Tuesday, March 28, 2017

Sekilas Antara PPJB dan AJB

Dalam suatu transaksi jual beli tanah, sering terdengar istilah PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) dan AJB (Akta Jual Beli). Kedua istilah ini kedengarannya tak jauh berbeda. Sekilas pengertiannya sama saja, namun melibatkan hal yang berbeda. Dilihat dari tahapan transaksinya, sebenarnya PPJB (istilah lain: Ikatan Jual Beli - IJB) merupakan tahap awal dari suatu transaksi jual beli tanah (AJB), walaupun demikian dalam kondisi tertentu PPJB juga tak perlu dilakukan dan langsung bertransaksi dengan AJB. 

Perbedaannya antara PPJB dan AJB juga terletak pada pejabat yang berwenang membuat aktanya. Walau sama-sama akta otentik, namun keduanya disahkan oleh pejabat yang berbeda. Memang tidak ada ketentuan bahwa PPJB harus dibuat secara otentik, namun umumnya dibuat secara otentik di depan pejabat yang berwenang. Untuk membuat akta PPJB, para pihak akan mendatangi/menghadap kepada Notaris, sedangkan untuk membuat AJB, para pihak akan menghadap kepada PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah).

Notaris dan PPAT merupakan jabatan yang berbeda, walau dapat dilaksanakan oleh orang yang sama. Notaris mendapat kewenangan dari Menteri Hukum dan HAM, sedangkan PPAT mendapat kewenangan dari Menteri Agraria/Tata Ruang/Ka. Badan Pertanahan Nasional.

Jual beli tanah merupakan transaksi hukum yang agak berbeda dengan transaksi jual beli barang lainnya. Hukum pertanahan di Indonesia mengatur siapa-siapa (subyek tanah) yang dapat memiliki tanah. Pengertian "memiliki tanah" di sini sebenarnya bukan memilikinya secara fisik absolut, melainkan hanya "Hak atas Tanah"-nya saja, dalam arti penguasaan dan penggunaan/peruntukannya. Pengertian "tanah" juga tidak hanya meliputi bidang/permukaan tanahnya saja (istilahnya tanah kosong), melainkan dapat berupa tanah dengan bangunan, tanaman ataupun berupa satuan (unit) rumah  susun atau unit apartemen. Selain terdapat pembatasan-pembatasan atas kepemilikan tanah tersebut, juga berlaku prosedur dalam kepemilikan tanah sehingga biasanya jual beli tanah memerlukan proses yang tidak singkat (umumnya 1 bulan).

Untuk dapat membeli tanah (AJB), maka transaksinya harus dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang. Setelah berlakunya PP Pendaftaran Tanah, maka jual belinya harus dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. PPAT akan membuat akta jual belinya, yang disebut Akta Jual Beli (AJB). Namun, terkait jual beli tanah tersebut, para pihak (penjual dan pembeli) harus melakukan pembayaran pajak penjual (Pajak Penghasilan - PPh) dan BPHTB (sering disebut pajak pembeli). Para pihak (baik penjual dan pembeli) haruslah orang-orang yang berwenang (istilahnya cakap hukum) dalam melakukan jual beli tanah. Jadi, dalam transaksi tersebut, diperlukan penelitian dokumen-dokumen. Belum lagi apabila jual beli dilakukan oleh ahli waris ataupun jual beli dilakukan dengan sistem kredit (khususnya KPR) ataupun sistem pembayaran bertahap. Bila proses jual beli ini tidak didukung dengan dokumen-dokumen yang otentik, tentu dapat menimbulkan risiko bagi salah satu ataupun para pihak.

Ketika para pihak sepakat untuk melakukan jual beli, maka pertama-tama keduanya harus sepakat apakah pembayaran harga tanah dilakukan secara tunai seluruh harga (lunas) atau secara bertahap atau kredit (KPR). 

Bila pembayaran dilakukan lunas seluruhnya (termasuk pajak-pajak), maka proses jual beli dapat langsung disahkan oleh PPAT. Syarat pembayaran lunas ini dimaksudkan sebagai pemenuhan asas jual beli tanah yang berlaku di Indonesia, yaitu terang dan tunai. "Terang" karena dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang(PPAT), "tunai" karena peralihan kepemilikannya terjadi seketika itu juga (dalam arti tak ada lagi sangkut paut, tidak ada utang harga tanah). Bila pajak penjual (PPh 2,5%) dan pajak pembeli (BPHTB) sudah diselesaikan terlebih dahulu, sertipikat tanah telah diperiksa dan terdaftar langsung atas nama penjual, maka transaksi jual belinya dapat langsung disahkan oleh PPAT dengan membuat Akta Jual Belinya, tentu saja dengan penelitian dokumen oleh PPAT. Dengan pembuatan Akta Jual Beli, maka hak kepemilikan tanah seketika itu juga berpindah dari pihak penjual kepada pihak pembeli. Proses selanjutnya adalah melakukan pendaftaran atas peralihan hak kepemilikan tersebut kepada Kantor Pertanahan (BPN Kota/Kabupaten) setempat untuk kemudian dicatatkan (baliknama) ke dalam Buku Tanah (tersimpan di Kantor Pertanahan). Nama pemilik lama di sertipikat tanah akan dicoret dan ditambahkan nama pemilik baru. Dari sini, proses baliknama sudah selesai.

Namun, bagaimana bila penjual telah menyerahkan sertipikat kepada pembeli dan pembeli telah membayar seluruh harga tanah (lunas), namun ada kendala dalam pembayaran pajak-pajaknya? Dalam hal ini, proses pembayaran pajak masih memerlukan waktu. Bila dilihat dari sisi penjual, haknya sebagai penjual telah terpenuhi karena telah dibayar lunas. Hanya saja, kewajibannya yaitu pembayaran pajak PPh dan penyerahan hak kepemilikan kepada pembeli belum dilakukan. Sementara, dari sisi pembeli, pembeli telah melaksanakan kewajibannya, bisa juga ia telah membayar pajak BPHTB-nya, namun belum mendapat penerimaan (istilahnya pengoperan hak) kepemilikan atas tanah tersebut karena PPAT tidak akan mau mengesahkan jual beli tersebut kalau pajak-pajak belum terbayarkan.

Demikian juga bila pembayaran belum dilakukan secara lunas, ataupun melalui KPR, tentu saja PPAT tidak akan mau mengesahkan jual belinya. Jual beli harus dipenuhi dengan penyerahan barang dan pembayaran harga. Bila keduanya tidak dapat dilakukan, maka jual beli belum dapat dilakukan.

Demikian pula apabila pembayaran harga tanah/pajak sudah dilakukan, namun sertipikat tanah masih terdaftar atas nama orang lain (khususnya karena terjadi waris, pemilik sertipikat telah meninggal dunia sehingga penjualnya adalah ahli waris), tentu disini PPAT tidak akan mau membuatkan akta jual belinya. Nama di sertipikat tanah haruslah nama penjual (sudah dibaliknama ke penjual atau ahli waris).

Lalu, bagaimana cara melindungi hak atau memberikan perlindungan hukum bagi para pihak dalam kasus-kasus diatas? Saat ini, jual beli tanah tak dapat dianggap perkara biasa karena sebagian besar sengketa yang terjadi dalam masyarakat juga bersumber dari kepemilikan tanah. Oleh karenanya, para pihak perlu dilindungi secara hukum. Janji pihak penjual untuk menyerahkan kepemilikan tanahnya kepada pembeli atau janji pihak pembeli tanah untuk membayar harga tanah seluruhnya harus dibuat secara otentik agar kekuatan pembuktiannya sempurna bagi para pihak maupun terhadap pihak ketiga, seperti BPN sebagai instansi yang mengurusi masalah pertanahan. Di sinilah peran Notaris tadi dalam membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tadi. Dalam kasus-kasus tersebut diatas, PPJB berfungsi untuk memperteguh janji pihak penjual dan pembeli sehingga para pihak melanjutkan/menyelesaikan jual beli tersebut di kemudian hari setelah syarat-syarat dalam jual beli tadi terlaksana, misalnya ketika pajak-pajak sudah dibayar lunas, ketika nama di sertipikat sudah atas nama penjual (sudah baliknama), atau ketika pembeli telah membayar seluruh harga tanah (baik KPR maupun bertahap). 

Dalam prosesnya, PPJB menjadi dasar untuk melanjutkan/melangsungkan jual belinya sesuai dengan kondisi PPJB-nya. Dalam hal harga sudah dibayar lunas, namun pajak-pajak belum dibayarkan, maka hak penjual sudah dipenuhi, namun kewajiban belum dilakukan. Oleh karenanya, untuk melindungi hak pembeli yang telah membayar lunas, Notaris akan membuat akta PPJB sekaligus Akta Kuasa Jual (lebih pasnya Akta Kuasa Penjual) dari pihak penjual kepada pihak pembeli. Kuasa tersebut memberikan kuasa penuh kepada pembeli untuk melangsungkan jual belinya dihadapan PPAT tanpa lagi harus memerlukan bantuan dari pihak penjual (karena hak penjual telah dipenuhi, tak ada sangkutnya lagi, namun penjual wajib membayar pajak saja). Pihak Notaris kemudian diberi kuasa untuk membayarkan pajak penjual (atau juga dapat dibayarkan oleh penjual sendiri). Selanjutnya, berbekal akta PPJB dan akta Kuasa Jual tersebut, pihak pembeli akan menghadap kepada PPAT untuk dibuatkan Akta Jual Beli terkait jual beli yang sesungguhnya.

Demikian juga apabila pembayaran harga tanah belum dibayar lunas (baik secara bertahap maupun secara KPR), maka Notaris akan membuatkan akta PPJB. Namun, akta PPJB ini tidak dilakukan dengan penyerahan Kuasa Jual. Di sini, PPJB hanya memperteguh janji keduanya bahwa penjual akan menyerahkan tanahnya tersebut dan pembeli akan melunasi harganya. Jadi, tidak ada penyerahan kuasa jual kepada pembeli sebagaimana dalam kasus sebelumnya. Artinya, bila pembayaran sudah dilunasi oleh pihak pembeli dikemudian hari, maka kedua belah pihak, yaitu pihak penjual dan pihak pembeli akan bertemu kembali dan menghadap kepada PPAT untuk melangsungkan jual beli sesungguhnya (AJB).

Notaris

No comments:

Post a Comment