Friday, March 31, 2017

Pengenalan Notaris Terhadap Penghadap

UU Jabatan Notaris (No.30 Tahun 2004 dan No.2 Tahun 2014) mewajibkan Notaris sebagai pejabat publik pembuat akta otentik untuk dapat mengenal pihak-pihak yang datang menghadap kepadanya terkait pembuatan akta. Bentuk pengenalannya (bekendheid) dapat berupa pengenalan oleh Notaris sendiri maupun dikenalkan oleh dua penghadap lainnya atau oleh dua saksi pengenal lainnya. 

Saat ini, pengenalan Notaris terhadap para penghadap tak begitu banyak diperhatikan dalam pembuatan akta notaris. Padahal, makna "dikenal" tersebut menjadi sangat penting. Umumnya, akta-akta Notaris menyebutkan bahwa para penghadap telah dikenal, adapula yang menuliskan bahwa para penghadap telah dikenal dari identitasnya masing-masing. Padahal, maksud daripada pengenalan Notaris ini sama sekali tidak berkaitan dengan identitas. Para penghadap dikenal bukan berdasarkan KTP atau identitas lainnya, melainkan pergaulannya dalam masyarakat. Bentuk pengenalan Notaris bukan berarti penghadap harus mengenalkan dirinya atau menyerahkan tanda pengenal. Notaris harus dapat menjamin bahwa ketika penghadap memperkenalkan dirinya sebagai (dengan nama) A, maka orang tersebut memang benar-benar dikenal dalam masyarakat sebagai (dengan nama) A. Oleh karenanya, syarat nama kecil semula juga menjadi kewajiban untuk dituliskan dalam akta.

Notaris memang harus mengenal para penghadap, karena akta yang dibuat oleh Notaris merupakan akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna (kuat). Bila Notaris tidak benar-benar mengenal (mengetahui) bahwa pihak yang menghadap adalah benar-benar sesuai dengan identitas yang diberikan, maka akta Notaris sangat berpotensi untuk merugikan hak orang lain. Tentu, konsekuensi seperti ini sedapat mungkin harus dihindari agar tidak terjadi, tentunya dengan cara-cara yang bertanggung jawab.

Bila Notaris tidak mengenal penghadap dalam pergaulan sehari-hari, maka dapat diartikan bahwa Notaris tidak mengenal penghadap tersebut, khususnya ketika para penghadap datang menghadap untuk pertama kalinya. Sementara, ketentuan Pasal 39 UU Jabatan Notaris diatas, mewajibkan Notaris mengenal para penghadap. Dalam hal Notaris tidak mengenal penghadap, maka penghadap tersebut harus diperkenalkan oleh dua penghadap lainnya atau oleh dua saksi penghadap lainnya. KTP atau identitas lainnya hanyalah data pendukung untuk keperluan pembuatan aktanya.

Perkembangan masyarakat yang cepat memang menjadi tantangan bagi Notaris dalam menjalankan jabatannya. Masyarakat seringkali ingin mendapat pelayanan yang cepat. Lantas bagaimana Notaris menyikapi perkembangan masyarakat agar tugasnya tetap dalam koridor ketentuan undang-undang. Hal ini memang menjadi hal yang problematis bagi Notaris. Kerap prosedur dan tatacara pembuatan akta otentik tidak lagi menjadi perhatian utama karena khawatir kehilangan klien. Selain itu, bila mengikuti maksud dari undang-undang sebagaimana yang telah disebutkan diatas, maka bentuk kewajiban pengenalan dapat dirasakan cukup merepotkan. Ketika baru pertama kali menghadap ke Notaris, seharusnya penghadap tidak hanya datang sendiri, melainkan bersama dengan dua orang saksi pengenal atau dua orang penghadap lainnya.

Cara memperkenalkan diri (bekendmaking) penghadap saat ini lazim berdasarkan identitas penghadap, apakah berbentuk KTP, passpor, ataupun SIM. Hanya saja, cara memperkenalkan seperti ini sangat rentan dengan risiko tindakan ilegal. Apalagi di era yang serba digital dimana antara bentuk asli dan bentuk palsu sangat sulit untuk dibedakan. Padahal, Notaris memikul sendiri risiko atas akibat hukum dari akta yang dibuatnya. Terkait tanggung jawab tersebut, umumnya dalam akta juga dinyatakan pelepasan tanggung jawab oleh Notaris maupun saksi-saksi apabila penghadap memberikan data/dokumen/surat yang tidak benar. Namun, bentuk pelepasan tanggung jawab seperti ini dalam prakteknya hanya hiasan akta saja. Notaris tetap saja terseret-seret dalam sengketa antara para penghadap.

Notaris

No comments:

Post a Comment