Wednesday, March 15, 2017

Tanah dan Bangunan Sebagai Jaminan Kredit

Dalam terminologi hukum agraria kita, tanah (bidang tanah) itu sebenarnya tak dapat menjadi obyek perjanjian, atau sederhananya diperdagangkan (kecuali yang dimaksud adalah tanah galian), karena tanah itu tidak dapat dimiliki secara pribadi, melainkan milik seluruh bangsa Indonesia secara menyeluruh. Jadi, apakah yang dimaksud "tanah" yang dapat dimiliki itu? Kepemilikan tanah itu sebenarnya merujuk pada "Hak Atas Tanah" tersebut, artinya hak untuk menguasai, menggunakan dan memanfaatkannya, yang jenis hak atas tanah diantaranya:
1. Hak Milik; hak terkuat yang berlangsung terus-menerus dan dapat diwariskan tanpa batasan waktu.
2. Hak Guna Bangunan; sebagaimana namanya hak untuk mendirikan bangunan diatasnya, dengan masa berlaku paling lama 30 tahun.
3. Hak Guna Usaha; sebagaimana namanya hak untuk menggunakan tanahnya sebagai lahan usaha, misalnya pertanian, perkebunan, dengan jangka waktu paling lama 25 tahun
4. Hak Pakai, yang diberikan untuk jangka waktu tertentu atau selama diperlukan, tergantung keperluannya.
5. Termasuk pula yang disebut dengan Rumah Susun (umumnya disebut unit apartemen), juga dikategorikan sebagai Hak Atas Tanah, karena terkait dengan bangunan rumah susun yang diatasnya.

Mengingat tanah (baca: Hak Atas Tanah) memiliki nilai ekonomis yang semakin tinggi, tanah umum digunakan sebagai jaminan utang. Ketika seseorang mengajukan pinjaman kepada Bank, persetujuan atas fasilitas pinjaman tersebut umumnya dilakukan dengan syarat adanya jaminan nilainya bagus, dan tanah (aset tetap) lebih disukai oleh Bank sebagai jaminan, terlepas apakah eksekusinya tak semudah yang dibayangkan. 

Biasanya, sebelum pinjaman diterima, maka atas tanah yang akan dijaminkan kepada Bank terlebih dahulu dilakukan pengecekan. Di sini, pemilik tanah (biasanya juga debitur/peminjam itu sendiri) harus menyerahkan sertipikat tanah kepada pihak Bank dan kemudian pihak Bank menyerahkan sertipikat tersebut kepada pihak Notaris/PPAT untuk dilakukan pengecekan, mengingat Notaris/PPAT tersebut berkewajiban untuk melaksanakan pengecekan sertipikat sebelum penjaminan dilakukan. Pengecekan sertipikat tersebut dilakukan ke Kantor  Pertanahan (BPN Kota/Kab) setempat dimana tanah berlokasi. Setelah dilakukan pengecekan dan dinyatakan "clear"/bersih, akad kredit dapat dilangsungkan.

Ketika fasilitas pinjaman diterima, pihak peminjam (debitor) dan Bank akan menandatangani perjanjian utang piutangnya (lazim disebut perjanjian kredit/pembiayaan), bisa dilakukan dihadapan Notaris (aktanya disebut akta notaris/akta otentik), bisa juga dilakukan oleh para pihak sendiri (istilahnya dibawah tangan) tanpa melibatkan Notaris. Selanjutnya, dilakukan penandatanganan akta penjaminan (sering disebut akad/pengikatan) atas tanah yang dijadikan sebagai agunan (jaminan Bank). Bila debiturnya juga pemilik tanah, maka akta penjaminan ditandatangani oleh pihak yang sama juga. Namun bila tanahnya atas nama pihak lain, maka pemilik tanah tersebut harus ikut hadir untuk penandatanganan akta penjaminan.  

Penandatanganan akta penjaminan dilakukan dihadapan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) di wilayah tanah tersebut berlokasi (Kota/Kabupaten). Pemilik Tanah dan Bank akan menandatangani akta yang disebut Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dan kemudian PPAT tersebut akan mendaftarkan penjaminannya (istilahnya disebut Hak Tanggungannya) ke BPN setempat. Setelah didaftarkan, maka nantinya dalam sertipikat tanah tersebut akan tercantum keterangan bahwa atas tanah tersebut telah didaftarkan sebagai jaminan utang, Hak Tanggungan, sebesar nilai yang disepakati (biasanya 125% dari nilai utang atau sebesar nilai pasar dari tanah tersebut). BPN selanjutnya akan menerbitkan Sertipikat Hak Tanggungan (SHT) dengan keterangan yang sama. Dalam SHT tersebut, tercantum nilai Hak Tanggungan, Nomor sertipikat tanah yang dijadikan agunan, dan nama PPAT yang melangsungkan penjaminan tersebut.

Biasanya, sertipikat tanah dan SHT tersebut keduanya akan disimpan oleh pihak Bank. Bila utang sudah lunas, maka sertipikat tanah akan dikembalikan kepada pemilik tanah. Agar sertipikat tanah tersebut kembali bersih, maka keterangan Hak Tanggungan di dalam sertipikat tanah tersebut harus dicoret (istilah disebut Roya) sehingga kembali "clear". Proses roya sertipikat tanah dapat dilakukan sendiri oleh pemilik tanah maupun dikuasakan kepada pihak Notaris/PPAT, dengan membawa sertipikat tanah, SHT dan surat keterangan lunas kepada BPN setempat untuk diproses roya.

Namun, bila utang tak dapat dilunasi sampai kondisi tertentu atau sampai jangka waktu tertentu, maka Bank akan melakukan eksekusi atau penjualan atas tanah tersebut melalui kantor lelang. Eksekusi seperti ini termasuk upaya paksa dan selalu menjadi jalan terakhir yang ditempuh oleh pihak Bank.

Notaris
Notaris

No comments:

Post a Comment