Sunday, March 19, 2017

Perjanjian Kredit atau Akad Pembiayaan

Dengan terbitnya UU Perbankan (UU No.7 Tahun 1992 jo. UU No.10 Tahun 1998) dan UU Perbankan Syariah (UU No.21 Tahun 2008), sistem perbankan di Indonesia resmi menganut dua sistem, yang umum dikenal sebagai sistem konvensional dan sistem syariah. Walaupun dari lingkup pengaturannya, UU Perbankan Syariah merupakan pengaturan yang bersifat khusus. Produk-produk yang ditawarkan kedua sistem ini sebenarnya hampir sama, namun bentuk dan spesifikasinya berbeda karena prinsip yang tidak sama, walaupun pada akhirnya memiliki tujuan yang sama, yaitu demi pembangunan ekonomi nasional.

Salah satu produk perbankan adalah fasilitas/penyediaan pendanaan kepada nasabah bank. Perbankan konvensional menyebutnya sebagai "kredit", sedangkan Perbankan syariah menyebutnya "pembiayaan". Kredit merupakan penyediaan uang, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Sementara, Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. 

Berdasarkan kedua pengertian tersebut, perbedaan keduanya tampak mencolok. Kredit merupakan persetujuan (perjanjian) pinjam-meminjam dengan pembayaran bunga, sedangkan pembiayaan merupakan persetujuan pembiayaan dengan pembayaran imbalan atau bagi hasil. Bila kredit semata-mata berupa peminjaman uang (untuk keperluan tertentu), pembiayaan syariah merupakan bentuk transaksi pembiayaannya, apakah berupa transaksi jual beli (misalnya mudharabah), transaksi pemberian modal dengan bagi hasil (misalnya musyarakah, mudharabah), transaksi sewa-menyewa ataupun pinjam-meminjam (qardh)  dengan imbalan berupa ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil. 

Dalam pembuatan akta notaris, baik untuk perjanjian kredit maupun akad pembiayaan, sebenarnya sama, namun Notaris perlu memahami perbedaan prinsip diantara keduanya. Dalam perjanjian kredit, asas kebebasan berkontrak mendapat porsi yang besar sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum, sedangkan dalam akad pembiayaan persetujuan nasabah dan bank tidak boleh melanggar prinsip-prinsip syariah dalam bentuk fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang untuk itu. Satu hal yang pasti, dalam akta perjanjian kredit, kita kerap menggunakan istilah-istilah kredit, debitur, atau bunga, sedangkan dalam akad pembiayaan umum digunakan istilah-istilah seperti pembiayaan, nasabah, margin, ujrah, atau bagi hasil. Walaupun demikian, mengenai peristilahan antara satu dengan yang lainnya bisa saja tidak seragam. Sebagai contoh, istilah "pembiayaan" juga digunakan dalam lingkup usaha leasing yang menawarkan opsi pengoperan hak milik, bukan berarti suatu transaksi berbasis syariah.

No comments:

Post a Comment