/debitur, Bank umumnya mensyaratkan adanya barang agunan/jaminan. Ketika akta notaris terkait penjaminan telah ditandatangani oleh pemilik jaminan dan Bank, maka perihal penjaminan tersebut akan didaftarkan kepada instansi yang berwenang. Pendaftaran ini bukan sebagai pengesahan, melainkan untuk menimbulkan hak jaminan (hak prioritas/hak untuk didahulukan) tersebut. Tanpa pendaftaran tersebut, maka hak jaminan tidak akan timbul, tidak ada hak prioritas bagi Kreditur/Bank. Bila agunannya berupa tanah/bangunan (Hak Tanggungan), maka akan didaftarkan ke BPN setempat. Demikian juga bila agunannya berupa kapal atau pesawat, pendaftarannya dilakukan ke Dirjen Perhubungan Laut atau Udara, sedangkan agunan fidusia didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia. Untuk barang agunan berupa gadai (emas, dana deposito, rekening giro) umumnya hanya bersifat bawah tangan ataupun dapat dibuatkan dengan akta notaris, tergantung pada kebijakan masing-masing Bank.

Selama fasilitas kredit/pinjaman berjalan, tak jarang Nasabah/debitur mendapat tambahan fasilitas pinjaman/kredit dari Bank, mengingat fasilitas kredit pada dasarnya merupakan fasilitas kepercayaan Bank. Bila bonafiditas Nasabah/debitur tinggi, maka Bank akan senang hati untuk memberikan tambahan fasilitas. Namun, terkait agunan, Bank akan tetap mensyaratkan adanya barang agunan baru untuk menjamin fasilitas tambahan tersebut. Selain mensyaratkan adanya tambahan jaminan, maka Bank juga biasanya mensyaratkan agar semua barang agunan yang telah dijaminkan kepada Bank ikut menjadi jaminan atas fasilitas tambahan tersebut. Istilahnya, cross collateral dan umumnya agar ketentuan cross collateral (jaminan-silang, saling-menjamin) ini sempurna, maka diberlakukan juga syarat cross default (wanprestasi-silang, cedera janji-silang)  terhadap seluruh fasilitas.

Ketentuan cross collateral merupakan suatu kondisi perjanjian penjaminan, dimana barang-barang agunan yang sebelumnya telah dijaminkan untuk menjamin satu fasilitas pinjaman juga diikat sebagai jaminan untuk fasilitas pinjaman lainnya, sedangkan ketentuan cross default merupakan suatu kondisi perjanjian, dimana wanprestasi atau cedera janji atas suatu fasilitas pinjaman juga dianggap sebagai wanprestasi/cedera janji atas fasilitas pinjaman lainnya

Ketika Nasabah/debitur menerima fasilitas pinjaman tambahan dari Bank/kreditur, maka antara Nasabah dan Bank akan dilakukan penandatanganan perjanjian (akad) fasilitas tambahan beserta pengikatan/penambahan jaminan baru. Terkait dengan syarat cross collateral dan cross default tersebut, maka selain Nasabah dan Bank juga akan menandatangani perubahan atas akta perjanjian fasilitas yang sebelumnya (lama) dan perubahan atas akta-akta perjanjian penjaminan sebelumnya untuk menambahkan syarat ketentuan cross collateral dan cross default tersebut. Penambahan fasilitas pinjaman berarti penambahan nilai utang. Aturannya, penambahan/perubahan nilai utang tersebut juga harus didaftarkan kembali kepada instansi penjaminan yang berwenang.

Namun, proses perubahan atas perjanjian-perjanjian tersebut tak jarang menjadi masalah bagi para pihak, menjadi kendala baik dari sisi biaya maupun waktu. Untuk jaminan yang tak memerlukan pendaftaran, prosesnya boleh jadi mudah, karena cukup dengan mengubah perjanjian pokok dan penjaminannya saja. Berbeda halnya bila agunannya berupa Hak Tanggungan (tanah) atau Jaminan Fidusia (kendaraan, truk, alat berat, mesin-mesin) maupun Hipotik (kapal, pesawat). Untuk Hak Tanggungan atau Hipotik, biasanya akan dilakukan pengikatan peringkat selanjutnya (HT2, HT3, dst), sedangkan untuk Jaminan Fidusia akan dilakukan perubahan Jaminan Fidusia. 

Mengingat proses penyesuaian/perubahan atas legal-formal dokumen pembiayaan menjadi tak sederhana, biasanya pihak Bank dan debitur menempuh satu cara yang cepat, yaitu dengan hanya membuatkan Akta Perjanjian Cross Collateral dan Cross Default terkait dengan pemberlakukan syarat jaminan-silang dan wanprestasi-silang tersebut. Dalam akta perjanjian tersebut, para pihak sepakat untuk memberlakukan ketentuan cross collateral dan cross default untuk semua fasilitas pinjaman Nasabah di Bank. 

Pertanyaannya, apakah dengan pembuatan dan penandatanganan  Akta Perjanjian Cross Collateral dan Cross Default, maka agunan yang telah diserahkan kepada Bank otomatis berlaku untuk (seluruh) fasilitas pinjaman lainnya?

Pemberian barang agunan sebagai jaminan harus dilakukan terpisah dari perjanjian fasilitasnya (perjanjian pokok) dengan penandatanganan akta perjanjian penjaminan tersendiri (kecuali terkait jaminan fidusia untuk barang-barang yang akan ada dikemudian hari sebagaimana diatur dalam UU Jaminan Fidusia). Oleh karenanya, apabila para pihak tidak membuat dan tidak menandatangani akta perjanjian penjaminan tersendiri (misalnya, perubahan gadai, perubahan fidusia, penambahan peringkat HT atau Hipotik), maka Bank/kreditur sebagai penerima jaminan tak akan mendapat perlindungan hukum atas ketentuan cross collateral tersebut. Bank/kreditur tak akan mendapat hak prioritas (hak untuk didahului) dan sebagai gantinya Bank/kreditur hanya menyandang atau berstatus sebagai kreditur konkuren (sama derajatnya dengan kreditur lainnya). Apalagi, kalau akta perjanjian penjaminan tersebut tidak didaftarkan kepada instansi yang berwenang. Tidak ada hak prioritas atas barang agunan tersebut (Hak Tanggungan, Hipotik atau Jaminan Fidusianya belum lahir secara hukum).

Khusus agunan berupa Hak Tanggungan atau Hipotik, maka seharusnya atas jaminan tersebut tidak cukup dilakukan dengan penambahan peringkat, melainkan harus diikat kembali untuk seluruh jumlah fasilitas pinjaman (seluruh total utang). Oleh karenanya, bila Hak Tanggungan atau Hipotik sebelumnya sudah terpasang, maka harus dilakukan roya terlebih dahulu dan kemudian dilakukan kembali pemasangan Hak Tanggungan atau Hipotik untuk total utang seluruhnya. Bila proses ini tidak dilakukan, maka sebenarnya secara demi hukum nilai pertanggungannya terbatas hanya terkait pelunasan fasilitas pinjaman yang eksisting saja, tidak berlaku untuk fasilitas pinjaman yang baru. Ketentuan cross default di sini hanya akan menetapkan bahwa Nasabah/debitur wanprestasi atas seluruh fasilitas pinjaman, dan masing-masing agunan fasilitas pinjaman hanya dapat dieksekusi untuk pelunasan fasilitas yang mengikat/terdaftar saja.  

Walaupun para pihak telah setuju dan sepakat mengikatkan diri untuk memberlakukan ketentuan cross collateral dan cross default terhadap seluruh fasilitas pinjaman yang diterima oleh seorang Nasabah/debitur dari Bank, dan perjanjian tersebut merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, bukan berarti ketentuan tersebut otomatis berlaku. Undang-undang juga mensyaratkan bahwa atas perubahan terkait cross collateral tersebut harus dibuatkan dengan akta penjaminan tersendiri dan (bila diwajibkan) harus didaftarkan kepada instansi yang berwenang. Tanpa proses pendaftaran tersebut, maka hak prioritas atas jaminan belum lahir secara hukum.

No comments:

Post a Comment